"Kamu punya teman kecil secantik itu, Anand. Kenapa nggak jatuh cinta sama dia?" Anand masih membisu, tatapannya lurus ke depan jalan."Menurutku cantikan dia daripada aku." "Tidak menurutku." Nadira mengulum senyum. "Kamu ngucapin itu dengan sadar, kan, Anand?"Anand tak menyahut."Badannya juga bagusan dia daripada aku. Dia--"Anand ngerem mendadak, membuat Nadira terdorong ke depan. "Anand! Kebiasaan!" pekiknya sambil merapikan rambut. Dengan cepat Anand menarik Nadira dan memainkan bbir istrinya dengan dalam. Beberapa saat berlalu, Anand menatap Nadira dengan lekat. "Berhenti membicarkaaln dia. Bagiku kamu yang paling indah." Nadira mengedip pelan, lalu lama-kelamaan mengulum senyum. "Bisa aja!" "Aku serius. Di mataku perempuan lain semuanya sama, cuma istriku yang berbeda."Nadira semakin tersipu malu. "Udah-udah, lanjutin lagi jalannya. Aku udah kenyang dengan pujian seperti itu.""Kenyang?""Iya. Dulu aku ini bintang besar di kampus. Semua orang pasti pernah mendengar na
"Gak mau! Pokoknya aku gak mau nikah cepet-cepet. Aku masih muda, pengen senang-senang, masih pengen bebas berkeliaran, Ma!" "Gak bisa, pokoknya kamu harus menikah sama Anand dua hari lagi!" bantah Abram, papanya Dira."Dengar, Sayang, kamu tidak bisa seperti ini terus. Kamu sudah dewasa, umurmu sudah cukup untuk menikah. Anand itu laki-laki baik, bertanggung jawab, mama sama papa yakin dia pasti bisa membimbing kamu jadi lebih baik." Melati menambahkan."Tapi aku udah punya pacar, Ma. Dia gak kalah baik dan bertanggung jawab dari Anand." "Tahu apa kamu tentang tanggung jawab seorang laki-laki, hah? Sudah, putusin dia dan menikah sama Anand." "Aku gak mau, apalagi mendadak banget kayak gini. Aku gak pernah bertemu sama dia, gak tahu orangnya, mau nikah kok gini?" "Nanti juga kalian ketemu. Dengar, Ra, ibunya sekarang sedang kritis, meminta Anand untuk segera menikahi kamu. Papa, mama, sama ibunya Anand sudah lama berencana menikahkan kalian berdua. Jadi gak ada alasan lagi. Ini ge
"Gak maaauuu! Mama, aku gak mau nikah sama Anand, Ma. Aku gak mau, serius, Ma!" "Pa! Papa tolong dengerin jeritan anakmu satu-satunya ini, Pa. Aku gak mau nikah sama Anand, Pa. Aku mohon."Dira berlutut, beralih dari ayahnya ke ibunya sambil merengek, tetapi kedua orang tuanya tetap bergeming."Berhenti kekanak-kanakan, Nadira. Kami tahu mana yang terbaik buat kamu, bahkan melebihi kamu sendiri. Dan masalah ini gak bisa lagi ditawar-tawar. Tinggal satu hari lagi, Dira. Semua orang yang terpenting sudah diundang, ibunya Anand juga sudah mengetahui hal ini."Dira cemberut dengan air mata yang menganak sungai. "Papa gak bisa gitu dong, Pa. Kenapa Papa egois? Aku juga punya pacar, Pa. Aku punya pilihan sendiri, aku punya keinginan sendiri buat hidup aku. Pacar aku lebih tampan dan pantas jadi suami aku daripada Anand. Aku gak mau, Pa.""Putusin dia." "Papa jangan keterlaluan! Jangan atur-atur aku seperti ini, Pa. Aku lebih baik kabur sama Danil daripada punya orang tua kayak Papa." "N
Setelah seharian mengurung diri di kamar, Dira keluar karena perutnya minta diisi. Ia mengedarkan pandang, rumah begitu sepi, entah ke mana kedua orang tuanya pergi. Saat melewati ruang keluarga, ia melihat ponsel ayahnya tergeletak di atas meja. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Dengan cepat ia mengambil ponsel itu dan menyalin nomor Anand di ponselnya. Rasa lapar tiba-tiba menguap, ia pun segera berlari ke kamarnya lagi dan menekan panggilan dengan dada menggebu-gebu. "Halo?" Suara bariton dari sebrang sana sempat membuatnya berhenti bernafas. Kenapa suaranya ganteng banget? Ah, masa bodo. Apa gunanya suara bagus kalo penampilannya ... Ih. Dira bergidik. "Heh! Gue Dira. Dengerin gue, ya, gue mungkin gak bisa nolak pernikahan ini sekarang, jadi Lo bisa senang beristrikan cewek cantik dan energik kaya gue. Tapi jangan harap kita bisa jadi suami istri sungguhan seperti pasangan yang lain. Bahkan, gue minta Lo gak usah nemuin gue. Gue gak mau lihat Lo dan gue juga gak mau ke
"Aaahhh! Pagi yang cerah. Mari anggap saja semua yang terjadi adalah mimpi buruk yang gak akan jadi kenyataan," ucap Nadira sambil merenggangkan otot tubuhnya. Tatapannya tak sengaja menangkap buku nikah yang tergeletak di atas meja riasnya. Dengan cepat dia memasukan benda itu ke dalam laci. "Ah, sial! Baru juga gue berusaha mengubur tragedi naas kemarin, eh malah ditampar sama kenyataan." Setelah bersiap-siap, Nadira berlari ke luar kamar. "Dira? Kamu mau ke mana?" tanya Melati. Abram pun turut heran melihat anaknya kini yang mendadak terlihat baik-baik saja, tak seperti kemarin. "Mau ketemu sama Yasmin. Dah Ma!" "Sarapan dulu!" "Nanti aja!" Abram menggelengkan kepala. "Setidaknya dia baik-baik saja, Pa. Jujur Mama sempat cemas kemarin. Takut dia terus terpuruk dan mengganggu kesehatannya." "Anak seperti dia mana mungkin selemah itu. Lihat dia sekarang, malah gak merasa bersalah sama sekali." ***"Hei, Yas! Nunggu lama?" tanya Dira pada gadis berambut sebahu yang sudah me
"Malam Papa ... Mama ...!" Melati dan Abram menatap tajam kedua tangan Nadila yang membawa begitu banyak paper bag, sedangkan gadis itu terus berjalan cuek. "Nadira!" Langkah gadis itu yang hendak menaiki anak tangga langsung terhenti mendengar panggilan menyeramkan dari papanya. Perlahan ia berbalik, menatap satu persatu wajah orang tuanya dengan cemas."Uang siapa yang kamu pakai? Bukannya Papa tidak kasih uang?" tanya Abram."Uang ... " "Uang siapa? Kamu minjam dari teman, hah? Papa gak habis pikir, kamu se-menjengkelkan ini, Nadira! Sengaja papa gak ngasih kamu uang tambahan supaya kamu berhenti foya-foya, menghamburkan uang gak jelas. Tapi kamu ... Sama siapa kamu pinjam uang?" tanya Abram dengan mata melotot. "Uang Anand, Pa." "Anand?" pekik Abram dan Melati bersamaan. "Kamu gila, Nadira?" geram Abram. "Kenapa sih, Pa? Wajar dong dia ngasih aku uang, dia kan--""Suami kamu?" Nadira langsung mengangguk."Kamu bisa-bisanya menuntut Anand melakukan kewajiban suami, tapi k
[Maaf, aku gak bisa datang sekarang. Nanti sepulang dari sini aku pasti ke sana. Turut berduka cita.]Anand menatap pesan yang dikirimkan Nadira. Gadis itu memang sedang melakukan studi lapangan, sama seperti Triana yang tak turut serta dalam pemakaman tantenya. [Tidak masalah.]***"Umur gak ada yang tahu, ya, Ra? Padahal Kak Anand udah ngusahain yang terbaik sampai ke luar negri," ucap Triana.Nadira tak menyahut, tatapannya lurus ke depan. Entah harus bahagia atau sedih mendengar kabar itu, Nadira tak tahu. Bahagianya mungkin ini adalah jalan yang tuhan pilihkan untuk mengakhiri ikatan menyesakan ini. Hanya saja ..."Nadira ... " Nadira dan Triana sontak menoleh ke belakang, terlihat Danil sedang berdiri. "Danil? Ngapain Lo ke sini?" tanya Triana."Gue mau ngomong sama Nadira." "Gue gak izinin." "Jangan ikut campur, sana sana!" "Eh!" Nadira memberi isyarat untuk Triana memberi mereka waktu bicara. Walaupun sedikit keberatan akhirnya Triana menjauh. "Jangan macam-macam Lo sa
"Ke sana juga, yuk, Ra? Pengen lihat seganteng apa dosen baru itu." "Duh, gue lagi gak mood, Yas.""Alah mana mungkin Lo gak mood lihat yang bening-bening? Gak percaya gue." "Tapi gue serius, Yas. Gue lagi bener-bener gak mood. Kepala gue lagi kusut banget.""Gak asik, Lo. Ya udah deh gue pergi sendiri. Penasaran banget seganteng apa, sampai sekampus heboh semua." Yasmin meninggalkan Nadira sendiri. Seperginya Yasmin, Nadira duduk sendirian di kursi, mengutak-atik ponselnya, kemudian menghembuskan nafas."Dira?" Nadira menoleh, lalu menghela nafas setelah melihat Danil yang memanggilnya. Tanpa meminta persetujuan Danil duduk di samping Nadira."Ini buat kamu." Nadira menoleh, menatap bucket bunga mawar yang Danil sodorkan. Namun ia tak mengatakan apapun."Ra? Kamu masih marah? Aku tahu kenapa kamu gak berniat buat ikut heboh lihat dosen baru kita itu, karena kamu pasti masih belum bisa lupain aku, kan?""Berhenti ganggu aku, Danil.""Aku gak ganggu kamu, Ra. Aku cuma--"Nadira de
"Kamu punya teman kecil secantik itu, Anand. Kenapa nggak jatuh cinta sama dia?" Anand masih membisu, tatapannya lurus ke depan jalan."Menurutku cantikan dia daripada aku." "Tidak menurutku." Nadira mengulum senyum. "Kamu ngucapin itu dengan sadar, kan, Anand?"Anand tak menyahut."Badannya juga bagusan dia daripada aku. Dia--"Anand ngerem mendadak, membuat Nadira terdorong ke depan. "Anand! Kebiasaan!" pekiknya sambil merapikan rambut. Dengan cepat Anand menarik Nadira dan memainkan bbir istrinya dengan dalam. Beberapa saat berlalu, Anand menatap Nadira dengan lekat. "Berhenti membicarkaaln dia. Bagiku kamu yang paling indah." Nadira mengedip pelan, lalu lama-kelamaan mengulum senyum. "Bisa aja!" "Aku serius. Di mataku perempuan lain semuanya sama, cuma istriku yang berbeda."Nadira semakin tersipu malu. "Udah-udah, lanjutin lagi jalannya. Aku udah kenyang dengan pujian seperti itu.""Kenyang?""Iya. Dulu aku ini bintang besar di kampus. Semua orang pasti pernah mendengar na
"Kenapa kamu masih di sini?" tanya An tajam."A-aku ... " Tatapan Nadine terarah pada tangan yang sedang saling bertaut. "Anand ... A-aku tidak percaya kamu seperti ini," ucapnya dengan mata berkaca. Anand membuang muka. "Dan sekarang kamu harus percaya. Ayo!" Pria itu menarik Nadira."Anand tunggu! Kamu harus jelasin dulu semuanya sama aku. Anand!" Kejadian itu menarik perhatian banyak orang. Nadine menghadang Anand, membuat orang-orang mulai berkumpul memperhatikan mereka. "Aku gak percaya kamu ... kamu main-main sama dia?"Anand menarik nafas, kemudian menoleh ke arah Nadira. "Sepertinya kita harus mengumumkannya sekarang, Yank." "T-tapi, Pak, apa gak nanggung?"Anand berdecak kesal. "Kamu ini, situasinya sudah seperti ini masih mikir nanggung apa nggak?" Melihat Anand San Nadira ayang saling berbisik membuat hati Nadine semakin terbakar. Perempuan itu pun mendekat dan menarik Nadira hingga terlepas dari pegangan tangan Anand. "Wanita murahan! Gatal! Penggoda! Berani-berani
"Apa maksud kamu?" "Gue ngingetin Lo!" "Apa hak kamu?" "Gue istrinya." Nadine tertegun sesaat. "Istri?" "Ya!" Gadis itu menyibakkan rambut layaknya bintang ikan shampo di tv."Bohong! Mana mungkin Anand menyukai gadis bar-bar seperti kamu.""Terserah deh.""Kenapa kamu sok dekat sekali sama Anand?" tanya Nadine lagi. Nadira Memutar bola matanya dengan muak. "Denger, ya, hubungan gue sama pak An itu gak bakal bisa dijangkau sama otak seperempat Lo. Udah deh, berenti ganggu gue.""Kamu cuma sekretarisnya, kan?" "Itu tahu!" Nadira melotot. Ia kesal luar biasa, merasa Nadine sengaja muter-muter untuk menguji kesabarannya. "Dan saya juga tahu kamu sudah menikah. Jadi saya peringatkan, jangan merusak citra Anand dengan sifat gatal mu itu." Nadira menghela nafas. "Terima kasih untuk pujiannya. Saya permisi." Nadira membungkuk sambil melebarkan roknya. Sepanjang jalan, Nadira terus bersungut-sungut "Kurang ajar! Dia nyembunyiin temen secantik itu dari gue. Awas aja kamu Anand! Gue r
"Anand, sekalian ambilin tasku!" teriak Nadira yang masih duduk di kursi meja makan. "Siap, Sayang." Nadira tersenyum, kemudian menghabiskan susu di gelasnya. Melati dan Abram pun tak bisa berhenti mengukir senyuman melihat kemajuan yang terjadi dalam hubungan anak dan menantunya. Tak lama kemudian Anand sudah kembali dengan membawa dua tas. "Sini!""Biar Mas aja yang bawa," sahut Anand. Nadira pun mengulum senyum dan segera berpamitan pada kedua orang tuanya. Melati dan Abram sampai-sampai bertahan di teras hingga mobil yang Anand kendarai tak terlihat lagi. "Mama sangat bahagia, Pa." "Tentu saja, orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya bahagia?"***"Kamu pokoknya harus bantuin aku bikin skripsi, dan jangan bantuin orang lain." Anand yang sedang menyetir pun tersenyum dan menoleh. "Jangan khawatir, Mas cuma bakal bantuin kamu." Nadira mendelik sambil mengulum senyum. "Hilih, yang pengen dipanggil 'mas'." "Iya dong. Ayo, mulai sekarang panggil aku Mas. Mas pengen
Sesaat keduanya saling tatap, dan tanpa diduga Anand langsung mendorong Nadira hingga telentang dan segera menarik selimut. "Aaaa lepas! Apa yang kamu lakukan Anand? Berhenti! Dasar cabu--" "Ssttt!" Anand membekap mulut istrinya. "Kamu ini! Apa gak bisa tenang sedikit? Malu kalau didengar mama atau papa." Beberapa saat keduanya saling tatap dalam cahaya remang-remang tersebut. Gadis itu mengedip degan cepat. "Tenang saja. Oke?" ucap Anand setengah berbisik. Nadira mengangguk patuh. Perlahan-lahan Anand melepaskan bekapan tangannya. Suasana hening seketika, keduanya seolah menggunakan mata untuk mewakili lisan, mencoba saling mengerti isi pikiran dan hati satu sama lain lewat tatapan. "Aku mencintaimu, Nadira. Cuma kamu perempuan yang ada di duniaku." Nadira tak sanggup berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, dadanya berdegup kencang. Apalagi saat melihat tatapan Anand yang ia rasa semakin berbeda. Penuh damba dan pengharapan akan sesuatu yang selama ini tak pernah ia beri
"Shena?" tanya Anand dengan kening mengernyit."Masih pura-pura gak ngerti." Nadira mendengkus.Anand menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat kejadian mana yang melibatkan nama itu hingga membuat Nadira semarah ini. Hingga kemudian pria itu berdecak sambil menyandarkan kepala. "Ya ampun, Dira. Sejauh itu pikiran kamu? Aku bahkan sudah lupa kejadian itu. Tapi kamu? Apa kejadian seperti itu sangat penting bagi kamu sampai terus teringat sampai sekarang?" Nadira mencebik. "Lupa ... Lupa! Sama kejadiannya lupa, tapi sama orangnya nggak, kan?""Nadira, Shena itu cuma kenalan aku. Dia ngajak kerja sama buka usaha, tapi aku menolaknya.""Terus?" "Apanya yang terus?" "Ya terus sekarang kalian terlibat apa lagi?" "Ya sekarang gak ada apa-apa. Aku udah gak pernah hubungan lagi sama dia. Dia juga tahu aku sudah menikah.""Bohong!" "Loh, kok?" "Jelas-jelas kemarin juga kamu teleponan sama dia, kan?" "Kemarin? Kapan, Dira?" "Yang kemarin pas di kamar!" "Astaga Diraaa ... Dira!" Anand te
Semua mahasiswa di semester akhir mulai sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki sesi pembuatan skripsi. Termasuk Nadira dan teman-temannya. Setiap hari selalu menghabiskan waktu di perpustakaan dengan bermacam-macam buku di atas meja. Jika pun harus nongkrong di tempat lain, buku kini menjadi benda yang wajib ada di tangan mereka."Nadira, pak An nyariin kamu." Nadira menoleh pada Marvel, lalu mengangguk menanggapi informasi yang temannya itu berikan. Namun, dalam benaknya tak ada niatan sama sekali untuk menemui dekannya itu. "Diraaa ... Lo rajin banget akhir-akhir ini. Mendadak tekena virus kutu buku kaya gini," celetuk Yasmin begitu kembali dari warung. Nadira tak menggubris dan tetap fokus pada buku di tangannya. "Ra, ini minum dulu." Nadira menatap minuman dingin yang dibawa Triana. "Makasih, Na. Cuma Lo yang perhatian sungguhan sama gue.""Apa? Dan gue ...? Lo ... Lo menyepelekan kasih sayang gue, Dira. Kejamnya!" ucap Yasmin dengan terisak palsu."Banyak drama Lo!""Tapi ka
Nadira yang baru masuk ke kamar langsung mematung di depan pintu saat mendapati Anand sedang menelepon sambil membelakanginya. Hatinya mendadak bergejolak. Pria itu langsung mematikan panggilan dan berbalik, menoleh ke arah Nadira. "Kenapa langsung dimatiin? Takut gue denger, ya?" tanya Nadira penuh selidik."Sudah selesai." "Masa? Bukannya takut gue ganggu?" Anand mengerutkan kening. "Kamu itu kenapa? Curiga? Tadi tuh cuma--""Udah-udah! Gak usah repot-repot ngejelasin. Gue gak peduli!" jerit Nadira sambil menutup kedua telinga. Anand menghela nafas. "Mereka sudah pulang?" tanyanya mengalihkan topik.Nadira mendelik acuh. "Apa urusannya sama kamu?" "Kamu mengurung suamimu seharian di sini dan sibuk dengan mereka. Bahkan kamu tidak datang melihat keadaanku sekalipun, apa aku ingin sesuatu, atau butuh sesuatu. Benar-benar gak peduli." Anand merajuk.Nadira mengangkat kedua alisnya dengan acuh dan dengan santai berjalan menuju lemari. "Kamu dengar aku, kan?" "Hah ... Siapa juga y
"Tatap mata gue, Ra. Jawab, apa yang Lo sembunyiin di kamar Lo dari kita?"Nadira yang mulai mengerti langsung melepaskan kedua tangan Yasmin dari pundaknya, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Namun lagi-lagi Yasmin memegang kedua pundak Nadira dan memaksa Dira menghadap ke arahnya. "Jawab, Ra!"Nadira berdecak sambil memejam. "Gak ada apa-apa, suer!" "Boong, Lu!" "Serius, Yas!" "Ya udah kalo gitu, gue mau ke kamar Lo." "Eeeetttt!" Nadira menarik Yasmin yang sudah berjalan menuju pintu. "Nah, kan? Lo takut, kan, kita ke kamar Lo?" "Y-yaa ... Tapi ... Gue gak maksud nyembunyiin apa-apa dari kalian. Gue cuma belum siap aja, oke? Nanti juga kalian pasti tahu." "Apakah itu?" selidik Yasmin masih tak menyerah. Triana yang sedari tadi tak ikut ribut mulai mempunyai dugaan. Ada kemungkinan memang benar yang tadi sempat ia lihat di balkon kamar Nadira itu memang kakak sepupunya, yang tak lain adalah suaminya Nadira. Semula Triana mengira itu hanyalah bayangan karena hanya melih