“Hai, Kak,” Calya menerima video call Narendra dan langsung menyapa Kakaknya dengan riang.
Ucapan Badi membuat Narendra khawatir sehingga selesai makan dia memutuskan untuk melakukan video call ke adik bungsunya. Tidak ada yang penting, pria itu hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja dengan Sang adik.
“Lagi apa kamu, sissy?”
“Nothing,” Calya minum, “Mau lanjut marathon serial Korea. Lagi pada bagus!”
“Jadi itu alasan kamu tidak pulang dua minggu ini?”
Calya memamerkan cengiran khasnya, “Iya. Kalau di rumah bakalan diomelin Mama terus disuruh ikut acara ini itu. Aku lagi malas. Maunya nonton serial Korea aja.”
“Dasar! Rugi aku khawatir.”
Tentu ini tidak sepenuhnya benar. Bagaimanapun, sebagai seorang kakak tentu ada kekhawatiran terhadap adik yang hidup sendiri jauh dari keluarga. Apalagi beda negara.
"Wuih, seger banget, nih," bukan Abimana namanya jika menyapa Narendra dengan biasa saja, "Gimana? Cocok sama kerjaan baru lo?""Ya...begitu," jawaban teraman agar sepupunya tidak mengolok atau menggodanya."Masa? Kalau cocok kayaknya lo nggak bakalan di sini pakai acara booking terapis acupressure," Narendra salah, sepupunya tetap menggodanya."Sial!" Narendra mendengus kesal.Abimana terbahak melihat reaksi Narendra. Pria dengan ego dan harga diri yang mengalahkan besarnya bumi tidak mungkin mengakui kalau pekerjaan barunya melelahkan dan jauh dari kata cocok."Udah ngapain aja lo hari ini?""Tidur, makan, tidur, acupressure, makan lagi," Narendra tertawa kecil, "Sekarang aku siap meeting.""Lo yakin mau tetap kerja di SuperMart dan ngerelain satu hari weekend lo dipakai buat ngurus perusahaan?""Bi, aku tahu kamu berusaha membujuk biar kamu bisa akhir pekan dengan tunangan kamu, benar?""Ck, ketahuan, nggak asyik," Ab
"Rendra!""Ada apa?" Dia bertanya bingung.Siapa yang tidak bingung jika seseorang menerima video call dengan sebuah teriakan seakan ada sesuatu yang buruk terjadi. Tidak hanya disambut dengan teriakan, Agnia juga dengan segera memalingkan wajahnya."Kamu apa-apaan, sih?""Apa?" Dia menyugar rambut dengan frustasi. Ada apa sebenarnya?"I-ituuu!!" Gadis itu menunjuk layar ponsel yang berarti menunjuk Narendra. Dengan panik pria itu memandang berkeliling dan mencari sesuatu yang tidak lazim atau tidak seharusnya terlihat oleh tetangganya itu.Sekuat apapun dia mencari, pria itu tidak menemukan alasan Agnia menjerit histeris seakan melihat hantu. Well, bukan berarti Narendra pernah melihat makhluk tak kasat mata itu sebelumnya."Kamu kenapa? Aku tidak mengert£," akhirnya dia memilih untuk bertanya."Baru selesai mandi?""Iya. Kamu tahu?"Setelah menghabiskan satu jam di kolam renang apartemen, dia baru saja sel
“Gini, dong,” Asija yang baru bergabung bersama sang istri, Reinya, dan anaknya, Narendra, “Kamu itu sejak di sini jadi makin susah ngumpul sama Papa Mama. Sibuk sendiri.”“Maaf, Pa,” Narendra menjawab sambil memamerkan senyum, “Narendra akan usahakan lebih sering pulang dan makan malam dengan kalian.”“Bagus! Bosen banget Mama kalau dinner cuma sama Papa. Terus, ya, Papa kamu makin sering makan di luar. Curiga Mama kalau Papa kamu punya selingkuhan, deh.”Narendra terbahak. Dia tahu kalau Reinya tidak serius. Wanita itu hanya suka menggoda suaminya. Meski begitu, bukan berarti dia menutup mata. Reinya memilih untuk tidak berusaha mencari tahu. Sejak muda dia berkeyakinan sebaik apapun bangkai disimpan suatu saat baunya akan tercium. Jadi, dia tidak mencari tahu kecuali aroma tidak sedap mulai terendus olehnya. Hal ini dilakukan demi ketenangan batinnya.“Kalau Papa punya selingkuh
“Kamu nggak mau nginap aja, Dra?” Reinya yang masih bersantai di ruang keluarga menyapa Narendra yang baru keluar dari ruang kerja Asija.Selesai makan malam dan mengudap hidangan penutup, kedua pria berbeda generasi itu berpindah ke ruang kerja Asija. Hanya di sana Asija boleh menikmati cerutu ketika berada di rumah, selain itu juga ada beberapa hal yang ingin dibicarakannya dengan putra bungsunya.Walau perusahaan dalam kondisi baik dan tidak ada masalah bukan berarti mereka bisa bersantai. Sejak kecil, setiap keturunan keluarga Widjaja sudah ditanamkan pemikiran bahwa mereka bertanggung jawab untuk nyawa banyak orang, seluruh keluarga Widjaja Group. Ini penting agar mereka tidak tumbuh menjadi seorang yang hanya memintingkan diri sendiri.“Aku balik ke apartemen, Ma. Besok langsung ke kontrakan petak.”Reinya menghela napas, “Mau sampai kapan? Mama khawatir banget. Tiap hari kepikiran, takut sesuatu terjadi sama kamu. Ling
“Kukira lupanya kau sama jalan pulang!” Teriakan khas Bang Ucok menyambut kepulangan Narendra ke kontrakan petak.Sudah menjelang sore ketika dia dan Badi sampai. Tadi pagi, Narendra harus menemani orang tuanya sarapan dilanjut menemani mereka golf kemudian makan siang dengan beberapa teman keluarga baru dibolehkan untuk kembali ke apartemen. Sesampai di apartemen, Abimana membuatnya sibuk selama beberapa saat sebelum akhirnya seluruh masalah perusahaan selesai dan dia serta Badi dapat kembali ke kontrakan petak.“Maaf, Bang. Ternyata urusannya membutuhkan lebih banyak waktu dari perkiraaanku,” Narendra menuntun mematikan mesin motornya.“Halah! Banyak alasannya kau ini!” Bang Ucok yang selesai menyiram tanaman sekarang berpindah ke teras kontrakan petak Narendra, “Bawa apanya kau? Jangan bilang kau tak bawa-bawa apa-apa. Kusuruh pergi lagi kau!”Badi mengangkat kantong kertas berisi sushi yang dibelikan ole
Ketika alarm ponselnya berbunyi, Narendra bangun. Dengan kondisi seperti zombie dan mata yang masih setengah terpejam dia bersiap. Semua yang dia lakukan hanya berdasarkan rutinitas. Dia tidak benar-benar sadar dengan apa yang dilakukannya.Setelah mandi dan mengenakan pakaian, dia keluar kamar kemudian mengambil sekotak susu dari kulkas. Tanpa pikir panjang dia langsung minum dari kotaknya sambil mengeluarkan dua butir telur untuk direbus.Sambil menunggu telur rebusnya, dia mengambil tomat dan mentimun. Dengan kemampuan menggunakan pisau yang pas-pasan dia mulai memotong-motong tomat dan timun. Tentu saja potongan dan ukurannya berantakan tetapi setidaknya masih cukup kecil seperti yang yang dicontohkan oleh Calya kemarin.Begitu telurnya terebus sempurna, dia segera mengupas dan menghancurkannya dengan menggunakan garpu. Setelah dirasa cukup, dia mencampurkan telur rebus, mentimun dan tomat kemudian menambahkan mayonnaise dan saos botolan. Narendra menganduk
Seluruh pegawai SuperMart yang berda di kafetaria sedang menikmati makan siang mereka. Denting peralatan makan berpadu sempurna dengan celotehan dan obrolan. Wajar, bagi pegawai yang bertugas melayani pembeli, berbicara dengan santai hanya dapat dilakukan saat jam istirahat.Narendra dan Badi termasuk di dalamnya. Setelah bekerja tanpa henti sejak pagi, sekarang mereka menikmati makan siang dengan lahap. Memang benar, tidak ada yang dapat menandingi rasa makanan yang disantap setelah bekerja keras.“Paling nggak setelah ini kerjaan kita nggak terlalu berat lagi.”“Benar,” seorang teman setim Narendra ikut berkomentar, “Udah semua kita kerjain tadi pagi. Ini tinggal rapiin barang-barang yang ada di gudang aja.”“Untung banget senior yang sekarang baik, ya? Coba kalau kayak minggu lalu. Mendingan aku nyerah, deh. Nyari kerja lagi juga nggak apa-apa.”“Hati-hati sama omongan! Kalau sampai diaminin
“Kak, mau ikut kita jajan di depan?”Mereka baru saja berganti pakaian karena jam kerja sudah berakhir. Seperti minggu lalu, beberapa pegawai ingin bersantai sejenak sebelum berjibaku menghadapi kemacetan lalu lintas.“Hari ini tidak bisa,” Narendra menjawab sambil merapikan kaosnya.“Gaya ngomong Kakak lucu banget. Kayak resmi gitu,” salah seorang berkomentar sambil tertawa geli.“Iya! Awalnya aneh tapi lama-lama jadi lucu dengarnya,” yang lain ikut menimpali.Narendra hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung harus berkomentar apa. Dia tahu kalau itu efek dari terlalu lama tidak berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Meski beitu, dia berusaha untuk memperbaikinya dengan memperhatikan lawan bicaranya berbicara.“Teman aku memang gini ngomongnya,” Badi terkekeh, “Maklumin aja.”“Iya, Kak,” yang lain menyeletuk sambil tertawa.