“Lho?” Agnia yang berbaring dalam pelukan Narendra mengubah posisi menjadi duduk, “Bang Ucok dari mana?”
Gadis itu bertanya bingung ketika melihat Bang Ucok memasuki presidential suite yang malam ini akan menjadi rumah mereka. Seingatnya ketika Bang Ucok mengatakan akan menjajal kolam renang indoor salah satu fasilitas yang dibanggakan hotel ini, pria itu mengenakan pakaian celana pendek selutut dan polo shirt. Sekarang pria itu terlihat mengenakan jaket dilapis kaos dan jeans.
“Macam mana pula kau tanya aku, hah?! Aku yang harusnya tanya kalian ini dari mana?” Bang Ucok bergabung bersama mereka di ruang tengah, “Nonton apa ini kalian?”
“Armageddon. Pas lagi pindah-pindah channel nggak sengaja nemu. Ini film kesukaan aku. Entah udah berapa kali aku nonton tapi tetap aja nggak bosan-bosan,” Agnia tertawa, “Terus pasti tetap nangis pas adegan mereka mau b
“Untung kalian belum pada tidur,” setelah bunyi khas pintu hotel dibuka, terlihat sosok Badi memasuki presidential suite, “Aku bawa martabak, nih!”“Kamu dari luar? Bukannya tadi nge-gym? Tahu gitu aku sekalian nitip makanan.”“Masih lapar, Sayang?” Narendra mengecup lengan kekasihnya.“Nggak, sih. Tapi kayaknya aku nggak cocok sama makanan mahal, deh. Kayak ada yang kurang kalau aku belum makan makanan kaki lima.”Ucapan Agnia langsung membuat tawa ketiga pria itu pecah.“Ada-ada aja kau ini. Bilang aja kau masih lapar tapi malu kau ngaku!”“Nggak, ya, Bang! Aku udah kenyang!” Agnia balas berteriak sambil memberutkan pipi.“Kalau kenyang tidak mungkin tertarik untuk meminta dibelikan makanan,” Narendra ikut menggoda Agnia sambil mencubit pipi gadis itu yang terlihat menggemaskan.“Udah, udah. Daripada berteng
“Sebentar,” Narendra yang tadi asyik menikmati sarapan sambil memperhatikan Agnia, Bang Ucok dan Badi mengobrol sambil bercanda di samping pria itu tiba-tiba bangkit. Tanpa menunggu jawaban atau reaksi dari tetangganya itu dia langsung berjalan menuju meja yang penuh dengan berbagai pilihan roti.Bukan tanpa alasan. Beberapa saat lalu Abimana memasukin restoran dan langsung memberi kode kepada pria itu. Ada hal penting yang ingin dibicarakan sepupunya.“Gimana kondisi lo?” Abimana bertanya dengan suara rendah.“Sudah jauh lebih baik,” Narendra menjawab sambil berpura-pura memilih roti.“Besok lo balik?” Pertanyaan itu terdengar aneh.“Tentu saja,” Narendra tertawa kecil, “Seharusnya hari ini tapi kamu menambah satu hari lagi.”“Maaf,” suara ambimana terdengar penuh rasa bersalah, “Tapi bisa nggak lo tinggal di sini paling nggak sampai lo benar-benar sem
“Bos, aku tinggal nggak apa-apa?” Badi bertanya untuk kesekian kalinya.Itu pertanyaan yang wajar. Bodyguard-nya itu selalu bertanya sebelum meninggalkan Narendra sendirian. Tetapi biasanya tidak pernah sesering ini. Itu membuat Narendra kembali teringat pada kecurigaan yang ingin dilupakannya.Mungkinkah?“Tidak apa. Kamu lupa kita sedang berada di mana?” Dia menjawab diplomatis, “Tidak mungkin terjadi apa-apa di sini.”Badi memperhatikan Narendra dengan seksama sebelum mengangguk, “Ya udah kalau gitu. Aku jalan dulu, ya?”“Salam buat Antari,” pria itu melambaikan tangan.“Tahu aja aku mau jalan sama Tari,” Badi terkekeh sambil keluar dari kamar yang ditempati Narendra dan Agnia.“Sama siapa lagi?” Narendra terbahak sambil kembali sibuk dengan ponselnya.Tidak lama setelah Badi menutup pintu kamar, Agnia keluar dari walk in cl
Sepanjang hari Badi menemani Antari dan ibunya. Dengan bermodal mobil perusahaan yang dipinjam, dia mengantar Antari dan Lastri, ibunya, dari satu pasar ke pasar lain, dari satu toko ke toko lain. Kalau Badi tidak salah menangkap, ada keluarga Antari yang akan menikah dan meminta bantuan Lastri untuk menyiapkan seragam serta kebutuhan untuk seragam keluarga besar.“Nak Badi, kemejanya ukuran apa?” Lastri bertanya ketika mereka sedang berada di toko batik.“Ukuran siapa, Bu?” Badi sempat tergagap karena dia tidak menyangka pertanyaan itu diajukan untuknya.“Ya, ukurannya, Nak Badi. Ini biar sekalian dibeliin. Nanti kamu bisa datang, kan? Seragaman juga sama Tari.”“Oh? Eh, iya, tapi apa nggak merepotkan, Bu?”“Aduh, merepotkan bagaimana, sih? Kamu itu udah jadi bagian dari keluarga, lho! Malah aneh kalau kamu nggak pakai seragam. Ukurannya apa?”“L, Bu,” Badi menjawab den
“Tari, bisa bicara sebentar?” Pertanyaan itu dilontarkan Badi ketika orang tua gadis itu sudah kembali ke dalam rumah.“Tentu! Mau bicara di sini atau di dalam?” Gadis itu masih terlihat seriang sebelumnya.“Di mobil aja gimana?”“Boleh, boleh. Sebentar aku ngomong sama Bapak dulu, ya? Takutnya nanti dicariin malah nggak lucu, kan?”Sambil tertawa kecil Antari masuk ke rumahnya. Tidak lama gadis itu sudah kembali ke hadapan Badi tetapi kali ini dengan menggunakan jaket. Udara malam itu memang cukup dingin.“Nanti kalau udah selesai, aku antarin lagi kamu ke rumah,” mereka berjalan melewati tanaman dan sangkar burung koleksi orang tua Antari.“Astagaaa!” Antari tertawa, “Nggak usah, Kak. Kayak di mana aja. Aku dari lahir udah di sini. Aman kalau cuma jalan dari depan ke sini.”“Gitu, ya?” Dia mengusap tengkuk, “Kamu senang jalan bareng
“Seperti biasa, ya. Tanpa cela,” atasan Bang Ucok bertepuk tangan pelan sambil tersenyum lebar.Sejak pria itu menjadi atasan Bang Ucok, tidak pernah sekalipun Bang Ucok mengecewakan. Pekerjaannya selalu sempurna. Tentu dia pernah membuat kesalahan tetapi kesigapannya membuat kesalahan itu tidak berefek besar. Presentasinya juga selalu mengundang decak kagum dari para peserta rapat. Banyak yang memperebutkan Bang Ucok. Mulai dari departemen lain sampai bank lain. Sayang, pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk pindah.Kesempurnaan pekerjaan Bang Ucok bukan tanpa alasan. Masa kecil yang cukup keras berpadu dengan ibu yang selalu menuntut yang terbaik membuat pria itu sudah tertempa sejak kecil. Selain itu, ada satu kalimat yang selalu diulang ibunya lagi dan lagi.Kau tahu, Cok, masalah itu datang tanpa aba-aba. Jangan kau harap kau bisa tahu itu masalah kapan datangnya. Jadi kau harus selalu menyiapkan rencana untuk membereskan
“Bang, kok masih di sini?” pintu ruang meeting terbuka dan tidak menunggu waktu lama sosok Amelia sudah berdiri di depan Bang Ucok, “Udah jam makan siang. Makan, yuk? Aku mendadak pengin bakmi yang di samping. Kalau kita nggak turun sekarang nanti ngantre, lho!”“Ha? Kau bilang apa?” Pikiran Bang Ucok masih kosong sehingga dia tidak menangkap apa yang diucapkan oleh gadis itu.“Makan siang, Bang. Bakmi. Yuk?” Amelia tanpa sungkan memeluk lengan Bang Ucok, “Ayo, bangun! Abang kenapa lemas banget? Jangan bilang tadi presentasinya gagal. Nggak mungkin, deh. Aku tadi sempat ngecek, semuanya perfect.”“Tak ada masalah dengan presentasinya. Lancar,” dia menjawab lesu.“Terus kenapa lesu? Tadi nggak sarapan, ya?” Amelia bertanya. Gadis itu terlihat begitu perhatian.Biasanya Bang Ucok akan senang dengan perhatian yang diberikan oleh gadis itu. Meski rasa
Sudah malam ketika Badi tiba di kontrakan petak. Hari ini dia merasa begitu lelah. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk atau ada masalah tetapi karena berita tentang Amelia yang mendapatkan beasiswa ke London.Pria itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Di satu sisi dia ikut senang. Tidak mudah mendapatkan beasiswa di salah satu kampus tertua di Inggris itu. Kesempatan ini juga akan membuka banyak pintu dan berbagai pengalaman baru untuk Amelia. Tentu saja dia senang dan bangga. Tapi di sisi lain...tidak mudah melepas gadis yang dicintai untuk pergi sejauh itu. Bang Ucok juga merasa kalau kepergian Amelia nantinya akan menutup kesempatan mereka bersama.Gadis itu memang belum mengatakan kepada Bang Ucok tentang keputusan mengambil beasiswa tersebut. Tetapi pria itu tidak mampu mengenyahkan itu dari pikirannya. Sepanjang hari dia tidak berhenti membayangkan berbagai kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi nanti. Semakin dibayangkan, semakin mengerikan.Dia me