Semua mahasiswa di semester akhir mulai sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki sesi pembuatan skripsi. Termasuk Nadira dan teman-temannya. Setiap hari selalu menghabiskan waktu di perpustakaan dengan bermacam-macam buku di atas meja. Jika pun harus nongkrong di tempat lain, buku kini menjadi benda yang wajib ada di tangan mereka."Nadira, pak An nyariin kamu." Nadira menoleh pada Marvel, lalu mengangguk menanggapi informasi yang temannya itu berikan. Namun, dalam benaknya tak ada niatan sama sekali untuk menemui dekannya itu. "Diraaa ... Lo rajin banget akhir-akhir ini. Mendadak tekena virus kutu buku kaya gini," celetuk Yasmin begitu kembali dari warung. Nadira tak menggubris dan tetap fokus pada buku di tangannya. "Ra, ini minum dulu." Nadira menatap minuman dingin yang dibawa Triana. "Makasih, Na. Cuma Lo yang perhatian sungguhan sama gue.""Apa? Dan gue ...? Lo ... Lo menyepelekan kasih sayang gue, Dira. Kejamnya!" ucap Yasmin dengan terisak palsu."Banyak drama Lo!""Tapi ka
"Shena?" tanya Anand dengan kening mengernyit."Masih pura-pura gak ngerti." Nadira mendengkus.Anand menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat kejadian mana yang melibatkan nama itu hingga membuat Nadira semarah ini. Hingga kemudian pria itu berdecak sambil menyandarkan kepala. "Ya ampun, Dira. Sejauh itu pikiran kamu? Aku bahkan sudah lupa kejadian itu. Tapi kamu? Apa kejadian seperti itu sangat penting bagi kamu sampai terus teringat sampai sekarang?" Nadira mencebik. "Lupa ... Lupa! Sama kejadiannya lupa, tapi sama orangnya nggak, kan?""Nadira, Shena itu cuma kenalan aku. Dia ngajak kerja sama buka usaha, tapi aku menolaknya.""Terus?" "Apanya yang terus?" "Ya terus sekarang kalian terlibat apa lagi?" "Ya sekarang gak ada apa-apa. Aku udah gak pernah hubungan lagi sama dia. Dia juga tahu aku sudah menikah.""Bohong!" "Loh, kok?" "Jelas-jelas kemarin juga kamu teleponan sama dia, kan?" "Kemarin? Kapan, Dira?" "Yang kemarin pas di kamar!" "Astaga Diraaa ... Dira!" Anand te
Sesaat keduanya saling tatap, dan tanpa diduga Anand langsung mendorong Nadira hingga telentang dan segera menarik selimut."Aaaa lepas! Apa yang kamu lakukan Anand? Berhenti! Dasar cabu--""Ssttt!" Anand membekap mulut istrinya. "Kamu ini! Apa gak bisa tenang sedikit? Malu kalau didengar mama atau papa." Beberapa saat keduanya saling tatap dalam cahaya remang-remang tersebut. Gadis itu mengedip degan cepat. "Tenang saja. Oke?" ucap Anand setengah berbisik. Nadira mengangguk patuh. Perlahan-lahan Anand melepaskan bekapan tangannya. Suasana hening seketika, keduanya seolah menggunakan mata untuk mewakili lisan, mencoba saling mengerti isi pikiran dan hati satu sama lain lewat tatapan."Aku mencintaimu, Nadira. Cuma kamu perempuan yang ada di duniaku." Nadira tak sanggup berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, dadanya berdegup kencang. Apalagi saat melihat tatapan Anand yang ia rasa semakin berbeda. Penuh damba dan pengharapan akan sesuatu yang selama ini tak pernah ia berikan sebagai
"Gak mau! Pokoknya aku gak mau nikah cepet-cepet. Aku masih muda, pengen senang-senang, masih pengen bebas berkeliaran, Ma!" "Gak bisa, pokoknya kamu harus menikah sama Anand dua hari lagi!" bantah Abram, papanya Dira."Dengar, Sayang, kamu tidak bisa seperti ini terus. Kamu sudah dewasa, umurmu sudah cukup untuk menikah. Anand itu laki-laki baik, bertanggung jawab, mama sama papa yakin dia pasti bisa membimbing kamu jadi lebih baik." Melati menambahkan."Tapi aku udah punya pacar, Ma. Dia gak kalah baik dan bertanggung jawab dari Anand." "Tahu apa kamu tentang tanggung jawab seorang laki-laki, hah? Sudah, putusin dia dan menikah sama Anand." "Aku gak mau, apalagi mendadak banget kayak gini. Aku gak pernah bertemu sama dia, gak tahu orangnya, mau nikah kok gini?" "Nanti juga kalian ketemu. Dengar, Ra, ibunya sekarang sedang kritis, meminta Anand untuk segera menikahi kamu. Papa, mama, sama ibunya Anand sudah lama berencana menikahkan kalian berdua. Jadi gak ada alasan lagi. Ini ge
"Gak maaauuu! Mama, aku gak mau nikah sama Anand, Ma. Aku gak mau, serius, Ma!" "Pa! Papa tolong dengerin jeritan anakmu satu-satunya ini, Pa. Aku gak mau nikah sama Anand, Pa. Aku mohon."Dira berlutut, beralih dari ayahnya ke ibunya sambil merengek, tetapi kedua orang tuanya tetap bergeming."Berhenti kekanak-kanakan, Nadira. Kami tahu mana yang terbaik buat kamu, bahkan melebihi kamu sendiri. Dan masalah ini gak bisa lagi ditawar-tawar. Tinggal satu hari lagi, Dira. Semua orang yang terpenting sudah diundang, ibunya Anand juga sudah mengetahui hal ini."Dira cemberut dengan air mata yang menganak sungai. "Papa gak bisa gitu dong, Pa. Kenapa Papa egois? Aku juga punya pacar, Pa. Aku punya pilihan sendiri, aku punya keinginan sendiri buat hidup aku. Pacar aku lebih tampan dan pantas jadi suami aku daripada Anand. Aku gak mau, Pa.""Putusin dia." "Papa jangan keterlaluan! Jangan atur-atur aku seperti ini, Pa. Aku lebih baik kabur sama Danil daripada punya orang tua kayak Papa." "N
Setelah seharian mengurung diri di kamar, Dira keluar karena perutnya minta diisi. Ia mengedarkan pandang, rumah begitu sepi, entah ke mana kedua orang tuanya pergi. Saat melewati ruang keluarga, ia melihat ponsel ayahnya tergeletak di atas meja. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Dengan cepat ia mengambil ponsel itu dan menyalin nomor Anand di ponselnya. Rasa lapar tiba-tiba menguap, ia pun segera berlari ke kamarnya lagi dan menekan panggilan dengan dada menggebu-gebu. "Halo?" Suara bariton dari sebrang sana sempat membuatnya berhenti bernafas. Kenapa suaranya ganteng banget? Ah, masa bodo. Apa gunanya suara bagus kalo penampilannya ... Ih. Dira bergidik. "Heh! Gue Dira. Dengerin gue, ya, gue mungkin gak bisa nolak pernikahan ini sekarang, jadi Lo bisa senang beristrikan cewek cantik dan energik kaya gue. Tapi jangan harap kita bisa jadi suami istri sungguhan seperti pasangan yang lain. Bahkan, gue minta Lo gak usah nemuin gue. Gue gak mau lihat Lo dan gue juga gak mau ke
"Aaahhh! Pagi yang cerah. Mari anggap saja semua yang terjadi adalah mimpi buruk yang gak akan jadi kenyataan," ucap Nadira sambil merenggangkan otot tubuhnya. Tatapannya tak sengaja menangkap buku nikah yang tergeletak di atas meja riasnya. Dengan cepat dia memasukan benda itu ke dalam laci. "Ah, sial! Baru juga gue berusaha mengubur tragedi naas kemarin, eh malah ditampar sama kenyataan." Setelah bersiap-siap, Nadira berlari ke luar kamar. "Dira? Kamu mau ke mana?" tanya Melati. Abram pun turut heran melihat anaknya kini yang mendadak terlihat baik-baik saja, tak seperti kemarin. "Mau ketemu sama Yasmin. Dah Ma!" "Sarapan dulu!" "Nanti aja!" Abram menggelengkan kepala. "Setidaknya dia baik-baik saja, Pa. Jujur Mama sempat cemas kemarin. Takut dia terus terpuruk dan mengganggu kesehatannya." "Anak seperti dia mana mungkin selemah itu. Lihat dia sekarang, malah gak merasa bersalah sama sekali." ***"Hei, Yas! Nunggu lama?" tanya Dira pada gadis berambut sebahu yang sudah me
"Malam Papa ... Mama ...!" Melati dan Abram menatap tajam kedua tangan Nadila yang membawa begitu banyak paper bag, sedangkan gadis itu terus berjalan cuek. "Nadira!" Langkah gadis itu yang hendak menaiki anak tangga langsung terhenti mendengar panggilan menyeramkan dari papanya. Perlahan ia berbalik, menatap satu persatu wajah orang tuanya dengan cemas."Uang siapa yang kamu pakai? Bukannya Papa tidak kasih uang?" tanya Abram."Uang ... " "Uang siapa? Kamu minjam dari teman, hah? Papa gak habis pikir, kamu se-menjengkelkan ini, Nadira! Sengaja papa gak ngasih kamu uang tambahan supaya kamu berhenti foya-foya, menghamburkan uang gak jelas. Tapi kamu ... Sama siapa kamu pinjam uang?" tanya Abram dengan mata melotot. "Uang Anand, Pa." "Anand?" pekik Abram dan Melati bersamaan. "Kamu gila, Nadira?" geram Abram. "Kenapa sih, Pa? Wajar dong dia ngasih aku uang, dia kan--""Suami kamu?" Nadira langsung mengangguk."Kamu bisa-bisanya menuntut Anand melakukan kewajiban suami, tapi k
Sesaat keduanya saling tatap, dan tanpa diduga Anand langsung mendorong Nadira hingga telentang dan segera menarik selimut."Aaaa lepas! Apa yang kamu lakukan Anand? Berhenti! Dasar cabu--""Ssttt!" Anand membekap mulut istrinya. "Kamu ini! Apa gak bisa tenang sedikit? Malu kalau didengar mama atau papa." Beberapa saat keduanya saling tatap dalam cahaya remang-remang tersebut. Gadis itu mengedip degan cepat. "Tenang saja. Oke?" ucap Anand setengah berbisik. Nadira mengangguk patuh. Perlahan-lahan Anand melepaskan bekapan tangannya. Suasana hening seketika, keduanya seolah menggunakan mata untuk mewakili lisan, mencoba saling mengerti isi pikiran dan hati satu sama lain lewat tatapan."Aku mencintaimu, Nadira. Cuma kamu perempuan yang ada di duniaku." Nadira tak sanggup berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, dadanya berdegup kencang. Apalagi saat melihat tatapan Anand yang ia rasa semakin berbeda. Penuh damba dan pengharapan akan sesuatu yang selama ini tak pernah ia berikan sebagai
"Shena?" tanya Anand dengan kening mengernyit."Masih pura-pura gak ngerti." Nadira mendengkus.Anand menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat kejadian mana yang melibatkan nama itu hingga membuat Nadira semarah ini. Hingga kemudian pria itu berdecak sambil menyandarkan kepala. "Ya ampun, Dira. Sejauh itu pikiran kamu? Aku bahkan sudah lupa kejadian itu. Tapi kamu? Apa kejadian seperti itu sangat penting bagi kamu sampai terus teringat sampai sekarang?" Nadira mencebik. "Lupa ... Lupa! Sama kejadiannya lupa, tapi sama orangnya nggak, kan?""Nadira, Shena itu cuma kenalan aku. Dia ngajak kerja sama buka usaha, tapi aku menolaknya.""Terus?" "Apanya yang terus?" "Ya terus sekarang kalian terlibat apa lagi?" "Ya sekarang gak ada apa-apa. Aku udah gak pernah hubungan lagi sama dia. Dia juga tahu aku sudah menikah.""Bohong!" "Loh, kok?" "Jelas-jelas kemarin juga kamu teleponan sama dia, kan?" "Kemarin? Kapan, Dira?" "Yang kemarin pas di kamar!" "Astaga Diraaa ... Dira!" Anand te
Semua mahasiswa di semester akhir mulai sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki sesi pembuatan skripsi. Termasuk Nadira dan teman-temannya. Setiap hari selalu menghabiskan waktu di perpustakaan dengan bermacam-macam buku di atas meja. Jika pun harus nongkrong di tempat lain, buku kini menjadi benda yang wajib ada di tangan mereka."Nadira, pak An nyariin kamu." Nadira menoleh pada Marvel, lalu mengangguk menanggapi informasi yang temannya itu berikan. Namun, dalam benaknya tak ada niatan sama sekali untuk menemui dekannya itu. "Diraaa ... Lo rajin banget akhir-akhir ini. Mendadak tekena virus kutu buku kaya gini," celetuk Yasmin begitu kembali dari warung. Nadira tak menggubris dan tetap fokus pada buku di tangannya. "Ra, ini minum dulu." Nadira menatap minuman dingin yang dibawa Triana. "Makasih, Na. Cuma Lo yang perhatian sungguhan sama gue.""Apa? Dan gue ...? Lo ... Lo menyepelekan kasih sayang gue, Dira. Kejamnya!" ucap Yasmin dengan terisak palsu."Banyak drama Lo!""Tapi ka
Nadira yang baru masuk ke kamar langsung mematung di depan pintu saat mendapati Anand sedang menelepon sambil membelakanginya. Hatinya mendadak bergejolak. Pria itu langsung mematikan panggilan dan berbalik, menoleh ke arah Nadira. "Kenapa langsung dimatiin? Takut gue denger, ya?" tanya Nadira penuh selidik."Sudah selesai." "Masa? Bukannya takut gue ganggu?" Anand mengerutkan kening. "Kamu itu kenapa? Curiga? Tadi tuh cuma--""Udah-udah! Gak usah repot-repot ngejelasin. Gue gak peduli!" jerit Nadira sambil menutup kedua telinga. Anand menghela nafas. "Mereka sudah pulang?" tanyanya mengalihkan topik.Nadira mendelik acuh. "Apa urusannya sama kamu?" "Kamu mengurung suamimu seharian di sini dan sibuk dengan mereka. Bahkan kamu tidak datang melihat keadaanku sekalipun, apa aku ingin sesuatu, atau butuh sesuatu. Benar-benar gak peduli." Anand merajuk.Nadira mengangkat kedua alisnya dengan acuh dan dengan santai berjalan menuju lemari. "Kamu dengar aku, kan?" "Hah ... Siapa juga y
"Tatap mata gue, Ra. Jawab, apa yang Lo sembunyiin di kamar Lo dari kita?"Nadira yang mulai mengerti langsung melepaskan kedua tangan Yasmin dari pundaknya, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Namun lagi-lagi Yasmin memegang kedua pundak Nadira dan memaksa Dira menghadap ke arahnya. "Jawab, Ra!"Nadira berdecak sambil memejam. "Gak ada apa-apa, suer!" "Boong, Lu!" "Serius, Yas!" "Ya udah kalo gitu, gue mau ke kamar Lo." "Eeeetttt!" Nadira menarik Yasmin yang sudah berjalan menuju pintu. "Nah, kan? Lo takut, kan, kita ke kamar Lo?" "Y-yaa ... Tapi ... Gue gak maksud nyembunyiin apa-apa dari kalian. Gue cuma belum siap aja, oke? Nanti juga kalian pasti tahu." "Apakah itu?" selidik Yasmin masih tak menyerah. Triana yang sedari tadi tak ikut ribut mulai mempunyai dugaan. Ada kemungkinan memang benar yang tadi sempat ia lihat di balkon kamar Nadira itu memang kakak sepupunya, yang tak lain adalah suaminya Nadira. Semula Triana mengira itu hanyalah bayangan karena hanya melih
"Aaaaaa! Semuanya gara-gara Lo, Nana! Gue jadi basah kuyup gini!" "Lo yang narik gue, ya! Harusnya gue yang marah.""Udah-udah, kalian ini ... Pantes banget deh kalo jadi adek kakak," celetuk Nadira sambil terkekeh. Triana dan Yasmin saling tatap dengan sama-sama berwajah masam. Seolah ada hantaran energi tak kasat mata yang membentang di antara kedua pasang mata itu. "Udah sini naik ganti baju, pake baju gue dulu deh, ya?" Triana dan Yasmin saling berebut naik lebih dulu. Yasmin sudah naik dua tangga, tetapi kemudian Triana menariknya sampai tercebur lagi. Yasmin mencak-mencak dan menarik hendak menarik Triana, namun temannya itu naik dengan cepat hingga berhasil menginjakkan kaki di atas. Triana dan Yasmin sedang memeras pakaiannya masing-masing. "Belakangnya belum, tuh, masih netes-netes," ucap Triana. Yasmin memutar kepala ke belakang, dan saat tangannya hendak memeras baju bagian belakangnya, Triana mengambil posisi dan memeras baju Yasmin tersebut. "Gue dong tolong," uca
Nadira melengos dengan wajah semakin masam. Anand mencoba membalikkan badan Nadira, namun dengan cepat perempuan itu menepis tangannya. "Jangan ngambek, dong, kan ini aku mau ganti. Sekalian sama kompensasi, jadi dua kali." "Siapa juga yang mau, hah!" "Loh? Yakin gak mau?" "Gak usah kegeeran." "Aku pikir kamu tadi berharap aku melakukannya." "S-siapa bilang?" "Aku, kan?" "Kamu salah.""Oh, salah, ya? Terus maunya apa?"Merasakan ada yang menggerayangi pinggangnya, Nadira menegang seketika. Ia sampai menahan nafas saat tangan itu berhasil melilit tubuhnya bersamaan dengan rasa hangat yang terasa di punggungnya. Nadira memejam, tak berani melihat bayangannya di cermin. "Nadira? Itu Yasmin sama Triana sudah datang." Dengan cepat Nadira mendorong Anand menjauh dan melepaskan diri."Iya, Ma. Suruh tunggu sebentar!" Ia menatap penampilannya di cermin sambil menyeka wajahnya yang mendadak berkeringat. Dengan tergesa ia berjalan menuju pintu. Namun sebelum memutar gagang pintu, Na
"Maafkan sikap Nadira, ya? Kadang-kadang dia memang suka kelewatan.""Tidak apa-apa, Ma. Ini lebih baik daripada Nadira membenci Anand.""Tapi ... Lebih baik kalau Nadira sedang tidak bisa diajak bicara jangan diganggu dulu, Nak. Mama gak tega lihat kamu. Wajah kamu sampai begitu." "Anggap saja ini sebagai tanda penerimaan. Ya kan, Pa?" Abram yang sedang makan langsung mengangguk menanggapi pertanyaan menantunya. Kemudian pria paruh baya itu mengacungkan satu jempolnya. "Hah, Papa ini.""Memang gak mudah naklukin Nadira, Ma. Tentu Anand harus berjuang keras untuk meluluhkan hatinya. Ya, kan, Nak?" Kini Anand yang mengangguk. "Ya sudah, terserah kalian saja. Mama mau panggil Nadira dulu biar makan bareng." Setelah melihat Melati menjauh, Abram membisikan sesuatu pada menantunya. "Nak, Nadira itu memang keras kepala dan susah sekali dibujuk. Tapi papa yakin, dia tidak akan bisa menolak kamu. Percaya sama papa."Anand tersenyum. "Siap, Pa." "Papa tahu, sedikit banyaknya Nadira it
Begitu mobil tiba di halaman rumah, Dira langsung turun dan berlari ke dalam. "Dira tunggu!" Perempuan itu tak mendengarkan dan terus berlari menaiki tangga. "Ada apa, Nak?" tanya Abram menghampiri menantunya. "Gimana, Nak? Nadira sudah diberitahu?" Kini giliran Melati yang bertanya."Sudah, Ma," ucap Anand tersenyum menatap kedua mertuanya. "Terus Nadira kenapa lari-lari?" tanya Melati lagi."Mungkin dia masih syok, Ma." Abram dan Melati kompak mengangguk. "Itu wajah kamu kenapa?" Anand memegang wajahnya, kemudian teringat dengan kejadian beberapa saat lalu. Ia terkekeh."Pasti Nadira yang melakukannya." Anand hanya tersenyum."Kamu mau bicara sama Nadira, Nak? Masuk saja ke kamarnya." Abram memberi usul. "Atau ... mau memberinya waktu sendiri dulu?" "Sepertinya tidak perlu memberi waktu lagi, Pa, lebih cepat lebih baik. Walaupun mungkin luka-luka ini akan bertambah." Anand terkekeh mengatakannya, sedangkan Melati meringis ngilu. Abram tertawa, kemudian menepuk pundak mena