‘Loh! Dia, kan, Hendrik. Mau ngapain dia?” batin perempuan tersebut saat Hendrik mendekatinya. “Ah, iya! Ada apa?” Perempuan tersebut berpura-pura tersenyum. “Sendirian, Mbak? Boleh duduk?” Hendrik menarik kursi, lalu mendudukinya tanpa adanya izin. “Seperti yang Masnya lihat. Duduk mah tinggal duduk! Ada yang melarang?” ketusnya perempuan itu, tanda jika dirinya tidak suka akan kedatangan Hendrik. Namun, bukan Hendrik namanya jika langsung kalah sebelum berper*ng. Ia menebalkan mukanya agar bisa berkenalan dengan perempuan tersebut. “Ah, Mbaknya bisa aja. Iya sih, tidak ada yang melarang. Kali saja, ini ada yang akan duduk di sini begitu. Oh iya, boleh kenalan gak nih, Mbak?” Hendrik mengulurkan tangan dengan percaya diri akan mendapatkan balasan. “Silakan, saya gak larang!” Perempuan itu membiarkan tangan Hendrik mengambang begitu saja disertai senyum sinis menghiasi wajah cantiknya. ‘Beuh! Novi mah gak selevel dengannya. Boro-boro Novi, Cantika pun lewat. Sudahlah cantik, ju
“Semua itu gara-gara pelayan yang lelet itu!” Hendrik menyugar rambutnya asal. Wajahnya penuh guratan amarah. “Ehem!” Syasya memberikan kode, bahwa dirinya ada di belakang tubuh Hendrik. Ia memang sengaja melakukan itu—sembunyi di tembok dekat pintu keluar—untuk melihat bukti seberapa benar perkataan Hendrik tentang rasa suka padanya. Jika benar rasa itu adanya, pasti akan mencari ke mana pun pergi. Dan benar saja itu terjadi. Namun, ia tanpa sengaja juga harus tahu siapa Hendrik sebenarnya. ‘Oh, ternyata masih sama!’ batinnya menilai. “Oh, hai! Kamu ke mana saja? Aku cariin ternyata ada di sini,” sapa Hendrik usai menemukan keberadaan Syasya. Ia garuk kepala tak gatalnya itu karena kikuk. Di balik rasa kikuknya itu, Hendrik ketar-ketir. Ia takut jika Syasya tahu bahwa dirinya baru saja mengumpat. Ia tidak ingin hal itu terjadi, karena image-nya harus tetap terjaga sebagai laki-laki baik-baik. ‘Duh, dengar gak ya? Bisa bahaya ini kalau dia dengar. Dasar nih mulut!’ batinnya merac
Acara makan-makan pun telah usai. Bu Sumirah selaku pemilik yayasan dan pengurus panti asuhan mengajak anak-anak panti untuk berdoa bersama. “Anak-anak, dengarkan Bunda! Kakak-kakak ini datang menemui kita untuk berbagi kebahagiaan dengan kita. Adik tampan nan menggemaskan yang ada di pangkuan ini sudah bisa berjalan dan juga Kak Farah dan Kak Reno adalah pasangan pengantin baru.” Tepat saat Bu Sumirah mengatakan soal pernikahan Reno dan Farah, Reno dan Farah saling berpandangan. Mereka berdua kaget, karena sama sekali tidak mengatakan hal tersebut pada Bu Sumirah. Namun, sedetik kemudian mereka berdua faham jika hal itu adalah kerjaannya Sabrina. Dengan gerak cepat, Reno dan Farah menatap tajam Sabrina. Mendapatkan tatapan tak mengenakkan, Sabrina hanya menyengir. “Nah, sebagai ungkapan terima kasih untuk semua ini, kita doakan untuk mereka semua. Sekarang angkat tangannya, dengarkan baik-baik Bunda dan aminkan….” Satu per satu anak-anak mulai mengangkat tangannya dengan penuh k
Suasana sahur di pagi menjelang subuh itu tidak hanya moment pertama bagi Sarah. Di rumah milih Farah, sahur kali ini baginya dan suami adalah momen sahur pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Di rumah yang dibeli dari hasil kerja kerasnya dalam membersamai orang-orang butuh bantuannya dalam bidang hukum, Farah dan Reno bahu membahu membuat sajian untuk disantap sebelum subuh berkumandang. Meskipun menggunakan tenaga asisten rumah tangga, tetap saja pasangan itu memanfaatkan waktu sahur yang penuh berkah itu dengan menginginkan masak sendiri daripada dimasakkan.Dengan kehadiran sang suami di sampingnya, Farah sangat bersyukur sekali karena sudah dipertemukan dengannya dan sudah menikah sebelum berpuasa. Sehingga momen puasa seperti tahun-tahun sebelumnya sudah tidak lagi dirasakannya. “Terima kasih ya, Mas! Sudah mencintai dan menjadikanku istrimu dengan segala kekurangan ini.” Farah menghentikan aktivitas menumisnya. Reno yang sedang mempersiapkan lainnya tersenyum lalu m
Bab 61 “Heh, punya mulut tuh dijaga! Kamu kalau gak ada pedagang mana bisa makan. Beli tinggal beli aja kok mulutnya tajem bener! Kalau kelakuanmu begitu, orang juga males ladeni kamu, biarin dah mat* kelaparan!” berang pedagang tersebut seraya melotot tajam dan berkacak pinggang. Ia tidak terima dan merasa terhina dengan kata-kata kasar dari mulut Novi. Ucapan pedagang itu sukses membuat Novi tak berkutik. Pasalnya, apa yang ia dengar barusan adalah benar adanya. Ia dan suami sudah sangat kelaparan dan sedari tadi tidak menemukan warung nasi yang buka, itu pun harus jalan kaki jauh dari rumahnya. “Kenapa diam? Bener, kan, apa yang saya ucapkan? Belagu sih jadi orang! Jadi dibungkusin, gak? Saya sih tidak masalah kalau situ gak jadi beli. Pembeli bukan situ doang. Pergi sana, bikin sakit mata aja!” usirnya, membuat Novi gelagapan. “Eh, jangan dong, Bu! Ah elah, gitu aja marah. Bungkus, saya tungguin!” ucap Novi tanpa bersalah. Dengan mengelus dada dan menggelengkan kepala, ibu Wa
Bulan Ramadhan adalah bulan berkah. Keberkahan itu bersifat universal, dirasakan oleh setiap makhluk dan manusia di dunia ini terlepas apapun agamanya. Hal itulah yang saat ini dirasakan oleh Sarah dan Sabrina. Usaha mereka untuk bulan ini pendapatannya naik drastis. Selain pendapatan yang naik, permintaan dan kedatangan para tamu di outlet juga melonjak sangat signifikan. Tentu hal itu membuat Sarah memutuskan untuk menambah karyawan baru di kedua usahanya. Tak sampai berhenti di situ saja, ia pun merambah usaha berupa franchise. Tujuannya agar orang lain bisa menikmati pundi-pundi hasil penjualan tanpa harus memikirkan branding dan konsep. Selain itu, orang yang ingin merasakan hasil olahan dari kedua brand Sarah untuk kudapan di saat berbuka dan sahur tak perlu datang ke outlet-nya langsung. Dengan begitu, ada banyak keuntungan didapatkan oleh semuanya, yaitu Sarah, partner franchise, dan konsumen. Selain dalam bentuk franchise, Sarah juga menjual olahannya dalam bentuk beku, s
Kebaikan demi kebaikan dan keberkahan dari bulan Ramadhan kian terasa dirasakan oleh Sarah. Nikmat menjalankan ibadah begitu mendamaikan dan menyehatkan jiwa raganya. Meskipun bangun tengah malam untuk menyiapkan sahur dan solat malam, sama sekali tidak membuatnya lelah ataupun mengantuk di siang harinya, ia justru sangat menikmatinya. Keberkahan itu tidak hanya pada ketenangan dan kedamaian pada jiwanya saja, tapi juga apa yang ada dalam diri Emir. Bocah itu kian hari kian menggemaskan bagi siapa saja yang memandangnya. Tentu hal itu menjadi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi Sarah sebagai orang tua tunggal untuknya. Selain itu, pendapatan bersih dari semua usaha yang digeluti oleh Sarah juga semakin naik. Hal itu tidak serta merta membuat Sarah menjadi pelit, serakah akan apa yang dimilikinya, juga lupa bersyukur. Justru sebaliknya, Sarah semakin dermawan pada setiap yang membutuhkan. Termasuk pada sore nanti, Sarah dan pegawainya akan berbagi di pinggir jalan juga ke pan
“Assalamu'alaikum!” Seorang laki-laki tampan nan mapan memasuki sebuah rumah dengan menggunakan setelan jas setelah seharian lelah berkutat dalam urusan duniawi saat orang-orang sedang menikmati hidangan berat berbuka. Ia langsung mampir dari kantornya ke rumah itu untuk menjenguk ibunya setelah beberapa hari tak bersua. “Wa'alaykumussalaam. Kamu datang, Nak? Maa syaa Allah, gimana kabarnya?” Dengan langkah tergopoh-gopoh melihat siapa yang datang, sang ibu yaitu Bunda Sumirah mendekati sang putra lalu memeluk erat guna melepas rindu di dalam dadanya. “Alhamdulillah, kabar baik, Bund! Bunda sendiri gimana kabarnya? Oh iya, anak-anak di mana?” tanyanya usai pelukan itu terurai, seraya melongok ke ruang lainnya. Ia adalah putra satu-satunya dari Bunda Sumirah yang sudah mapan dan mempunyai rumah sendiri agak jauh dari panti milik Bunda. “Alhamdulillah, Bunda juga baik. Anak-anak lagi makan, tadi ada yang kirim menu buka. Kamu udah makan, Nak?” Setelah menutup pintu, Bunda membawa