“Semua hak warisan Devan jatuh kepada Niara, termasuk dengan villa. Ada yang mau protes? Silakan mengangkat tangan!” Lelaki berjas hitam dengan dasi polkadot sedang mengadakan rapat keluarga besarnya.
Namanya Devan, pemilik salah satu perusahaan besar di Asia. Dia mempunyai kekayaan mencapai kuadriliun. Devan adalah anak kedua dari empat bersaudara, namun dialah pemegang saham sepenuhnya yang mana adalah hasil pembagian warisan dari almarhum ayah mereka yang Devan kembangkan hingga menjadi sebesar sekarang. Tidak ada yang mengetahui tentang kekayaan Devan dari pihak keluarganya ini. Saudara Devan hanya tahu Devan bekerja menjadi direktur di suatu perusahaan dan beberapa buah villa yang cukup menghasilkan. “Apa, perempuan mandul itu?” sanggah kakak tertua. Kakak tertua mempunyai watak yang paling kers dan pemarah, namanya Erwin dengan sedikit jabis di dagunya, mempunyai dua orang anak yang tinggal di Australia bersama istrinya. Erwin bekerja tak menetap dikarenakan wataknya yang keras itulah membuatnya kerap kali dipecat dalam pekerjaan yang digelutinya. “Jaga mulutmu, Kak!” Devan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan mata sang kakak. Seorang perempuan berjilbab hitam bernama Niara sedang asyik mencuci piring di dapur, dia adalah istri Devan satu-satunya. Niara tidak mendengar apa yang dibincangkan di ruang kerja milik Devan. Pernikahan Niara dengan Devan baru saja menginjak usia pernikahan yang kelima tahun, pada awalnya rumah tangga mereka harmonis saja. Namun, setelah satu tahun belakangan ini ketiga saudara Devan tinggal di rumah Devan dan menjadikan Niara layaknya seorang pelayan mereka, mereka bertindak seenaknya saja membuat Devan merasa sangat geram dengan kelakuan keluarganya itu pada isterinya. “Apa, benar kan Niara itu mandul? Nggak bisa ngasih kamu keturunan. Coba lihat kami semua punya anak, kamu?” Plak... Tamparan mendarat di pipi Erwin. Dia juga mendapatkan harta warisan dari almarhum ayah mereka, namun dia tidak pandai mengelola dan akibat hobinya bermain judi online itu membinasakan karirnya, beruntung dia punya isteri yang bekerja di luar negeri sehingga anak-anak mereka tidak terlantar. “Berani kamu menamparku, Devan?” Erwin memicingkan matanya pada Devan. “Apa? Kenapa? Kakak sudah berani menghina istriku, mengapa aku tidak boleh menamparmu?” tantang Devan. “Sudah, cukup!” Adik perempuan Devan menengahi. Adik perempuan Devan baru saja menikah dan sedang mengandung. Namanya Ratna, perempuan berbadan tinggi dengan rambut yang ikal bergelombang. Suaminya bekerja di kapal, sudah setahun ini dia belum pulang yang membuat Ratna harus tinggal di rumah Devan. “Kalian ini kenapa sih berantem kaya anak kecil?” “Kamu Kak Devan, memangnya kakak sudah pikirkan ini dengan matang? Gimana nanti kalau si Niara itu ternyata cuman ngincar harta Kak Devan? Jangan tertipu dengan wajah lugunya!” “Aku sangat mengenal Niara,dia istriku, kalian tidak akan tahu bagaimana dia. Keputusanku sudah bulat. Villa, rumah dan semua hartaku atas nama Niara, titik!” Devan menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai, kemudian ia beranjak pergi meninggalkan kedua saudaranya. Devan menuju dapur, berniat mendatangi sang isteri untuk pamit pergi ke tempat kerja. Niara yang telah selesai mencuci piring kotor, dia lanjut menyapu dan mengepel rumah . Devan menatap Niara yang sedang memunggunginya, air mata Devan kerap kali ingin jatuh setip kali melihat tangan lembut istrinya itu harus memegang pekerjaan rumah. Devan memeluk Niara dari belakang. “Sayang,” ucap Devan lembut. Niara pun tersenyum lembut. “Mas, Ara lagi keringetan, Lepas! Nanti kamu ikutan bau keringat.” Niara melepaskan dekapan tangan suaminya. “Sayang, berapa kali Mas bilang kalau kamu jangan ngerjain ini semua. Mas mohon, tolong hentikan!” Ucapan itu sudah ratusan kali Devan ucapkan pada Niara, namun tetap saja tiada mempan dengan kelembutan jawaban Niara. Niara membalikkan badan, menghadap suaminya dengan senyuman yang mengembang. “Mas, aku senang ngelakuin ini semua. Niara suka. Mas mau ngelarang apa yang bikin Ara senang?” Devan menggeleng cepat. “Jangan kalimat itu lagi sayang!” “Sudahlah, Mas. Sekarang sudah jam segini kok kamu belum berangkat ngantor?” tanya Niara lembut sembari merapikan dasi Devan. “Astagfirullah kelupaan. Kalau gitu Mas berangkat sekarang. Kamu banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu kecapean, oke!” “Oke, Mas.” Niara mengantar Devan sampai ke depan rumah, Devan berangkat menggunakan mobil hitam lusuh yang sudah ketinggalan jaman yang selalu dibawa Devan untuk berangkat kerja, sebenarnya dia punya tiga buah mobil. Namun, dua buah mobilnya rusak, yang pertama akibat Erwin yang menabrak pohon akibat menyetir dalam keadaan mab*k dan yang satunya lagi rusak akibat ulah Levi yang dia gunakan untuk balap liar bersama teman-temannya. Sebenarnya, sangat mudah bagi Devan untuk membeli beberapa buah mobil mewah terbaru sekaligus, namun demi menyembunyikan kekayaannya dari tangan-tangan serakah saudaranya, Devan mengurungkan itu semua. “Hati-hati, Mas!” *** Brak... Kecelakaan terjadi di jalan raya. Sebuah mobil ber-plat XXXXX hancur setelah menabrak pembatas jalan. Polisi dengan cepat mengevakuasi tempat kejadian, garis polisi telah terpasang di tempat kejadian. (Hallo, apa benar ini dengan keluarga Pak Devan?) Niara yang mengangkat telepon pun merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dalam lubuk hati kecilnya. (Iya, saya isterinya. Ini siapa?) (Kami dari kepolisian. Baru saja terjadi kecelakaan di jalan raya dengan mobil ber-plat XXXXX, kami menemukan kartu identitas korban. Ibu busa segera datang untuk memastikan apakah benar korban adalah suami ibu) Niara langsung terduduk lesu, hatinya bertalun-talun dengan kesedihan yang teramat mendalam. “Innalillahi wainna ilaihi roji’un, ya Allah Mas Devan.” Niara menyeka air matanya lalu bergegas untuk pergi ke tempat kejadian. Sebelum itu, Niara memberitahukan terlebih dahulu kepada saudara/i Devan tentang berita duka tersebut. “Apa, Kak Devan kecelakaan? Gimana keadaannya sekarang?” tanya Ratna dengan ketus. “Aku nggak tau, bisa kita berangkat ke lokasi kejadian?” Niara meminta bantuan karena dia trauma mengendarai motor ataupun mobil setelah kejadian yang menimpanya di waktu silam. “Kamu pergi aja sendiri, kan banyak tukang ojek di luar. Aku males panas-panasan.” Dengan berat hati Niara beranjak mencari ojek. Tidak ada yang peduli dengan Devan dan dirinya, semua saudara Devan membenci Niara. Setelah berjalan kurang lebih sembilan puluh meter dari rumah, akhirnya Niara menemukan tukang ojek dan mengantarkannya menuju lokasi. Di lokasi, banyak orang bergerombolan melingkari tempat kejadian di balik batas polisi, Niara perahan menyibak gerombolan itu dan mencari suaminya. “Mas Devan,” panggil Niara. ‘Pak polisi, dimana suami saya?” ringis Niara berderai air mata. Pak polisi memperlihatkan mayat yang sudah berada di dalam kantong may*t. Badan Niara semakin tidak bisa ditopang, lututnya tertancap ke tanah. Suaranya tersekat dengan tangisan yang tidak bisa diteriakkan. Dunia Niara terasa hancur, warna dunia hanya ada kelabu dan kesedihan semata melihat sosok yang dicinta terkujur tidak berdaya. “Mas Devan jangan tinggalkan Niara!” “Ibu bisa cek untuk memastikan apakah benar korban adalah suami ibu.” Niara menggeleng, perlahan ia mendekat dan polisi membuka penutup kantong may*t, namun wajah korban sudah tidak bisa dikenali dikarenakan pecahnya bagian kepala. “Bukan, saya yakin dia bukan Mas Devan. Saya yakin sekali dia bukan suami saya,” ucap Niara yakin. “Apa benar, bu? Tapi, identitas dan mobil benar milik Pak Devan.” “Enggak, dia bukan Mas Devanku...” Niara berlari meninggalkan semuanya, hatinya masih tidak kuat untuk memungkiri bahwa may*t itu bukanlah Devan, suaminyaSesampainya di rumah setelah pergi dari tempat kejadian, Niara gegas ke kamar dan mengurung diri. Ia tersandar di belakang pintu dengan hati yang tak menentu. “Nggak mungkin, itu bukan Mas Devan. Aku bisa merasakan dan yakin kalau mayat itu bukan Mas Devan,” gumam Niara yakin. Meskipun keyakinan hatinya begitu besar, namun Niara tetap tidak bisa membendung air matanya. Mengingat jikalau mobil serta ponsel dan dompet di tempat kejadian adalah milik Devan, suaminya. “Jika bukan Mas Devan, lalu siapa? Mas Devan ke mana?” Niara masih berusaha menenangkan hati kecilnya. “Nggak, aku yakin. Mayat itu bukan Mas Devan. Mungkin saja, mobilnya tadi dipinjam sama rekan kerjanya dan Mas Devan memang tidak ada di dalam mobil itu waktu kejadian.” [Tok... Tok... Tok] Ketukan pintu terdengar sangat keras, membuat Niara gegas keluar dari zona pikirnya. “Mas Devan?” ucap Niara dengan penuh harapan dan ia pun gegas membuka pintu. Namun, harapan tidak seindah kenyataan. “Pake acara pura-pura nangi
Pagi hari sekali, Niara telah berdandan cantik dengan pakaian yang sudah lama tersimpan di dalam almari, ia kembali akan menjalani hari dengan bekerja di kantor seperti dulu sebelum ia memutuskan menikah dengan Devan. Penampilannya terlihat sangat elegan dan anggun, membuat setiap pasag mata yang menatapnya tidak akan percaya jikalau ia adalah Niara. Erwin tak berkedip saat melihat Niara yang hendak berangkat bekerja, ia terpana dengan kemolekan dan keanggunan sang adik ipar yang selalu ia caci dan siksa. “Sudah mau berangkat, Niara?” tanya Erwin dengan nada yang berbeda dari biasanya. Niara sedikit memberi jarak. “Iya, Kak.” “Naik apa? Apa mau aku anterin?” Suara Erwin semakin memelan. Niara menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kak. Niara ada yang jemput,” jawab Niara yang merasa tidak nyaman terhadap perubahan sikap kakak iparnya. “Dasar, mentang-mentang udah kerja. Kamu berani menolak ajakanku.” Suara Erwin kembali menggelegar seperti biasanya, tangannya siap melaya
Ratna sedang mondar-mandir di ruang tengah. Dia merasa tidak tenang setelah kepergian Niara ke kantor karena ketakutan menghantuiya. “Ratna, kamu itu kenapa sih dari tadi mondar-mandir?” tanya Lia santai duduk di depan tivi. “Aku khawatir, Mbak. Gimana kalau si Lusuh itu menceritakan apa yang terjadi di rumah ke orang-orang? Bisa mamp*s kita,” jawab Ratna yang tidak berhenti mondar-mandir. Lia nampak santai menanggapi. “Kamu jangan khawatir, Ratna. Si Lusuh itu nggak bakalan berani cerita ke siapa pun, aku yakin seratus persen mengenai hal itu.” Lia tersenyum licik. Ratna pun gegas duduk di samping Lia dan ia mendekatkan telinganya karena penasaran mengapa Lia se-percaya diri itu. “Kenapa Mbak Lia seyakin itu?” tanya Ratna melotot. Lia memiringkan bibirnya meremehkan. “Karena aku punya kuncinya,” jawabnya. “Kunci?” Ratna semakin penasaran dibuat Lia. “Benar, kunci yang bisa membungkam Niara untuk selamanya.” “Apa itu, Mbak?” Ratna antusias. Lia menempelkan ja
Saat jam telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, Niara sudah siap untuk berangkat bekerja. Di depan juga sudah sedia sebuah mobil yang dikendarai oleh Ruben. “Hari ini ada meeting dengan klien untuk negosiasi kontrak jam sepuluh,” ujar Ruben mengingatkan. “Lagi?” Niara fokus pada laptopnya. “Jam satu siang setelah makan siang dengan klien, diskusi dengan CFO. Pada jam tiga, seminar industri,” jawab Ruben. “Baik, terimakasih, Ruben.” Ruben mengangguk sembari melihat Niara dari kaca spion tengah. “Oh iya, Bu Ara. Saya sudah kirimkan yang Ibu minta ke email Ibu.” Niara tersenyum lembut. “Iya, saya sudah buka email dari kamu. Terima kasih banyak.” Ruben memutar radio musik di mobil, membuat Niara yang tadinya fokus ke laptop itu pun terhenti. Ia mendengarkan lagu yang di play oleh Ruben. “Pak Devan selalu memutar lagu ini, Bu. Sepertinya lagunya punya makna yang mendalam bagi Pak Devan dan Ibu.” “Kamu benar, Ruben. Lagu ini dulunya adalah lagu kesukaan
Saat jam telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, Niara sudah siap untuk berangkat bekerja. Di depan juga sudah sedia sebuah mobil yang dikendarai oleh Ruben. “Hari ini ada meeting dengan klien untuk negosiasi kontrak jam sepuluh,” ujar Ruben mengingatkan. “Lagi?” Niara fokus pada laptopnya. “Jam satu siang setelah makan siang dengan klien, diskusi dengan CFO. Pada jam tiga, seminar industri,” jawab Ruben. “Baik, terimakasih, Ruben.” Ruben mengangguk sembari melihat Niara dari kaca spion tengah. “Oh iya, Bu Ara. Saya sudah kirimkan yang Ibu minta ke email Ibu.” Niara tersenyum lembut. “Iya, saya sudah buka email dari kamu. Terima kasih banyak.” Ruben memutar radio musik di mobil, membuat Niara yang tadinya fokus ke laptop itu pun terhenti. Ia mendengarkan lagu yang di play oleh Ruben. “Pak Devan selalu memutar lagu ini, Bu. Sepertinya lagunya punya makna yang mendalam bagi Pak Devan dan Ibu.” “Kamu benar, Ruben. Lagu ini dulunya adalah lagu kesukaan
Ratna sedang mondar-mandir di ruang tengah. Dia merasa tidak tenang setelah kepergian Niara ke kantor karena ketakutan menghantuiya. “Ratna, kamu itu kenapa sih dari tadi mondar-mandir?” tanya Lia santai duduk di depan tivi. “Aku khawatir, Mbak. Gimana kalau si Lusuh itu menceritakan apa yang terjadi di rumah ke orang-orang? Bisa mamp*s kita,” jawab Ratna yang tidak berhenti mondar-mandir. Lia nampak santai menanggapi. “Kamu jangan khawatir, Ratna. Si Lusuh itu nggak bakalan berani cerita ke siapa pun, aku yakin seratus persen mengenai hal itu.” Lia tersenyum licik. Ratna pun gegas duduk di samping Lia dan ia mendekatkan telinganya karena penasaran mengapa Lia se-percaya diri itu. “Kenapa Mbak Lia seyakin itu?” tanya Ratna melotot. Lia memiringkan bibirnya meremehkan. “Karena aku punya kuncinya,” jawabnya. “Kunci?” Ratna semakin penasaran dibuat Lia. “Benar, kunci yang bisa membungkam Niara untuk selamanya.” “Apa itu, Mbak?” Ratna antusias. Lia menempelkan ja
Pagi hari sekali, Niara telah berdandan cantik dengan pakaian yang sudah lama tersimpan di dalam almari, ia kembali akan menjalani hari dengan bekerja di kantor seperti dulu sebelum ia memutuskan menikah dengan Devan. Penampilannya terlihat sangat elegan dan anggun, membuat setiap pasag mata yang menatapnya tidak akan percaya jikalau ia adalah Niara. Erwin tak berkedip saat melihat Niara yang hendak berangkat bekerja, ia terpana dengan kemolekan dan keanggunan sang adik ipar yang selalu ia caci dan siksa. “Sudah mau berangkat, Niara?” tanya Erwin dengan nada yang berbeda dari biasanya. Niara sedikit memberi jarak. “Iya, Kak.” “Naik apa? Apa mau aku anterin?” Suara Erwin semakin memelan. Niara menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kak. Niara ada yang jemput,” jawab Niara yang merasa tidak nyaman terhadap perubahan sikap kakak iparnya. “Dasar, mentang-mentang udah kerja. Kamu berani menolak ajakanku.” Suara Erwin kembali menggelegar seperti biasanya, tangannya siap melaya
Sesampainya di rumah setelah pergi dari tempat kejadian, Niara gegas ke kamar dan mengurung diri. Ia tersandar di belakang pintu dengan hati yang tak menentu. “Nggak mungkin, itu bukan Mas Devan. Aku bisa merasakan dan yakin kalau mayat itu bukan Mas Devan,” gumam Niara yakin. Meskipun keyakinan hatinya begitu besar, namun Niara tetap tidak bisa membendung air matanya. Mengingat jikalau mobil serta ponsel dan dompet di tempat kejadian adalah milik Devan, suaminya. “Jika bukan Mas Devan, lalu siapa? Mas Devan ke mana?” Niara masih berusaha menenangkan hati kecilnya. “Nggak, aku yakin. Mayat itu bukan Mas Devan. Mungkin saja, mobilnya tadi dipinjam sama rekan kerjanya dan Mas Devan memang tidak ada di dalam mobil itu waktu kejadian.” [Tok... Tok... Tok] Ketukan pintu terdengar sangat keras, membuat Niara gegas keluar dari zona pikirnya. “Mas Devan?” ucap Niara dengan penuh harapan dan ia pun gegas membuka pintu. Namun, harapan tidak seindah kenyataan. “Pake acara pura-pura nangi
“Semua hak warisan Devan jatuh kepada Niara, termasuk dengan villa. Ada yang mau protes? Silakan mengangkat tangan!” Lelaki berjas hitam dengan dasi polkadot sedang mengadakan rapat keluarga besarnya. Namanya Devan, pemilik salah satu perusahaan besar di Asia. Dia mempunyai kekayaan mencapai kuadriliun. Devan adalah anak kedua dari empat bersaudara, namun dialah pemegang saham sepenuhnya yang mana adalah hasil pembagian warisan dari almarhum ayah mereka yang Devan kembangkan hingga menjadi sebesar sekarang. Tidak ada yang mengetahui tentang kekayaan Devan dari pihak keluarganya ini. Saudara Devan hanya tahu Devan bekerja menjadi direktur di suatu perusahaan dan beberapa buah villa yang cukup menghasilkan. “Apa, perempuan mandul itu?” sanggah kakak tertua. Kakak tertua mempunyai watak yang paling kers dan pemarah, namanya Erwin dengan sedikit jabis di dagunya, mempunyai dua orang anak yang tinggal di Australia bersama istrinya. Erwin bekerja tak menetap dikarenakan wataknya yang k