Suasana sahur di pagi menjelang subuh itu tidak hanya moment pertama bagi Sarah. Di rumah milih Farah, sahur kali ini baginya dan suami adalah momen sahur pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Di rumah yang dibeli dari hasil kerja kerasnya dalam membersamai orang-orang butuh bantuannya dalam bidang hukum, Farah dan Reno bahu membahu membuat sajian untuk disantap sebelum subuh berkumandang. Meskipun menggunakan tenaga asisten rumah tangga, tetap saja pasangan itu memanfaatkan waktu sahur yang penuh berkah itu dengan menginginkan masak sendiri daripada dimasakkan.Dengan kehadiran sang suami di sampingnya, Farah sangat bersyukur sekali karena sudah dipertemukan dengannya dan sudah menikah sebelum berpuasa. Sehingga momen puasa seperti tahun-tahun sebelumnya sudah tidak lagi dirasakannya. “Terima kasih ya, Mas! Sudah mencintai dan menjadikanku istrimu dengan segala kekurangan ini.” Farah menghentikan aktivitas menumisnya. Reno yang sedang mempersiapkan lainnya tersenyum lalu m
Bab 61 “Heh, punya mulut tuh dijaga! Kamu kalau gak ada pedagang mana bisa makan. Beli tinggal beli aja kok mulutnya tajem bener! Kalau kelakuanmu begitu, orang juga males ladeni kamu, biarin dah mat* kelaparan!” berang pedagang tersebut seraya melotot tajam dan berkacak pinggang. Ia tidak terima dan merasa terhina dengan kata-kata kasar dari mulut Novi. Ucapan pedagang itu sukses membuat Novi tak berkutik. Pasalnya, apa yang ia dengar barusan adalah benar adanya. Ia dan suami sudah sangat kelaparan dan sedari tadi tidak menemukan warung nasi yang buka, itu pun harus jalan kaki jauh dari rumahnya. “Kenapa diam? Bener, kan, apa yang saya ucapkan? Belagu sih jadi orang! Jadi dibungkusin, gak? Saya sih tidak masalah kalau situ gak jadi beli. Pembeli bukan situ doang. Pergi sana, bikin sakit mata aja!” usirnya, membuat Novi gelagapan. “Eh, jangan dong, Bu! Ah elah, gitu aja marah. Bungkus, saya tungguin!” ucap Novi tanpa bersalah. Dengan mengelus dada dan menggelengkan kepala, ibu Wa
Bulan Ramadhan adalah bulan berkah. Keberkahan itu bersifat universal, dirasakan oleh setiap makhluk dan manusia di dunia ini terlepas apapun agamanya. Hal itulah yang saat ini dirasakan oleh Sarah dan Sabrina. Usaha mereka untuk bulan ini pendapatannya naik drastis. Selain pendapatan yang naik, permintaan dan kedatangan para tamu di outlet juga melonjak sangat signifikan. Tentu hal itu membuat Sarah memutuskan untuk menambah karyawan baru di kedua usahanya. Tak sampai berhenti di situ saja, ia pun merambah usaha berupa franchise. Tujuannya agar orang lain bisa menikmati pundi-pundi hasil penjualan tanpa harus memikirkan branding dan konsep. Selain itu, orang yang ingin merasakan hasil olahan dari kedua brand Sarah untuk kudapan di saat berbuka dan sahur tak perlu datang ke outlet-nya langsung. Dengan begitu, ada banyak keuntungan didapatkan oleh semuanya, yaitu Sarah, partner franchise, dan konsumen. Selain dalam bentuk franchise, Sarah juga menjual olahannya dalam bentuk beku, s
Kebaikan demi kebaikan dan keberkahan dari bulan Ramadhan kian terasa dirasakan oleh Sarah. Nikmat menjalankan ibadah begitu mendamaikan dan menyehatkan jiwa raganya. Meskipun bangun tengah malam untuk menyiapkan sahur dan solat malam, sama sekali tidak membuatnya lelah ataupun mengantuk di siang harinya, ia justru sangat menikmatinya. Keberkahan itu tidak hanya pada ketenangan dan kedamaian pada jiwanya saja, tapi juga apa yang ada dalam diri Emir. Bocah itu kian hari kian menggemaskan bagi siapa saja yang memandangnya. Tentu hal itu menjadi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi Sarah sebagai orang tua tunggal untuknya. Selain itu, pendapatan bersih dari semua usaha yang digeluti oleh Sarah juga semakin naik. Hal itu tidak serta merta membuat Sarah menjadi pelit, serakah akan apa yang dimilikinya, juga lupa bersyukur. Justru sebaliknya, Sarah semakin dermawan pada setiap yang membutuhkan. Termasuk pada sore nanti, Sarah dan pegawainya akan berbagi di pinggir jalan juga ke pan
“Assalamu'alaikum!” Seorang laki-laki tampan nan mapan memasuki sebuah rumah dengan menggunakan setelan jas setelah seharian lelah berkutat dalam urusan duniawi saat orang-orang sedang menikmati hidangan berat berbuka. Ia langsung mampir dari kantornya ke rumah itu untuk menjenguk ibunya setelah beberapa hari tak bersua. “Wa'alaykumussalaam. Kamu datang, Nak? Maa syaa Allah, gimana kabarnya?” Dengan langkah tergopoh-gopoh melihat siapa yang datang, sang ibu yaitu Bunda Sumirah mendekati sang putra lalu memeluk erat guna melepas rindu di dalam dadanya. “Alhamdulillah, kabar baik, Bund! Bunda sendiri gimana kabarnya? Oh iya, anak-anak di mana?” tanyanya usai pelukan itu terurai, seraya melongok ke ruang lainnya. Ia adalah putra satu-satunya dari Bunda Sumirah yang sudah mapan dan mempunyai rumah sendiri agak jauh dari panti milik Bunda. “Alhamdulillah, Bunda juga baik. Anak-anak lagi makan, tadi ada yang kirim menu buka. Kamu udah makan, Nak?” Setelah menutup pintu, Bunda membawa
“Lepasin geh, kalian ini! Cuma makanan sepele aja sampe diributin, udah kek apa aja. Noh, k*rupt*r m*ling uang rakyat aja gak pernah sampe diginiin. Kalian itu kej*am. Ngerti, gak!” umpat Novi sembari menghentakkan kedua tangannya dari cekalan para pengejar. “Diam! Sekali lagi kamu buka mulut, kusampal baru tahu rasa!” anc*am salah satu pencekal, berhasil membuat Novi tak berkutik. Selain karena sudah biasa berkumpul di depan rumah pada sore hari untuk saling bercengkrama dengan para tetangga dan menunggu waktu berbuka, warga masih saja anteng di pinggir jalan juga untuk melihat siapa pelakunya sebenarnya yang sudah membuat onar. “Oalah, Novi lagi? Ya, ampun! Kok, gak bosen ya melakukan hal buruk?” ucap warga bernama Bu Nuh—istri Pak Nuh—memulai pembicaraan saat Novi sudah kelihatan dieret-eret dari arah sana. “Hooh! Gilani banget gak sih? Kalau aku jadi Pak RT, pasti udah kuusir tuh perempuan gak guna!” timpal warga lainnya bernama Bu Bur, istri Pak Sobur.“Kayaknya sih kali ini
Tak butuh lama, rombongan warga yang membawa Novi diikuti oleh Hendrik telah tiba di rumah Pak RT. Seperti dugaan Pak RT, bahwa akan ada banyak warga yang ikut, maka ia menyiapkan tempat duduk berupa karpet lantai di ruang tamu. Di rumah tersebut juga sudah hadir para saksi di TKP yang tidak ikut mengejar Novi. Mereka dihadirkan oleh Pak RT agar masalah semakin jelas. Mengingat waktu yang semakin maju menuju berbuka, Pak RT langsung saja memulai sidang. Sementara itu Hendrik, terus saja mengekor hingga ikut masuk ke dalam rumah. Meskipun di dalam benaknya masih banyak tanya tentang ‘Ada apa, kenapa bisa terjadi, benarkah, separah inikah hingga harus disidang dan dihadiri banyak orang?’, ia hanya diam saja. Sesekali wajahnya menampakkan keterkejutan, marah, malu dan kecewa. “Langsung saja. Kita bersama tahu dengan banyak saksi, bahwa Novi sudah melakukan hal buruk yaitu mengambil, menyerobot dan mencuri yang bukan haknya. Kira-kira, dari Novi sendiri, mau hukuman seperti apa?” Pak
“Kamu itu memalukan! Akhrgh, si*al ngerti gak punya istri sepertimu!” umpat Hendrik seraya memulai mengendarai mobilnya meninggalkan kediaman Pak RT.“Memangnya kamu saja yang merasakan kesi*lan setelah kita menikah? Aku juga!” sahut Novi tak kalah emosi. “Diam! Lama-lama kamu itu cerewet!” Hendrik mendelik tajam pada Novi. Lalu, keduanya saling diam. Tepat saat adzan maghrib berkumandang di mana-mana, menyatakan bahwa puasa sudah harus dibatalkan, Hendrik tiba di rumahnya. Dengan cepat dan tergesa-gesa, Hendrik mengeluarkan Novi secara paksa dari dalam mobil lalu menye*r*tnya tak memberikan ampun dan kesempatan pada Novi untuk berjalan normal hingga sampai di pintu masuk. “Mas, lepasin! Sakit,” rintihnya menahan kesakitan akibat pelintiran Hendrik di tangannya. “Diam! Itulah akibatnya kamu telah memalukan aku di depan warga,” hardiknya sembari tangan kiri memutar anak kunci. “Kamu gak bisa seenaknya begini, dong, Mas! Aku ini istrimu!” lirihnya. Kemarahan dan teriakan demi teri