Sudah lima belas menit berlalu. Hanya ada Calya dan Ardiansyah dalam mobil tua yang dibeli pria itu dengan harga murah dari tangan pemilik kesekian. Tidak ada lagu yang mengalun. Bahkan, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali sesekali ketika Ardiansyah menyesuaikan persneling atau semacamnya.
Sejak mereka bertemu di salah satu gerai kopi di bandara, Calya sangat irit bicara. Hanya menyapa dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Ardiansyah dengan singkat. Sesingkat mungkin. Konsentrasinya terpecah. Dia masih berusaha untuk mengawasi para pria yang diam-diam berusaha mengawasinya dan memastikan mereka tidak mengikutinya terlalu lama. Sekaligus berusaha menemukan jawaban mengapa Ardiansyah tidak menolak untuk direpotkan seperti ini oleh keluarganya.
"Oke, ada apa?" Akhirnya Ardiansyah yang mengalah. Pria itu tahu kalau dibiarkan kebisuan Calya dapat bertahan untuk waktu yang lama.
"Nggak ada," dia menyandarkan kepala ke kaca jendela mobil, "Maaf ke
Ada yang tidak beres.Itu yang pertama muncul di benak Calya ketika dia memasuki apartemen. Dia mengedarkan pandangan. Tidak ada yang berubah. Semua furnitur masih pada tempatnya sebagaimana ketika dia meninggalkan apartemennya. Tetapi insting gadis itu mengatakan hal yang berbeda. Ada yang tidak beres. Calya yakin.Setelah menutup pintu apartemen, dia mengendus udara. Mencari sisa aroma yang mungkin tertinggal. Dugaannya benar, ada yang tidak beres. Inderanya mencium aroma tembakau. Sesuatu yang tidak seharusnya tidak tertinggal di apartemennya karena dia tidak pernah merokok.Calya menghela napas panjang. Detik itu dia menyesal kenapa dia memutuskan turun dari mobil Ardiansyah. Seharusnya dia menuruti permintaan Narendra. Kakaknya pasti sudah memikirkan hal ini dam menyiapkan rencana. Sekarang dia tidak mungkin menghubungi Ardiansyah setelah kejadian itu.Sial! Seharusnya dia bisa diri dan tidak mempermalukan dirinya sendiri.Sekarang apa yang ha
"Kenapa lo gelisah banget?" Abimana bertanya ketika dia sudah beberapa menit di ruangan Narendra tetapi pria itu tidak melakukan apapun selain mengetuk-ngetukkan jari di kaca meja kerja."Calya," Narendra berujar pelan, "Dia belum memberikan kabar lagi.""Terakhir dia ngehubungi lo kapan?" Pria iu langsung menegakkan punggung. Ini bukan masalah yang remeh."Berapa jam lalu. Sebelum dia keluar dari bandara. Aku sudah memastikan dia bertemu dengan Ardiansyah.""Kalau gitu seharusnya nggak ada yang perlu lo khawatirin, kan?"Narendra menggeleng pelan, "Masalahnya, Ardiansyah sudah menghubungiku. Dia bilang kalau sesuatu terjadi dan mereka bertengkar sampai Calya turun dari mobilnya. Dia sudah berusaha menunggu tapi Calya keras kepala.""Khas Calya banget.""Tidak cuma itu," Narendra menghela napas panjang, "Ardiansyah mencoba menunggu di dekat apartemen Calya. Tetapi dia langsung beranjak ketika melihat ada minivan di sudut jalan. Dia se
Calya menatap kantung kertas berisikan makanan pesanannya. Lima menit lalu seorang kurir mengantarkannya. Tetapi bukan itu membuat perasaannya semakin tidak keruan. Sebelum kurir sampai di depan pintu apartemennya, gadis itu sempat melihat kalau kurir itu dihentikan oleh salah seorang pria berpakaian hitam yang turun dari minivan. Dugaannya benar."Astagaa..." dia menggigit bibir bawah, "Apa yang sekarang harus aku lakukan?"Dia menatap ponsel yang berada di samping kantung kertas, "Ayolah, Kak Narendra balas! Tolong balas!! Aku beneran kalut ini."Gadis itu memejamkan mata sambil memijat pelipisnya. Tidak tahu harus melakukan apa.Tiba-tiba dia terperanjat karena ponselnya tiba-tiba berbunyi. Notifikasi pesan."Semoga dari Kak Narendra," itu yang pertama muncul dalam benaknya sebelum dengan cepat dia membuka pesan yang masuk.Sabda Narendra Widjaja: Kalau lapar ajak Ardiansyah dinnerSa
"Maaf, Nona. Seharusnya saya yang menjemput Nona di bandara tetapi karena ada yang harus saya persiapkan. Selain itu menurut Pak Sabda akan terlalu mencolok jika saya yang menjemput."Badi. Suara yang familiar di telinganya adalah suara bodyguard kakaknya. Selama ini Narendra tidak pernah membiarkan Badi jauh darinya. Calya membutuhkan beberapa saat untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi."Maaf Nona harus mengalami kejadian mengerikan seperti itu," Badi sedikit berpaling, "Tapi tenang, sekarang Nona sudah aman bersama kami."Calya meremas ujung sweaternya. Semua emosi yang sejak tadi ditahannya keluar tanpa dapat dikendalikan. Untuk pertama kalinya dia menangis di depan orang lain. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya karena bagi seorang Widjaja menangis berarti menunjukkan kelemahan.Tanpa berucap apapun, Ardiansyah langsung menarik gadis itu ke dalam pelukan. Membiarkan Calya menyembunyikan tangisan dalam dadanya. Pria itu tahu apa yang dihadapi
Agnia sudah lari beberapa putaran ketika melihat Kenny melambaikan tangan ke arahnya. Pria paruh baya itu terlihat sedang bersantai di salah satu kursi taman hotel sambil menikmati rokok yang baru disulutnya beberapa saat lalu."Kirain aku satu-satunya udah bangun," Kenny menyapa ramah ketika Agnia menghampirinya sambil berlari kecil."Kebiasaan, Bang. Mau dipaksa tidur juga nggak bisa," gadis itu tertawa kecil, "Jadi jogging aja.""Jangan diforsir. Aku nggak mau aktris utamaku kenapa-kenapa," pria itu tertawa kecil."Nggak, lah, Bang. Ini juga nggak sampai setengah jarak yang bisa," Agnia berdiri sambil menggerak-gerakkan kaki untuk pendinginan."Kamu suka olahraga?""Suka nggak suka, sih," Agnia tertawa kecil, "Tapi aku harus jaga stamina, kan? Aktris itu bukan kerjaan yang gampang.""Jarang banget ada aktris seusia kamu yang punya pikiran kayak gini. Kebanyakan aktris dan aktor sekarang itu cuma mikir enaknya aja. Mikir terkenalnya
Narendra memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di depannya. Dia memberi tanda beberapa bagian yang harus diperiksa ulang, menandatangi berkas yang dianggapnya sudah sesuai, di sela itu dia juga sambil memeriksa email dari Abimana dan kakak-kakaknya. Hari ini jadwalnya cukup padat."Kerjaan lo belum beres, Dra?" Abimana masuk sambil membawa kopi dari salah satu brand terkenal di negara ini."Sedikit lagi. Ada apa?" Narendra menutup berkas yang baru saja selesai diperiksanya, "Kamu tidak kerja selama aku tidak ada?" Tentu saja pria itu hanya bercanda. Narendra tidak dapat membayangkan akan setinggi apa tumpukan berkas yang menunggu untuk dikerjakannya jika sepupunya benar-benar tidak bekerja."Sial. Berani banget lo nuduh gue nggak kerja," Abimana terkekeh, "Kopi? Lumayan, nih, kopinya. Nggak yang manis sampai giung.""No. Aku tidak minum kopi dengan campuran apapun.""Cupu," sepupunya duduk di hadapan Narendra, "Semua beres?""Beres dan aman.
"Sorry, ya," Calya bergabung bersama Ardiansyah yang sedang berada di teras summer house.Walau udara dingin menusuk tetapi pemandangan laut di musim dingin tetap indah. Bahkan bagi Calya jauh lebih indah dari pemandangan laut di musim panas. Pemandangan laut di musim dingin tidak hanya cantik tetapi juga misterius."Sorry untuk?" Pria itu menerima mug berisi cokelat hangat yang diberikan oleh Calya."Sorry buat yang tadi di mobil. Aku nggak seharusnya meledak nggak jelas kayak gitu.""Meledak?" Dia menatap gadis itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh Calya, "Nggak apa-apa. Aku juga nggak seharusnya nanggapinnya dengan emosi kayak gitu. Seharusnya aku bisa lebih tenang.""Kamu nggak salah," Calya berusaha untuk tersenyum, "Wajar lagi kalau kamu anggap kejadian bodoh itu nggak pernah terjadi. Wajar juga kalau kamu nembak cewek yang kamu suka. Nggak ada sayang salah dengan itu. Reaksi aku aja yang berlebihan."
"Good evening, gentlements," Narendra dengan ramah menyapa tiga pria yang sedang menikmati makan malam mereka di salah satu restoran Italia terbaik di ibukota.Berbeda dengan Narendra yang terlihat santai menarik kemudian menduduki satu kursi yang tersisa, ketiga orang itu terlihat terperanjat. Tidak ada salah seorang pun dari mereka yang menduga kalau dia akan ada di restoran ini dan lebih parah lagi ... bergabung bersama mereka."Tidak menduga melihat Anda di sini," salah seorang dari mereka berusaha membalas sapaan Narendra dengan basa-basi yang terdengar begitu busuk di telinganya."Ah, mungkin bapak-bapak tidak tahu kalau aku sudah kembali ke negara ini sejak beberapa bulan lalu," dia tersenyum sambil menyandarkan punggungnya, "Keberatan kalau saya bergabung di meja Anda? Saya ada janji dengan Abimana tapi sepertinya dia terlambat."Tentu saja itu hanya kebohongan. Abimana tidak terlambat. Pria itu ada. Di sudut ruangan. Bersembunyi di balik
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan