Bab 6
Enam bulan telah berlalu, Niara masih berusaha mencari Devan bersama Rahel. Namun, tidak ada kabar yang mereka temukan. Meskipun demikian, tidak menyurutkan semangat Niara untuk terus mencari keberadaan Devan. Ratna juga sudah melahirkan bayinya, semua keperluan bayi diurus oleh Niara setiap hari, bahkan membuat Niara berangkat ke kantor dalam keadaan mata sayu karena kurang tidur. Suara cicak terasa menyengat gendang telinga, tanda sepi sedang menemani. Di rumah Niara sedang berdua dengan bayi Ratna dikarenakan para iparnya sedang bepergian liburan ke luar negeri setelah uang warisan dari Devan cair. “Mas, kamu di mana?” gumam Niara yang hampir setiap hari dia lontarkan. Dering telepon berbunyi, Niara gegas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. (Bu, maaf mengganggu waktu anda malam-malam begini. Saya mau berkabar jikalau besok saya tidak bisa masuk kerja dikarenakan ibu saya di kampung meninggal dunia, jadi saya harus pulang dengan segera. Besok akan ada manajer senior yang akan menggantikan saya menjemput Ibu) (Innalillahi wainnailaihi roji’un. Baik, Ruben. Semoga amal ibadah Ibu kamu diterima oleh Allah) (Aamiin, terima kasih atas doanya, Bu) Niara menyudahi panggilan teleponnya, ia kembali melamun sembari memikirkan bagaimana dia besok hari, di mana kiranya ia bisa menitipkan bayi Ratna yang tidak mungkin Niara bawa ke kantornya. Ting-nong... Suara bel berbunyi Niara terperanjat. “Siapa yang datang malam-malam begini?” Berjalan cepat menuju tivi CCTV untuk melihat siapa yang sedang memencet bel di luar. “Irham?” Niara gegas berlari menurununi anak tangga menuju pintu utama. Irham adalah suami Ratna, ia adalah seorang navigator kapal tanker yang baru bisa pulang ke rumah hingga beberapa bulan sekali. Ia meninggalkan Ratna tepat sembilan bulan yang lalu saat Ratna baru dinyatakan hamil oleh dokter. Niara dengan cepat membuka kunci pintu kemudian masih berlari menuju pagar yang juga dikunci. Sesampainya di pagar rumah, Irham sedang berdiri memunggungi Niara dengan ponsel yang menempel di telinga. “Irham,” panggil Niara kepada suami dari adik iparnya. Irham membalikan badan. “Niara, apa benar Ratna sudah melahirkan bayi kami?” tanyanya segera. Niara mengangguk memberikan jawaban. Dia masih belum mengetahui kabar tentang kematian Devan dikarenakan kapal tankernya tiada tersedia wifi kapal atau satelit komunikasi sehingga tidak bisa berkabar padanya. “Di mana, di mana anakku?” “Silakan masuk! Adzando ada di dalam.” Niara mempersilakan. “Adzando, jadi namanya Adzando.” Irham merasa sangat bahagia, setiap hari ia selalu memikirkan istri dan bayi dalam perut Ratna. “Di mana Ratna, Ra. Dia sudah tidur?” Sembari berjalan. Niara kebingungan harus menjawab apa. Niara berpura-pura tidak mendengar saja dan mengarahkan Irham ke kamar yang terdapat Adzando yang sedang teridur. Irham bergegas mendatangi, ia menatap bayinya dengan tatapan penuh cinta namun dia tidak segera menyentuh bayinya dikarenakan dia belum membersihkan diri setelah dari perjalanan. “Niara, di mana Ratna dan Devan, kenapa Adzando tidur di kamar kalian?” Irham mulai menghujam Niara dengan pertanyaan. “Sebaiknya kamu mandi dulu, Ham. Kamu kan baru dateng dari perjalanan. Setelah itu baru kita bicarakan.” Irham tak membantah atau kembali menambah pertanyaan, ia pun berjalan menuju kamar mandi dan meninggalkan Niara bersama Adzando yang masih tertidur pulas. Di saat Irham melenggang menuju kamar mandi, Niara juga melenggang menuju dapur untuk membuatkan minuman hangat untuk Irham yag pastinya lelah setelah melakukan perjalanan yang jauh. Niara tak begitu fokus karena ada beberapa hal yang mengganjal hati dan pikirannya, mengerjap kejadian silam yang telah berlalu kian tahun yang lalu. Irham adalah teman sekampung Niara dulunya, dia adalah sosok laki-laki yang pernah meminang Niara di saat Niara masih belum bertemu dengan Devan, namun waktu itu Niara belum ingin menikah dan tidak menaruh rasa apapun pada Irham. Sehingga keduanya sama-sama merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan masing-masing dan terpisah beberapa tahun lamanya. Tapi, takdir mempertemukan mereka kembali dengan membawa jodoh masing-masing. “Sepi banget, Ra.” Irham sudah selesai mandi dan mengganti pakaian. Niara terhenti dari lamunan masa lalunya. “Em, iya Ham. Ini, minumlah dulu!” Menyodorkan segelas kopi jahe hangat kepada Irham. Irham tersenyum seutas lalu meraih segels kopi tersebut dan perlahan menyeruputnya. “Oh iya, Ra. Kamu belum jawab pertanyaanku.” Mengingatkan. Niara mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Bersiap untuk memberikan jawaban. “Semenjak kamu pergi, beberapa hal telah terjadi di rumah ini. Mas Devan sudah tidak ada.” Hampir saja kopi yang berda di mulut Irham tersembur ke luar dari mulutnya. “Sudah tidak ada, maksdu kamu?” “Mas Devan sudah meninggal karena kecelakaan mobil tunggal enam bulan yang lalu.” Irham menepuk jidatnya tak percaya. “Turut berduka cita ya, Ra. Maaf, aku benar-benar tidak tahu dan tidak ada yang memberitahuku.” “Tidak apa, Ham. Aku ngerti kok jika di laut tidak ada signal.” Irham melanjutkan menyeruput kopinya. “Terus, Ratna di mana?” “Ratna... Anu, Ratna ke luar negeri bersama Kak Erwin dan Kak Lia.” “Apa, ke luar negeri? Dia baru beberapa hari sehabis melahirkan dan anaknya dia tinggalkan begitu saja sama kamu? Keterlaluan kamu Ratna.” Irham berdiri, matanya memanans dan dia gegas merogoh ponselnya kembali. Niara panik, dia yakin jikalau Irham akan menelpon Ratna dan memarahinya. “Jangan, Ham. Aku mohon jangan!” Irham mengurungkan niatnya, ia heran mendapati reaksi Niara yang tidak biasa baginya. “Ada apa, Ra?” tayanya. Berbagai prasangka timbul di benak Irham, ia mentap Niara dengan pandangan menyelidik. “Apa Ratna menyakitimu lagi?” tebak Irham setela mendapati luka lebam di bagian pergelangan tangan Niara yang terbuka karena tadinya ia baru selesai mencuci gelas. Niara tak bergeming, jemarinya meremas baju bagian lutut, kemudian perlahan kepalanya menggeleng pelan. “Ra, jangan bohong sama aku. Kita kenal sejak kecil, aku sudah sangat tau mengartikan ekspresimu. Kamu jangan takut, sekarang ada aku di sini pasti aku akan membelamu.” Mencondongkan wajahnya ke arah Niara. “Kita buat laporan ke polisi agar mereka yang tega menyakitimu bisa diamankan.” Niara terperanjat. “Jangan! Jangan libatkan polisi dalam hal ini. Lagipula, Ratna itu istrimu dan dia baru saja melahirkan anak kalian. Kasian Adzando jika tumbuh tanpa sosok ibu.” “Ra, maafkan aku. Andai saja Ratna tidak tahu jikalau dulu aku pernah melamarmu. Pasti dia tidak akan sejahat ini sama kamu.” Tiba-tiba Irham berlutut di hadapan Niara. Niara bingung, ia segera meminta Irham untuk bangun. Apa yang Irham katakan memang benar, Ratna membenci Niara setelah tahu jikalau dulunya Irham pernah melamar Niara. Irham memang masih sangat mencintai Niara meski dalam keadaan keduanya sudah menikah dan hidup masing-masing, dia juga kerap kali membandingkan sikap Ratna yang pemalas dengan Niara. Itulah mengapa Ratna sangat membenci Niara dan ia ingin Niara tak lagi hadir dalam kehidupannya dengan Irham. “Ham, sudah. Masalalu biarlah berlalu. Tidak perlu dikenang lagi.” “Kamu benar, Ra. Tapi sebaiknya kita harus memberikan efek jera pada mereka.” “Aku ngerti, Ham. Makasih sudah peduli padaku. Tapi aku punya caraku sendiri. Biarlah permainan ini tetap berjalan seperti ini adanya karena aku belum temukan waktu yang tepat untuk melakukan pembalasan, aku masih sangat memerlukan mereka sekarang.” Irham menaikkan sebelah keningnya. “Maksud kamu, rencana apa?” Niara gelagapan. Dia tidak sadarkan diri atas apa yang telah ia ucapkan. “Tidak ada, Ham. Bukan rencana apa-apa. Permisi, sudah jam segini aku harus segera tidur karena besok pagi harus masuk kerja.” Ada tanya dan keanehan yang mengganjal di hati Irham saat ini. Namun, dia memilih untuk tidak membahas lebih dalam lagi dikarenakan dia mengerti jikalau Niara tak ingin rencananya diketahui.Sebuah mobil hitam sudah terparkir di depan rumah, Niara juga sudah selesai dengan semua pekerjaan rumah dan siap untuk berangkat bekerja seperti biasa, namun dia masih kebingungan ke mana ia harus menitipkan Adzando hari ini. Mencari Irham di seantero rumah, namun Niara tidak mendapatinya. Terpaksa Niara membawa Adzano bersamanya. Niara dengan bawaan penuh di tangan dan bahunya sudah keluar dari rumah. Seorang laki-laki berbadan jangkung keluar dari mobil membukakan pintu untuk Niara. Niara tak mengetahui siapa sosok tersebut dan ia hanya gegas memasuki mobil. “Ibu Niara, perkenalkan nama saya Hildan. Hari ini dan beberapa hari ke depan akan menggantikan tugas Pak Ruben.” Ia membuka kacamatanya, matanya hitam dan agak sipit, nampaknya dia jauh lebih muda dari Ruben. “Iya, Hildan. Kamu bisa panggil saya dengan Ibu Ara saja tidak mengapa.” Hildan mengangguk paham. “Baik, Ibu Ara. Apa kita bisa berangkat sekarang?” tanyanya. “Silakan.” Niara sibuk menenangkan Adzando yang menan
Bab 8“Hel, hari ini aku enggak ikut kalian ya.”Rahel yang tadinya sibuk memasukkan makanan ke mulutnya seketika terhenti. Ia menatap Niara dengan penuh arti.“Ra, jangan bilang jika kamu mau lanjutin nyari Devan?” tebak Rahel.Niara hanya diam tak menanggapi. Perjanjian antara Niara dan Rahel sudah terikat dua tahun yang lalu. Jika selama satu tahun Devan tak juga ditemukan, maka Niara akan berhenti menganggap jikalau Devan masih hidup di dunia ini. Nyatanya, sampai saat ini mereka tak menemukan tanda apapun tentang keberadaan Devan. Tapi, sepertinya Niara masih belum bisa berhenti dalam pencarian, ia diam-diam masih berusaha mengulik informasi.“Ra, kamu udah janji loh sama aku.”“Aku tau, Rahel. Tapi kali ini aku enggak akan libatin kamu lagi, aku akan cari sendiri sampai aku merasa lelah dan puas atas pencarianku. Meskipun sudah dua tahun berlalu, aku tetap ngerasa kalau Mas Devan itu masih ada.”Rahel memutar bola matanya, sepertinya ia sudah muak dengan sikap Niara yang begitu
Mata Aisyah, membulat. “Ini, kan...” Ucapannya terhenti. Tanpa melanjutkan ucapan yang seharusnya dia sempurnakan. Sering ponsel Aisyah berbunyi, ia meminta izin pada Niara untuk terlebih dahulu mengangkat panggilan telepon itu. Setelah Aisyah beranjak, tiba-tiba telepon Niara juga berdering. Sebuah panggilan dari Ratna. “Hallo, Ratna. Ada apa?” Niara berjalan sembari menempelkan telponnya ke telinga. Suara cempreng Ratna menggema memekik gendang telinga, Niara lagi-lagi dimarahi oleh Ratna, setelah perkara antara Ratna dengan Irham terjadi waktu itu Ratna semakin menjadi-jadi dalam menyiksa Niara saat Irham tidak ada di sampingnya. Ratna sudah bersumpah untuk tidak lagi berlaku buruk pada Niara, tapi nyatanya dia mengingkari sumpahnya. Bahkan lebih parah dari sebelumnya akibat rasa benci dan cemburu yang membara di hatinya, untungnya ada Lia yang selalu mengingatkan Ratna. “Ada apa, Ratna?” tanya Niar lembut. Ratna berwajah masan, dia menarik tangan Adzando dari gen
Erwin dan Niara dibawa Lia ke ruangan tengah, Ratna yang sudah terlelap juga duduk di kursi ruang tengah sembari menahan kantuknya. Niara tak berhenti sesenggukan menahan sesak di dada, ada rasa syok dan takut serta sedih yang mendalam. “Ada apa sih tengah malam gini disuruh ngumpul?” ucap Ratna kesal. Lia menyilangkan kedua tangan ke dada, dia berjalan bolak-balik di depan ketiga iparnya yang sedang duduk. Erwin menyenderkan tubuhnya dia juga merasa tidak tenang karena dialah tajuk utama dalam rapat keluarga kali ini. “Mas, kamu harus jelasin semuanya ke aku!” titah Lia tegas. Erwin berdiri. “Dia menggodaku, Sayang!” Menunjuk pada Niara. Niar merasa tidak terima atas tuduhan yang dilapangkan padanya. Ia juga ikut berdiri untuk membela diri. “Bohong! Kamu yang tiba-tiba masuk ke kamarku!” “Cukup!” teriak Lia sembari menutup kedua telinganya. Ratna yang tidak tahu menahu dengan masalah yang terjadi hanya kebingungan memahami maksud dari ketiga iparnya itu. Erwin mendekat pada L
‘Hallo. Hel...’ Niara menempelkan ponsel ke telinga. ‘Ra, kamu kenapa? Kamu lagi nangis?’ ‘Hel, aku bisa minta tolong kamu untuk malam ini, aku boleh enggak tidur di rumahmu, malam ini saja?’ Isakan Niara tak bisa disembunyikan. Suaranya nyaring berusaha melawan nyaringnya suara hujan lebat yang saat ini mengguyur bumi. ‘Kamu shareloock, aku jemput sekarang juga!’ Niara menganggakuk. Hubungan telepon terputus, Niara menunggu Rahel datang menjemputnya. Hujan masih tak henti mengguyur bumi, seperti kedua mata Niara yang juga tidak henti mengeluarkan air matanya ke pipi. Rasa syok masih menggema di hatinya, baru kali ini ia mendapati hal seperti ini di hidupnya, untuk cacian hingga pukulan bisa Niara tahan untuk beberapa waktu namun masalah pelecehan tidak bisa Niara tahan dan maafkan sedikit pun. Mobil berhenti di depan halte, seseorang turun dari mobil dan membuka payung. Niara menatap penuh tanya di hati ya pada orang yang berjalan menuju Niara, dia seorang pria. Wajahnya itu
Niara keluar dari dalam kamar, dia merasa tidak nyaman karena terlalu memikirkan Rahel, temannya. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang membuat Niara gelisah berkepanjangan. Niara kebingungan harus berjalan ke arah yang mana dikarenakan ruangan rumah ini begitu besar dan terdapat banyak pintu. Niara mencoba memasuki salah satu pintu yang dia yakini adalah pintu untuk leluar, namun nyatanya ia masuk dalam ruangan yang lain. “Aku harus ke mana? Di mana penghuni rumah ini? Tidak mungkin rumah semegah ini tidak ada yang menghuni kan?” gumam Niara. “Rahel, maafkan aku.” Masih berusaha mencari pintu keluar dan mencari penghuni rumah. Seseorang menarik tangan Niara, Niar kaget bukan kepalang. Ia menarik tangan Niara, ke ruangan yang jauh lebih luas ukurannya. “Ra,” ucapnya. Niara terdiam menatap sosok yang telah menarik tangannya itu. “Kamu” Hujan sudah reda namun kilat dan suara guntur masih kerap kali menyapa. Suasana mencekam, keduanya saling menatap tanpa sepatah katapun keluar dari b
“Kamu percaya aja gitu sama dia? Setelah semua yang dia lakukan, setelah semua air mata yang kamu keluarkan?” Rahel mengangguk. “Maafin aku, Ra. Aku dipaksa sama dia buat bawa kamu sama dia. Aku udah ketemu sama Alex, dia beneran masih hidup.” "Apa kamu yakin dia memang Alex?" "Yakin, Ra. Ini naluri seorang ibu sama seperti yang kamu bilang apa kamu enggak percaya dengan nalurj seorang ibu?" Niara tak menepis apa yang Rahel katakan. Dia terdiam, merenungkan nasib seorang sahabatnya yang sudah sangat ia prcaya dan cinta. "Ra, kamu mau kan sama Rizwan?" tanya Rahel dengan nada membujuk. Niara tak habis pikir, dia terkesiap dan gegas berdirj dari duduknya. Memberi jarak dari Rahel dengan segera. "Aku enggak bisa, Hel. Enggak akan mau." Niara setengah berteriak. Rahel menarik tangan Niara, ia memohon dengn penuh duka yang menjalar dari kedua matanya. "Aku mohon, Ra. Devan enggak akan kembali, dia sudah mati. Usahamu sia-sia menunggunya pulang. Itu hal yang mustahil." Pla
Niara perlahan membuka mata saat tangan Rizwan beranjak dari wajahnya. Wajah Rizwan sumringah, dia terlihat sangat bahagia dengan mata Niara yang membuka.“Ara,” ucapnya. Niara duduk dan sedikit menjauh dari Rizwan. “Ra, jangan takut! Aku enggak akan nyakitin kamu kok.” Membujuk Niara. “Kamu... Kamu Rizwan kan?” Rizwan mengangguk, tersenyum pada Niara. “Kamu ngapain bawa aku ke sini?” tanya Niara lagi. Rizwan mengubah posisi duduknya, sedikit mendekat pada Niara membuat Niara kembali menjauh. “Ra, sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu. Perasaan ini sangat lama kupendam.” Niara berpura-pura berekspresi kaget mendengar pernyataan perasaan Rizwan padanya. Di sisi lain ada Rahel yang menahan isakan tangisnya, dia masih sangat mencintai Rizwan tapi rasa benci juga berbaur dalam hatinya. “Tapi, kenapa bisa?”“Aku juga nggak tau, Ra. Perasaan ini tiba-tiba aja muncul saat pertama kali aku melihatmu.” Niara meremas sprei kasur. “Tapi, aku enggak ada perasaan apapun sama kamu.” R
Mendapati Ekspresi Niara, Aisyah gegas mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. "Mbak, ada apa?" "Kenapa Rizwan?" ucap Niara. 'Aisyah, Aisyah. Kamu mau bantuin mereka?' Suara dari balik telepon itu menarik perhatian Aisyah. "Pak Rizwan," ucapnya gegas menempelkan ponselnya ke telinga. 'Pak, kenapa bisa ponsel Pak Van sama Bapak? Pak, saya perlu bicara dengan Pak Van.' Aisyah mulai takut dengan Rizal setelah mendengar pernyataan dari Niara dan Rahel bagaimana bejatnya dia. 'Berikan kembali pada Ara, aku mau ngomong sama dia!' Aisyah menurut, segera memberikan ponselnya kembali kepada Niara. "Mbak, Pak Rizwan mau ngomong." 'Ara, apa kamu tau orang yang sedang kamu hubungi ini? Dia adalah orang hang selama ini kamu cari...,' ucap Rizwan. 'Bicara!' ujarnya menyuruh seseorang. Niara terdiam. Menunggu... 'Ara, ini aku,' ucap dari balik telepon, suaranya terdengar susah payah. 'Mas Devan,' teriak Ara histeris. Meskipun sudah sangat lama tidak mendengar suara Devan, Niar
'"Apa, menikah denganmu?" Niara berdiri, menggertak meja. "Enggak!" lanjutnya. Bukan hanya sampai di situ, Niara juga menumpahkan isi minumannya kepada Rizwan. Bukannya balik memarahi, Rizwan hanya tersenyum menanggapi Niara. Ia kembali merogoh ponselnya, menelpon seseorang dan ia berbincang dengan ponselnya. Napas Niara naik turun, ia masih berusaha mengolah emosi. "Di mana Rahel, Ra? Bawa dia ke sini! Aku akan serahkan Alex padanya." Rahel pasti sudah mendengar apa yang Rizwan katakan. Entah benar atau tidak ucapan Rizwan, yang pasti Niara belum sepenuhnya mempercayai. Niara masih berhati-hati, terlebih dengan kebaikan hati Rizwan saat ini. 'Rahel, kamu di mana?' tanya Niara pada earphone yang terpasang. 'Aku menuju ruangan, Ra. Secepatnya sampai.' Ceklek... Pintu terbuka, memperlihatkan Rahel yang gelagapan. Dia seperti habis berlari kencang. "Di mana anakku?" ucap Rahel segera. "Sabar, Hel. Aku akan penuhi janjiku karena kamu sudah membawa Ara padaku. Seben
Niara sudah didandani oleh Rahel. Make up tipis di wajahnya membuat kesan berbeda pada Niara. Dia cantik tanpa make up tapi lebih cantik lagi saat menggunaka make up. “Nyonya Ara, Tuan muda sudah menunggu di depan,” ucap Mbok pada Niara. Rahel memegangi pundak Niara untuk menguatkan. “Jangan putus komunikasi! Kalau dia mau ngapa-ngapain kamu hubungi aku segera.” Niara mengangguk paham. Dengan langkah berat ia berjalan keluar kamar. Dituntun oleh Rahel bak seorang penggiring pengantin yang menggiring pengantinnya menuju pelaminan. Rahel menjerit di dalam hati.Sama halnya dengn Niara. Keduany mempunyai duka yang berbeda. Rizwan sudah menunggu di dalam mobil mewahnya. “Ara,” ucap Rizwan dengan tatapan kagum. Rizwan membukakan pintu mobil bersebelahan dengannya. Niara masuk ke mobil dengan hati yang tak karuan, doa perlindungan tak henti terhatur di dalam hati. Rizwan kembali masuk ke dalam mobil, sejenak ia menatap kepada Niara yang membuang muka dari Rizwan. “Cantik sekali,” puji
Niara perlahan membuka mata saat tangan Rizwan beranjak dari wajahnya. Wajah Rizwan sumringah, dia terlihat sangat bahagia dengan mata Niara yang membuka.“Ara,” ucapnya. Niara duduk dan sedikit menjauh dari Rizwan. “Ra, jangan takut! Aku enggak akan nyakitin kamu kok.” Membujuk Niara. “Kamu... Kamu Rizwan kan?” Rizwan mengangguk, tersenyum pada Niara. “Kamu ngapain bawa aku ke sini?” tanya Niara lagi. Rizwan mengubah posisi duduknya, sedikit mendekat pada Niara membuat Niara kembali menjauh. “Ra, sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu. Perasaan ini sangat lama kupendam.” Niara berpura-pura berekspresi kaget mendengar pernyataan perasaan Rizwan padanya. Di sisi lain ada Rahel yang menahan isakan tangisnya, dia masih sangat mencintai Rizwan tapi rasa benci juga berbaur dalam hatinya. “Tapi, kenapa bisa?”“Aku juga nggak tau, Ra. Perasaan ini tiba-tiba aja muncul saat pertama kali aku melihatmu.” Niara meremas sprei kasur. “Tapi, aku enggak ada perasaan apapun sama kamu.” R
“Kamu percaya aja gitu sama dia? Setelah semua yang dia lakukan, setelah semua air mata yang kamu keluarkan?” Rahel mengangguk. “Maafin aku, Ra. Aku dipaksa sama dia buat bawa kamu sama dia. Aku udah ketemu sama Alex, dia beneran masih hidup.” "Apa kamu yakin dia memang Alex?" "Yakin, Ra. Ini naluri seorang ibu sama seperti yang kamu bilang apa kamu enggak percaya dengan nalurj seorang ibu?" Niara tak menepis apa yang Rahel katakan. Dia terdiam, merenungkan nasib seorang sahabatnya yang sudah sangat ia prcaya dan cinta. "Ra, kamu mau kan sama Rizwan?" tanya Rahel dengan nada membujuk. Niara tak habis pikir, dia terkesiap dan gegas berdirj dari duduknya. Memberi jarak dari Rahel dengan segera. "Aku enggak bisa, Hel. Enggak akan mau." Niara setengah berteriak. Rahel menarik tangan Niara, ia memohon dengn penuh duka yang menjalar dari kedua matanya. "Aku mohon, Ra. Devan enggak akan kembali, dia sudah mati. Usahamu sia-sia menunggunya pulang. Itu hal yang mustahil." Pla
Niara keluar dari dalam kamar, dia merasa tidak nyaman karena terlalu memikirkan Rahel, temannya. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang membuat Niara gelisah berkepanjangan. Niara kebingungan harus berjalan ke arah yang mana dikarenakan ruangan rumah ini begitu besar dan terdapat banyak pintu. Niara mencoba memasuki salah satu pintu yang dia yakini adalah pintu untuk leluar, namun nyatanya ia masuk dalam ruangan yang lain. “Aku harus ke mana? Di mana penghuni rumah ini? Tidak mungkin rumah semegah ini tidak ada yang menghuni kan?” gumam Niara. “Rahel, maafkan aku.” Masih berusaha mencari pintu keluar dan mencari penghuni rumah. Seseorang menarik tangan Niara, Niar kaget bukan kepalang. Ia menarik tangan Niara, ke ruangan yang jauh lebih luas ukurannya. “Ra,” ucapnya. Niara terdiam menatap sosok yang telah menarik tangannya itu. “Kamu” Hujan sudah reda namun kilat dan suara guntur masih kerap kali menyapa. Suasana mencekam, keduanya saling menatap tanpa sepatah katapun keluar dari b
‘Hallo. Hel...’ Niara menempelkan ponsel ke telinga. ‘Ra, kamu kenapa? Kamu lagi nangis?’ ‘Hel, aku bisa minta tolong kamu untuk malam ini, aku boleh enggak tidur di rumahmu, malam ini saja?’ Isakan Niara tak bisa disembunyikan. Suaranya nyaring berusaha melawan nyaringnya suara hujan lebat yang saat ini mengguyur bumi. ‘Kamu shareloock, aku jemput sekarang juga!’ Niara menganggakuk. Hubungan telepon terputus, Niara menunggu Rahel datang menjemputnya. Hujan masih tak henti mengguyur bumi, seperti kedua mata Niara yang juga tidak henti mengeluarkan air matanya ke pipi. Rasa syok masih menggema di hatinya, baru kali ini ia mendapati hal seperti ini di hidupnya, untuk cacian hingga pukulan bisa Niara tahan untuk beberapa waktu namun masalah pelecehan tidak bisa Niara tahan dan maafkan sedikit pun. Mobil berhenti di depan halte, seseorang turun dari mobil dan membuka payung. Niara menatap penuh tanya di hati ya pada orang yang berjalan menuju Niara, dia seorang pria. Wajahnya itu
Erwin dan Niara dibawa Lia ke ruangan tengah, Ratna yang sudah terlelap juga duduk di kursi ruang tengah sembari menahan kantuknya. Niara tak berhenti sesenggukan menahan sesak di dada, ada rasa syok dan takut serta sedih yang mendalam. “Ada apa sih tengah malam gini disuruh ngumpul?” ucap Ratna kesal. Lia menyilangkan kedua tangan ke dada, dia berjalan bolak-balik di depan ketiga iparnya yang sedang duduk. Erwin menyenderkan tubuhnya dia juga merasa tidak tenang karena dialah tajuk utama dalam rapat keluarga kali ini. “Mas, kamu harus jelasin semuanya ke aku!” titah Lia tegas. Erwin berdiri. “Dia menggodaku, Sayang!” Menunjuk pada Niara. Niar merasa tidak terima atas tuduhan yang dilapangkan padanya. Ia juga ikut berdiri untuk membela diri. “Bohong! Kamu yang tiba-tiba masuk ke kamarku!” “Cukup!” teriak Lia sembari menutup kedua telinganya. Ratna yang tidak tahu menahu dengan masalah yang terjadi hanya kebingungan memahami maksud dari ketiga iparnya itu. Erwin mendekat pada L
Mata Aisyah, membulat. “Ini, kan...” Ucapannya terhenti. Tanpa melanjutkan ucapan yang seharusnya dia sempurnakan. Sering ponsel Aisyah berbunyi, ia meminta izin pada Niara untuk terlebih dahulu mengangkat panggilan telepon itu. Setelah Aisyah beranjak, tiba-tiba telepon Niara juga berdering. Sebuah panggilan dari Ratna. “Hallo, Ratna. Ada apa?” Niara berjalan sembari menempelkan telponnya ke telinga. Suara cempreng Ratna menggema memekik gendang telinga, Niara lagi-lagi dimarahi oleh Ratna, setelah perkara antara Ratna dengan Irham terjadi waktu itu Ratna semakin menjadi-jadi dalam menyiksa Niara saat Irham tidak ada di sampingnya. Ratna sudah bersumpah untuk tidak lagi berlaku buruk pada Niara, tapi nyatanya dia mengingkari sumpahnya. Bahkan lebih parah dari sebelumnya akibat rasa benci dan cemburu yang membara di hatinya, untungnya ada Lia yang selalu mengingatkan Ratna. “Ada apa, Ratna?” tanya Niar lembut. Ratna berwajah masan, dia menarik tangan Adzando dari gen