Tanpa mengucap apa pun Bang Ucok menyimpan laptopnya. Ini pertama kali pria itu melihat Amelia seemosional ini. Gadis itu termasuk yang pintar mengelola emosinya. Selama Bang Ucok mengenalnya, dia selalu tenang. Bahkan ketika menghadapi pekerjaan yang sangat berat atau klien yang benar-benar bermasalah, gadis itu tidak pernah seemosional sekarang.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Pria itu menyerah.
Dengan tenang Amelia duduk di hadapan Bang Ucok. Gadis itu masih menatap tajam ke arah atasannya.
"Abang udah tahu, ya?"
"Tahu apa?" Pria itu memilih untuk balik bertanya.
Gadis itu menarik napas panjang, "Jangan bikin ini makin susah, Bang."
"Siapa yang mempersulit? Aku tak tahu apa yang kau omongkan."
"Maaf," gadis itu kembali menarik napas panjang. Sepertinya ini akan jauh lebih sulit dari yang ada dalam bayangannya.
"Apa yang mau kau omongkan? Sepenting apa?" Sekuat tenaga Bang Ucok berusaha menjaga nada suaranya.
"Jadi," d
"Kenapa kusut banget mukanya, Bang?" Badi yang entah sedang melakukan apa di teras kontrakan petak Narendra langsung bertanya ketika Bang Ucok memasuki halaman tempat tinggal mereka."Pusing aku," Bang Ucok menjawab sambil duduk di teras kontrakan petaknya, "Ke mana kawan kau itu?""Rendra?" Badi menunjuk ke dalam kontrakan petak dengan dagunya, "Lagi tidur. Kayaknya dia masih belum fit. Masih mudah capek dan lelah."Pria itu mengangguk tanpa mengerti, "Tipes memang macam itulah. Tak bisa langsung benar-benar sembuh. Kasihan juga kulihat dia.""Aku juga nggak tega lihatnya. Mana dia masih kepikiran masalah kerjaan kemarin.""Dipecat kalian?""Nggak enak banget bahasanya, Bang," Badi terkekeh, "Mengundurkan diri. Si Bos nggak enak sama tempat kerja kalau kelamaan nggak masuk.""Kau ikut-ikutan mundur juga?""Yaa..mau gimana lagi, Bang?" Badi menggaruk tengkuknya."Curiga aku. Sebenarnya dia siapa?""Dia siapa?" Bad
"Bos, udah tahu cerita Bang Ucok?" Badi tiba-tiba bertanya.Saat ini mereka sedang menikmati sarapan di kontrakan petak pria itu bersama dengan Agnia. Pagi ini mereka sarapan bubur ayam yang dikirimkan oleh Abimana. Narendra mengatakan kalau itu dikirimkan oleh keluarganya. Dia tidak berbohong. Abimana benar keluarganya."Kenapa si Abang itu? Berapa hari ini aku lihat mukanya kayak ada masalah. Nggak pernah-pernah, lho, aku lihat dia kayak gitu," Agnia yang berkomentar."Jadi kalian belum tahu?" Badi menyuap sesendok besar bubur."Tahu apa? Jangan berbelit, Badi.""Masalah si Amelia. Gawat banget ini!" Badi terlihat bersemangat, "Dia mau pindah ke London. Mau kuliah lagi dia.""Seharusnya ity kabar baik, benar?" Narendra bertanya dengan polos."Sayang, kamu itu.." Agnia bingung dia harus tertawa atau menghela napas panjang, "Terus Bang Ucok gimana?""Itu dia! Galau dia. Yaa...aku ngerti, sih, kenapa Bang Ucok galau. Tapi nggak
“Kak Badi!” Antari keluar dari dealer tempat kerjanya sambil melambaikan tangan riang ke arah Badi yang sudah menunggunya, “Lama, ya? Tadi ada meeting dulu.”“Meeting? Tumben banget?” Badi bertanya sambil membukakan pintu mobil dan menunggu sampai Antari duduk dengan nyaman dan memakai seatbelt. Setelah menutup pintu, baru dia memutar dan masuk ke mobil operasional Widjaja Group yang kembali dipinjamnya.“Awal bulan, kan? Tim finance baru selesai ngitung performance bulan kemarin. Jadi tadi kayak meeting kecil gitu. Pengumuman top sales dan sebagainya.”“Terus gimana?” Pria itu menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.“Pacar kamu jadi Sales of The Month!” Gadis itu memekik tertahan sambil tersenyum lebar, “Aku nggak nyangka banget! Seneng banget, lho! Tapi memang bulan kemarin lumayan banyak yang
“Mbak Agniaaa…” Amelia langsung memeluk dan mencium pipi Agnia ketika sampai di kafe tempat mereka janji bertemu, “Aku seneng banget, lho, waktu Mbak Agnia chat aku! Eh, tahunya diajak meet up makin seneng aku.”“Bisa banget. Padahal kamu bingung, kan?” Agnia tertawa kecil. Keceriaan Amelia dengan cepat membuatnya merasa hangat, “Tumben-tumben aku ngechat, sekalinya ngechat ngajak ketemuan.”“Kaget, sih, iya. Tapi aku beneran senang, lho, Mbak,” dia duduk di hadapan Agnia kemudian meletakkan tas di sebelahnya, “Maaf aku bisanya malam banget. Banyak banget yang harus diberesin aku sampai pusing. Ini juga aku usahain banget biar bisa dinner sama Mbak.”“Ih! Harusnya aku yang minta maaf. Kamu lagi sibuk buat persiapan berangkat ke London malah aku ajak ketemu.”Amelia yang sedang meneguk air putih yang disediakan oleh kafe nyaris tersedak mendengar uc
Hari dengan cepat berganti hingga tanpa terasa akhir pekan sudah menyapa. Bang Ucok merasa aneh karena beberapa akhir pekan terakhir selalu dihabiskannya bersama Amelia. Sementara akhir pekan ini… tidak.Gadis itu sempat meminta Bang Ucok untuk menemaninya ke taman bermain. Tetapi setelah insiden di ruangannya beberapa hari lalu, komunikasi mereka dengan cepat memburuk. Sekarang komunnikasi mereka hanya sebatas pekerjaan. Tidak ada lagi pesan dan telepon di luar jam kerja.Bang Ucok merasa sesuatu dalam dirinya tercerabut. Entah apa.“Nggak ke mana-mana, Bang?” Narendra yang baru keluar dari kontrakan petaknya bertanya ketika melihat Bang Ucok sedang mengurus tanaman di teras.“Tak ada rencana aku. Kau sendiri?” Bang Ucok memeriksa kondisi daun tanamannya.“Sama,” pria itu tersenyum, “Agnia ada pekerjaan hari ini. Aku juga belum boleh terlalu lelah.”“Betah kau?” Pria itu mas
Siapa mereka?Narendra bertanya sambil terus-menerus menatap ke luar jendela. Masih ada beberapa pria berperawakan tinggi besar dengan potongan rambut yang serupa mengawasi kontrakan petak ini. Dia tidak tahu mereka siapa. Biasa saja itu tenaga keamanan Widjaja Group yang diminta orang tuanya untuk menjaganya. Tetapi bisa juga mereka orang suruhan dari musuh alis Bira.Dia berpikir keras untuk menentukan langkah atau rencana selanjutnya. Tetapi dia tidak dapat melakukan apa pun selama belum memastikan siapa mereka. Narendra tidak inin salah langkah.Tidak mungkin Badi tidak menyadari kehadiran mereka. Ada alasan kenapa pria itu tidak menyampaikan informasi sepenting itu kepada Narendra. Mungkin karena kemarin majikannya masih terbaring sakit. Lalu kenapa sampai sekarang pria itu tidak berujar apa pun?Hanya satu kemungkinannya. Abimana melarangnya.Pertanyaan sekarang, kenapa?Sambil berjalan ke kamar, pria itu merogoh saku untuk me
“Yakin kau ini alamat yang benar?” Bang Ucok bertanya ketika Narendra memintanya untuk turun di lobi gedung Widjaja Group.Tadi pagi, ketika Bang Ucok akan berangkat bekerja, Narendra dan Badi meminta untuk menumpang hingga pusat kota. Awalnya pria itu berpikir kalau mereka akan interview kerja. Tetapi sepertinya tidak karena dia merasa pakaian Narendra dan Badi terlalu santai.Jawaban yang didapat ketika Bang Ucok bertanya ke mana tujuan mereka, semakin membuat keperluan mereka semakin tidak tertebak. Widjaja Group. Apa yang akan mereka lakukan di gedung itu?Widjaja Group tidak pernah melakukan tes penerimaan pegawai baru di gedung utama mereka. Seingat Bang Ucok para calon pegawai juga diminta untuk mengenakan setelan jas dan kemeja putih lengkap dengan dasi. Sangat jau dari penampilan tetangganya saat ini.“Yakin, Bang. Ada keperluan di sini,” Narendra langsung membuka pintu mobil ketika Bang Ucok menghentikan mobil di depan pi
"Hanya ini pekerjaan yang harus aku bereskan?" Narendra bertanya sambil mengecek tumpukan dokumen secara asal. Tidak setinggi biasanya."Sebagian udah lo beresin via email," sepupu itu menjawab santai. Sama sekali tidak merasa bersalah atau terintimidasi."Seharusnya aku tidak perlu ke kantor, ya?" Narendra duduk dan mengambil dokumen teratas kemudian mulai memeriksa. Dengan cepat dia tenggelam dalam dokumen. Walau dokumen itu tidak setinggi biasanya, tetapi ternyata dokumen itu memang sengaja disisakan oleh Abimana karena membutuhkan perhatian khusus dan merupakan dokumen penting.Menjelang makan siang, dokumen itu sudah banyak berkurang. Narendra masih fokus seakan melupakan waktu. Dia memang seorang workaholic."Dra, makan dulu," Abimana berujar ketika seorang office boy masuk mengantarkan makan siang mereka."Makan? Memangnya sekarang jam berapa?" Dia masih belum memgangkat pandangan dari dokumen yang sedang dikerjakannya."Udah nyari pu