Bab 25Setelah melalui drama, akhirnya Hanina tertidur. Akmal mengalah. Dia pindah ke sofa dan duduk bersandar dengan kaki berselonjor. Pria itu menatap langit-langit kamar. Dia tengah berpikir keras untuk memikirkan langkah-langkah kedepannya.Seharusnya dia memikirkan kemungkinan ini sejak awal saat mendapati Hanina yang kembali ke kantor. Kedekatan Hanina dengan Rio pasti akan kembali terjalin, meski katanya Rio itu hanya sahabatnya, tetapi bukan tidak mungkin benih-benih cinta itu timbul. Dan jika benar Rio yang mencarinya di cafe adalah orang yang bekerja di bagian HRD, berarti pria itu sudah tahu soal rumah tangganya dengan Hanina. Apakah Hanina sudah bercerita kepada Rio? Sebab tidak mungkin pria itu datang ke cafenya tanpa ada kepentingan.Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Akmal dan pria itu berjalan menuju meja nakas samping pembaringan. "Ternyata cuma notif pesan. Kirain apa," gumam Akmal.Sebenarnya ia jarang sekali membuka ponsel Hanina, tetapi entah kenapa sekaran
Bab 26"Apa kita perlu ke rumah sakit? Jahitan di perutmu, Sayang." Pria itu terlihat sangat khawatir. Bagaimanapun, Hanina belum 40 hari pasca melahirkan, dan ia melahirkan Aqila melewati operasi caesar."Tidak perlu. Aku hanya butuh istirahat sebentar. Bisa kamu ambilkan air minum untukku?" pinta Hanina.Setelah merebahkan tubuh istrinya di sofa, Akmal segera beranjak mengambil sebotol air mineral yang selalu tersedia di meja kerja perempuan itu. Tentu ini karena Melati yang sudah menyediakan, sehingga ruangan kerja ini selalu ready setiap pagi, meski kehadiran Melati tidak tampak di ruang kerja ini. Mungkin gadis itu tengah berada di ruangan lain untuk sebuah keperluan."Minum dulu, Nin." Akmal menyodorkan botol air mineral yang sudah ia buka sebelumnya."Terima kasih, Mas." Perempuan itu bergerak dan menegakkan tubuhnya."Apa yang kamu rasakan sekarang? Kalau memang sangat sakit, kita bisa ke rumah sakit. Nggak usah mikirin jadwal. Kesehatan kamu lebih penting," tawar Akmal."Sepe
Bab 27"Aduh... gimana nih? Sebentar lagi Mbak Lani pasti datang, dan aku nggak punya uang untuk bayar hutang." Risty yang panik urung pulang ke rumahnya. Dia malah memilih menghentikan motornya di sebuah taman bermain anak-anak.Di sebuah tempat parkir gratis, Risty menitipkan motornya, lalu berjalan menuju area taman. Tempat ini agak sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang membawa anak-anak. Risty duduk di sebuah bangku yang terletak di pojok taman. Cuaca cukup terik. Namun kerimbunan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat ini membuat hawa menjadi sejuk. Perempuan itu menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskan pelan-pelan, sembari menatap sekeliling tempat itu. "Mas Akmal pasti sangat menginginkan momen seperti ini. Dia sangat menginginkan seorang anak, tapi aku nggak bisa memberikannya. Seandainya saja ada seorang anak yang bisa lahir dari rahimku, mungkin rumah tangga kami nggak kayak gini. Dia pasti akan tetap mencintaiku, bukannya malah membagi cintanya sama pe
Bab 28"Mas Akmal nggak bisa diajak kompromi lagi. Repot nih. Apa aku culik Aqila saja ya? Tapi bagaimana caranya?" Risty berpikir keras. Saat ini hanya Aqila yang menjadi tumpuan harapannya, karena dengan Aqila bersamanya, maka semua masalah keuangannya akan selesai."Jika Aqila bersamaku, Mas Akmal dan Hanina akan kembali tunduk kepadaku. Hanina tentu tidak akan berani macam-macam, karena Aqila berada denganku. Dia pasti akan meluluskan semua permintaanku. Tapi susah juga. Aku pikir Mas Akmal benar. Jika aku menculik Aqila, pasti yang ada aku dijebloskan ke penjara. Ogah ah." Risty menggelengkan kepala, berusaha mengibaskan pikiran nyelenehnya, karena tidak mungkin baginya untuk melakukan itu. Menculik Aqila butuh tenaga profesional dan ia tidak akan bisa membayar. Belum lagi ia harus melakukan perencanaan yang matang, supaya Hanina ataupun anak buahnya tidak gampang menemukan keberadaan Aqila. Benar, ini terlalu beresiko."Tapi bagaimana caranya aku bisa menghasilkan uang dengan c
Bab 29"Iya Mbak, tapi gimana caranya? Tidak mungkin aku live sendirian di rumahku yang jelek ini," keluh Risty lagi. Rumah ini benar-benar membuatnya tak betah, tapi harus tetap dia tinggali, karena dia tidak mau tinggal di kolong jembatan."Kamu datang saja ke rumahku. Ada ruangan khusus untuk keperluan itu. Soal pakaian yang harus kamu kenakan di awal live, nanti aku yang menyediakan. Gratis! Tapi hanya sekedar pinjam ya, nggak boleh dibawa pulang." Suara tawa perempuan itu kembali terdengar."Iya dong Mbak, lagi pula buat apa juga aku bawa pakaian itu pulang. Itu kan cuma awal live saja. Nantinya pasti akan dilepas, bukan? Namanya juga strip dance." Risty juga ikutan tertawa."Nah, itu juga kamu paham. Lagi pula, kamu kan bukan perawan. Masa menari gituan aja malu? Lagi pula, paling-paling yang lihat cuma aku sama tim kameramen," tukas Lani meyakinkan."Laki-laki?""Iya dong, tapi mereka nggak akan macam-macam kok. Mereka hanya fokus dengan pekerjaannya. Profesional, gitu loh. Kec
Bab 30Hanina meninggalkan ruangan itu dengan langkah-langkah lebarnya, menuju ruang kerjanya sendiri. Melati sudah menunggunya untuk berdiskusi soal isi rapat barusan.Mereka memang dikejar oleh waktu. Tiga minggu itu tidak akan terasa dan semuanya harus siap. Hanina ingin semuanya sempurna, sehingga tidak ada masalah lagi pada saat pengoperasian pabrik baru itu.Hasil produksi di pabrik baru mereka nantinya akan fokus untuk ekspor, sementara pabrik yang lama akan fokus untuk memenuhi kebutuhan tekstil di dalam negeri. Perusahaan ini memang tengah mencoba peruntungan untuk pemasaran di luar negeri, seperti Malaysia, Brunei dan Singapura. Ini hanya sekedar langkah awal saja. Oleh karena itu, kualitas produk yang dihasilkan nantinya harus kualitas ekspor dan Hanina memastikan standar itu terpenuhi.Otaknya pun terus diajak bekerja keras untuk memenuhi target penjualan. Jangan sampai kejadian di bulan lalu terulang kembali. Hanina mempertaruhkan reputasinya untuk itu.Keduanya berdiskus
Bab 31"Nggak seperti itu, Sayang. Kamu jangan salah paham dulu... Nggak mungkin aku cemburu sama Rio." Akmal buru-buru mengelak."Nggak mungkin lah aku dekat dengan Rio. Di sana juga banyak orang kok. Kamu nggak usah khawatir. Lagi pula acaranya cuma dua hari....""Aku hanya mengkhawatirkan Aqila. Kamu ini nggak bawa baby sister loh, belum lagi bawaanmu sungguh banyak. Aku ikut ya," pinta Akmal. Pria itu mencondongkan tubuhnya, ingin melihat lebih jelas apa saja barang yang dibawa istrinya. Barang-barang yang di bawa Hanina akan menunjukkan kegiatan apa saja yang akan perempuan itu jalani disana."Emangnya Mas nggak malu? Di sana kamu harus momong Aqila lah ya." Perempuan itu berdecak sebal. Dia memang mulai merasa jengah dengan perhatian suaminya akhir-akhir ini, alih-alih hatinya kembali luluh.Hanina tahu, Akmal mempertahankannya hanya demi Aqila. Dia tidak akan pernah mendapatkan cinta dari seorang Akmal, terbukti Akmal belum juga mau merelakan istri pertamanya, padahal jelas-jel
Bab 32Plak plak!Akmal tak bisa menahan emosinya saat konferensi pers berakhir. Para tahanan digiring masuk dan pria itu melangkah menyusul ke sebuah ruangan yang lebih tertutup. Seorang petugas menghampirinya dan Akmal pun mengenalkan diri sebagai suami salah satu dari wanita yang sedang mereka tahan."Kamu sudah benar-benar keterlaluan! Kurang apa selama ini aku sama kamu?! Kamu keterlaluan, Risty! Kelakuanmu ini tak lebih dari seorang pelacur. Kamu sadar nggak sih?!" Matanya merah membara menatap istri pertamanya itu dengan penuh kebencian. Akmal benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Alih-alih belajar untuk hidup sederhana, tapi Risty justru memilih jalan pintas untuk memenuhi apa yang ia inginkan. Akmal mengusap kasar wajahnya, lalu menelan saliva berulangkali. Dia seolah sudah kehabisan kata-kata untuk menasehati istrinya yang satu ini."Itu karena kamu nggak bisa memenuhi kebutuhanku. Salahkan saja dirimu, Mas. Aku butuh uang. Aku juga ingin seperti istr
Bab 149"Selamat datang di rumah kita, istriku," bisik Akmal. "Terima kasih, Mas." Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tanpa sadar ia menggenggam tangan prianya. Hanina merasa sangat terharu, tak menyangka jika dia masih diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijualnya ini.Hanina terpaksa menjual rumah ini karena kesulitan keuangan setelah perusahaan mereka bangkrut. Dia perlu modal untuk membangun usaha dan tempat tinggal baru, sementara hampir semua aset mereka sudah habis untuk membayar hutang. Masih untung papanya tidak masuk penjara, karena terlilit hutang. Mereka masih mampu memenuhi kewajibannya, meskipun harus menghabiskan hampir semua aset."Sama-sama, Sayang. Aku juga sangat bersyukur karena akhirnya kita bisa kembali menempati rumah ini. Beruntung orang yang memiliki rumah ini sebelumnya mau mengerti dan bersedia menjual kembali rumah ini kepada kita.""Ya. Kamu sudah berkali-kali cerita soal itu." Perempuan itu akhirnya sampai di sofa dan mendudukka
Bab 148Dua bulan kemudian.Akmal berjalan mondar-mandir di area depan Hanina Hotel. Dia memastikan semuanya bisa rampung tepat waktu, karena mulai besok hotel ini akan resmi beroperasi. Dengan letak cukup strategis yang sangat dekat dengan tempat wisata religi, menjadi jaminan jika Hanina Hotel akan segera kebanjiran tamu pengunjung.Pria itu tahu apa yang harus ia lakukan setelah memutuskan keluar dari grup Aston. Meski terasa berat, karena bagaimanapun Aston adalah tempatnya bernaung pertama kali, tapi Akmal memutuskan untuk mandiri. Dia ingin merasakan menjadi seorang pengusaha dalam artian yang sebenarnya, bukan hanya sekedar karyawan, meskipun posisi terakhirnya adalah karyawan nomor satu. Namun karyawan tetaplah karyawan.Setelah merasa cukup, Akmal dengan didampingi om Danu segera masuk kembali ke bangunan yang megah itu. Sembari berjalan menuju ruang pertemuan, dia terus menikmati pemandangan yang memanjakan matanya. Area dalam hotel ini sudah benar-benar selesai, dan interi
Bab 147Dia dan Akmal memang sudah punya cerita masing-masing dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sungguh, Risty hanya sekedar menanyakan. Entah bagaimana penampakan pria itu sekarang. Tentunya lebih keren dibandingkan saat bersamanya dulu. Bersama dengan Hanina, Akmal memperoleh banyak pencapaian dalam hidup dan finansial. Perempuan itu memejamkan mata, lalu segera membuka matanya kembali saat merasakan tepukan lembut di bahunya."Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Kita ke sini datang sebagai tamu, bukan sebagai mantan." Rio mengucapkan dengan cara berbisik, lantaran tak ingin Aqila mendengar ucapannya.Risty mengangguk. Akhirnya dia memilih untuk menggendong Aqila dan membawa balita cantik itu ke halaman rumah.Di halaman ada bangku dan ayunan. Risty membawa Aqila duduk di ayunan yang berbahan besi kuat itu."Aqila mau adik apa? Cowok atau cewek?" tanya Risty sembari menggerakkan batang besi penyangga ayunan, sehingga tempat duduknya sekarang bergerak-ger
Bab 146Rio berusaha mengabaikan pertanyaan sang istri dan memilih untuk berdiri. Dia mengajak Risty menuju ruang makan, meski sebenarnya dia tidak sedang mood. Ternyata semua makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Pria itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk."Mari kita makan, Ris. Terima kasih sudah memasak.""Bukan aku, tapi si Bibik," balas Risty seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu menyerahkannya kepada Rio."Tapi kamu hebat, bisa belajar dalam waktu singkat. Aku senang melihat perubahan kamu. Kamu terlihat bersungguh-sungguh untuk membuat diri kamu menjadi lebih baik," pujinya tulus."Tapi tetap saja aku sudah punya cacat. Masa laluku bersama dengan mas Akmal sungguh buruk. Aku bahkan pernah menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup." Risty mengulas senyuman, meski sebenarnya ia masih menyimpan berbagai tanya di benaknya soal sikap Rio semenjak mereka pulang dari acara pernikahannya Dira dan Reza."Setiap manusia punya cac
Bab 145"Nggak usah didengerin ucapan Mama. Kalau memang kamu nggak siap melakukan hubungan suami istri, aku bisa menunggu kok. Santai aja," ujar Reza menenangkan Dira yang terlihat amat gelisah saat mereka dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar rombongan ibunya."Bukan soal itu. Aku hanya kepikiran soal kita kedepannya. Aku nggak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini," keluh gadis itu."Tidak apa-apa. Memang sudah jalannya begitu, yang penting kamu bisa menjalaninya dengan baik.""Aku nggak yakin." Tatapan Dira nampak kosong, meski di sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuh, mengalahkan rumah-rumah petak di sekitarnya."Aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan kamu. Yang penting kamu nggak menentang jalan yang sudah kita ambil. Ini hanya soal waktu, jadi kita kembalikan saja kepada waktu.""Kamu begitu yakin, Reza?""Tidak ada hal yang membuatku tidak yakin, karena kurasa yang ada dalam dirimu itu bukan cinta,
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka
Bab 143Aroma bunga yang semerbak tercium dengan jelas dari bunga-bunga yang disebarkan ke seluruh penjuru ruangan ini. Ruangan tamu di rumahnya yang tidak terlalu luas kini disulap menjadi ruangan tempat akad nikah. Pagi ini Reza akan melafalkan akad nikah atas nama dirinya. Dira menghela nafas. Akhirnya dia menyerah. Dia bersedia menikah dengan Reza, meski tak ada sedikitpun rasa cintanya pada pria itu. Sebelumnya dia selalu berkhayal jika ia akan menikah satu kali seumur hidup dengan orang yang ia cintai, tapi kenapa semuanya menjadi begini? Seolah takdir memaksanya untuk menerima pria itu. Dia hanya menganggap Reza sebagai teman, malaikat penolongnya. Seandainya tidak ada Reza waktu itu, maka barangkali dia sudah rusak oleh kecerobohan yang dibuatnya sendiri.Klub malam bukanlah tempat yang baik untuk gadis perawan seperti dirinya."Sebentar lagi mempelai pria akan datang, Nak. Jangan cemberut terus," tegur ibunya yang saat itu sudah masuk ke dalam ruangan dan kini duduk di sis
Bab 142Hanina celingak-celinguk, sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Bayangan yang sempat dilihatnya barusan kini telah lenyap, padahal dia merasa belum lima menit ia memalingkan wajah ke arah lain, tapi sosok yang ia kenali sebagai Reza dan Dira itu sudah lenyap dari pandangannya."Kenapa, Sayang?" Akmal yang tengah menggendong Aqila itu pun memasang tampang keheranan menyaksikan tingkah istrinya. Dia memang lebih fokus pada putrinya dan mengabaikan sekelilingnya."Aku seperti melihat Dira di sini, tapi ke mana ya? Barusan dia ada di situ," tunjuk Hanina pada sebuah bangku dan meja yang memang barusan digunakan oleh Dira dan Reza untuk duduk bersantai sembari menikmati udara dan pemandangan laut."Nggak ada tuh." Akmal menatap arah yang ditunjuk oleh istrinya. Hanya ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya dua batok kelapa dan bungkus cemilan."Tapi aku seperti melihat mereka. Aku masih mengenali Dira dan...." Perempuan itu menyanggah."Kok bilang mereka? Memangnya kamu l
Bab 141Reza tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai diri. "Tenanglah, aku nggak sakit kok. Kamu nggak perlu segitunya." Pria itu menarik tubuh Dira hingga akhirnya gadis itu kembali bangkit dan terduduk di ranjang.Keduanya kini duduk berhadapan dan lagi-lagi Reza menangkup kedua pipi gadis itu."Aku akan tanggung jawab. Sejak awal aku yang membawamu kemari, meskipun itu atas keinginanmu sendiri. Jika memang kedua orang tua kita mengira kita tinggal bersama atau melakukan hal yang tidak benar, aku akan berusaha meluruskannya. Kamu tenang aja." Reza meyakinkan."Bagaimana aku bisa tenang jika sudah seperti ini? Bagaimana kalau nanti kita dipaksa untuk menikah? Aku nggak mau kita terlibat dengan urusan pribadi. Lagi pula kita nggak ada hubungan apa-apa, masa iya dipaksakan gitu? Aku nggak mau tahu, kamu harus pastikan mereka bisa mengerti bahwa kita nggak ada hubungan apa-apa. Aku ke sini cuma untuk kerja," oceh Dira panjang lebar."Ya, tinggal nikah saja." P