“Tari, bisa bicara sebentar?” Pertanyaan itu dilontarkan Badi ketika orang tua gadis itu sudah kembali ke dalam rumah.
“Tentu! Mau bicara di sini atau di dalam?” Gadis itu masih terlihat seriang sebelumnya.
“Di mobil aja gimana?”
“Boleh, boleh. Sebentar aku ngomong sama Bapak dulu, ya? Takutnya nanti dicariin malah nggak lucu, kan?”
Sambil tertawa kecil Antari masuk ke rumahnya. Tidak lama gadis itu sudah kembali ke hadapan Badi tetapi kali ini dengan menggunakan jaket. Udara malam itu memang cukup dingin.
“Nanti kalau udah selesai, aku antarin lagi kamu ke rumah,” mereka berjalan melewati tanaman dan sangkar burung koleksi orang tua Antari.
“Astagaaa!” Antari tertawa, “Nggak usah, Kak. Kayak di mana aja. Aku dari lahir udah di sini. Aman kalau cuma jalan dari depan ke sini.”
“Gitu, ya?” Dia mengusap tengkuk, “Kamu senang jalan bareng
“Seperti biasa, ya. Tanpa cela,” atasan Bang Ucok bertepuk tangan pelan sambil tersenyum lebar.Sejak pria itu menjadi atasan Bang Ucok, tidak pernah sekalipun Bang Ucok mengecewakan. Pekerjaannya selalu sempurna. Tentu dia pernah membuat kesalahan tetapi kesigapannya membuat kesalahan itu tidak berefek besar. Presentasinya juga selalu mengundang decak kagum dari para peserta rapat. Banyak yang memperebutkan Bang Ucok. Mulai dari departemen lain sampai bank lain. Sayang, pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk pindah.Kesempurnaan pekerjaan Bang Ucok bukan tanpa alasan. Masa kecil yang cukup keras berpadu dengan ibu yang selalu menuntut yang terbaik membuat pria itu sudah tertempa sejak kecil. Selain itu, ada satu kalimat yang selalu diulang ibunya lagi dan lagi.Kau tahu, Cok, masalah itu datang tanpa aba-aba. Jangan kau harap kau bisa tahu itu masalah kapan datangnya. Jadi kau harus selalu menyiapkan rencana untuk membereskan
“Bang, kok masih di sini?” pintu ruang meeting terbuka dan tidak menunggu waktu lama sosok Amelia sudah berdiri di depan Bang Ucok, “Udah jam makan siang. Makan, yuk? Aku mendadak pengin bakmi yang di samping. Kalau kita nggak turun sekarang nanti ngantre, lho!”“Ha? Kau bilang apa?” Pikiran Bang Ucok masih kosong sehingga dia tidak menangkap apa yang diucapkan oleh gadis itu.“Makan siang, Bang. Bakmi. Yuk?” Amelia tanpa sungkan memeluk lengan Bang Ucok, “Ayo, bangun! Abang kenapa lemas banget? Jangan bilang tadi presentasinya gagal. Nggak mungkin, deh. Aku tadi sempat ngecek, semuanya perfect.”“Tak ada masalah dengan presentasinya. Lancar,” dia menjawab lesu.“Terus kenapa lesu? Tadi nggak sarapan, ya?” Amelia bertanya. Gadis itu terlihat begitu perhatian.Biasanya Bang Ucok akan senang dengan perhatian yang diberikan oleh gadis itu. Meski rasa
Sudah malam ketika Badi tiba di kontrakan petak. Hari ini dia merasa begitu lelah. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk atau ada masalah tetapi karena berita tentang Amelia yang mendapatkan beasiswa ke London.Pria itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Di satu sisi dia ikut senang. Tidak mudah mendapatkan beasiswa di salah satu kampus tertua di Inggris itu. Kesempatan ini juga akan membuka banyak pintu dan berbagai pengalaman baru untuk Amelia. Tentu saja dia senang dan bangga. Tapi di sisi lain...tidak mudah melepas gadis yang dicintai untuk pergi sejauh itu. Bang Ucok juga merasa kalau kepergian Amelia nantinya akan menutup kesempatan mereka bersama.Gadis itu memang belum mengatakan kepada Bang Ucok tentang keputusan mengambil beasiswa tersebut. Tetapi pria itu tidak mampu mengenyahkan itu dari pikirannya. Sepanjang hari dia tidak berhenti membayangkan berbagai kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi nanti. Semakin dibayangkan, semakin mengerikan.Dia me
"Bang, sarapan, yuk?" Amelia masuk ke ruangan Bang Ucok setelah mengetuk pintu terlebih dulu."Macam mana?"Bang Ucok yang mulai sibuk dengan pekerjaan di depan laptop langsung berpaling ke arah sumber suara."Sarapan. Bubur ayam. Aku laper banget ini," gadis itu duduk sambil memberengutkan pipi dan berujar manja.Tidak ada yang berbeda. Amelia sering mengajaknya untuk sarapan. Gadis itu juga sering bermanja dengannya. Tentu saja masih dalam batas wajar. Hanya seperti seorang teman yang bermanja ke teman dekatnya lainnya. Tidak lebih."Aduh, sudah makannya aku ini," Bang Ucok menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.Dia berusaha menahan diri sekuat mungkin. Dia tahu, menatap mata gadis itu akan membuatnya lulus dan melupakan tekad yang sudah dibulatkannya tadi malam. Walau dia membalas pesan Amelia dengan mengatakan akan menyediakan waktu untuk bicara, dia sudah berencana untuk menyibukkan diri sepanjang hari. Bang Ucok belum siap men
Tanpa mengucap apa pun Bang Ucok menyimpan laptopnya. Ini pertama kali pria itu melihat Amelia seemosional ini. Gadis itu termasuk yang pintar mengelola emosinya. Selama Bang Ucok mengenalnya, dia selalu tenang. Bahkan ketika menghadapi pekerjaan yang sangat berat atau klien yang benar-benar bermasalah, gadis itu tidak pernah seemosional sekarang."Apa yang ingin kau bicarakan?" Pria itu menyerah.Dengan tenang Amelia duduk di hadapan Bang Ucok. Gadis itu masih menatap tajam ke arah atasannya."Abang udah tahu, ya?""Tahu apa?" Pria itu memilih untuk balik bertanya.Gadis itu menarik napas panjang, "Jangan bikin ini makin susah, Bang.""Siapa yang mempersulit? Aku tak tahu apa yang kau omongkan.""Maaf," gadis itu kembali menarik napas panjang. Sepertinya ini akan jauh lebih sulit dari yang ada dalam bayangannya."Apa yang mau kau omongkan? Sepenting apa?" Sekuat tenaga Bang Ucok berusaha menjaga nada suaranya."Jadi," d
"Kenapa kusut banget mukanya, Bang?" Badi yang entah sedang melakukan apa di teras kontrakan petak Narendra langsung bertanya ketika Bang Ucok memasuki halaman tempat tinggal mereka."Pusing aku," Bang Ucok menjawab sambil duduk di teras kontrakan petaknya, "Ke mana kawan kau itu?""Rendra?" Badi menunjuk ke dalam kontrakan petak dengan dagunya, "Lagi tidur. Kayaknya dia masih belum fit. Masih mudah capek dan lelah."Pria itu mengangguk tanpa mengerti, "Tipes memang macam itulah. Tak bisa langsung benar-benar sembuh. Kasihan juga kulihat dia.""Aku juga nggak tega lihatnya. Mana dia masih kepikiran masalah kerjaan kemarin.""Dipecat kalian?""Nggak enak banget bahasanya, Bang," Badi terkekeh, "Mengundurkan diri. Si Bos nggak enak sama tempat kerja kalau kelamaan nggak masuk.""Kau ikut-ikutan mundur juga?""Yaa..mau gimana lagi, Bang?" Badi menggaruk tengkuknya."Curiga aku. Sebenarnya dia siapa?""Dia siapa?" Bad
"Bos, udah tahu cerita Bang Ucok?" Badi tiba-tiba bertanya.Saat ini mereka sedang menikmati sarapan di kontrakan petak pria itu bersama dengan Agnia. Pagi ini mereka sarapan bubur ayam yang dikirimkan oleh Abimana. Narendra mengatakan kalau itu dikirimkan oleh keluarganya. Dia tidak berbohong. Abimana benar keluarganya."Kenapa si Abang itu? Berapa hari ini aku lihat mukanya kayak ada masalah. Nggak pernah-pernah, lho, aku lihat dia kayak gitu," Agnia yang berkomentar."Jadi kalian belum tahu?" Badi menyuap sesendok besar bubur."Tahu apa? Jangan berbelit, Badi.""Masalah si Amelia. Gawat banget ini!" Badi terlihat bersemangat, "Dia mau pindah ke London. Mau kuliah lagi dia.""Seharusnya ity kabar baik, benar?" Narendra bertanya dengan polos."Sayang, kamu itu.." Agnia bingung dia harus tertawa atau menghela napas panjang, "Terus Bang Ucok gimana?""Itu dia! Galau dia. Yaa...aku ngerti, sih, kenapa Bang Ucok galau. Tapi nggak
“Kak Badi!” Antari keluar dari dealer tempat kerjanya sambil melambaikan tangan riang ke arah Badi yang sudah menunggunya, “Lama, ya? Tadi ada meeting dulu.”“Meeting? Tumben banget?” Badi bertanya sambil membukakan pintu mobil dan menunggu sampai Antari duduk dengan nyaman dan memakai seatbelt. Setelah menutup pintu, baru dia memutar dan masuk ke mobil operasional Widjaja Group yang kembali dipinjamnya.“Awal bulan, kan? Tim finance baru selesai ngitung performance bulan kemarin. Jadi tadi kayak meeting kecil gitu. Pengumuman top sales dan sebagainya.”“Terus gimana?” Pria itu menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.“Pacar kamu jadi Sales of The Month!” Gadis itu memekik tertahan sambil tersenyum lebar, “Aku nggak nyangka banget! Seneng banget, lho! Tapi memang bulan kemarin lumayan banyak yang