Bulan Ramadhan adalah bulan berkah. Keberkahan itu bersifat universal, dirasakan oleh setiap makhluk dan manusia di dunia ini terlepas apapun agamanya. Hal itulah yang saat ini dirasakan oleh Sarah dan Sabrina. Usaha mereka untuk bulan ini pendapatannya naik drastis. Selain pendapatan yang naik, permintaan dan kedatangan para tamu di outlet juga melonjak sangat signifikan. Tentu hal itu membuat Sarah memutuskan untuk menambah karyawan baru di kedua usahanya. Tak sampai berhenti di situ saja, ia pun merambah usaha berupa franchise. Tujuannya agar orang lain bisa menikmati pundi-pundi hasil penjualan tanpa harus memikirkan branding dan konsep. Selain itu, orang yang ingin merasakan hasil olahan dari kedua brand Sarah untuk kudapan di saat berbuka dan sahur tak perlu datang ke outlet-nya langsung. Dengan begitu, ada banyak keuntungan didapatkan oleh semuanya, yaitu Sarah, partner franchise, dan konsumen. Selain dalam bentuk franchise, Sarah juga menjual olahannya dalam bentuk beku, s
Kebaikan demi kebaikan dan keberkahan dari bulan Ramadhan kian terasa dirasakan oleh Sarah. Nikmat menjalankan ibadah begitu mendamaikan dan menyehatkan jiwa raganya. Meskipun bangun tengah malam untuk menyiapkan sahur dan solat malam, sama sekali tidak membuatnya lelah ataupun mengantuk di siang harinya, ia justru sangat menikmatinya. Keberkahan itu tidak hanya pada ketenangan dan kedamaian pada jiwanya saja, tapi juga apa yang ada dalam diri Emir. Bocah itu kian hari kian menggemaskan bagi siapa saja yang memandangnya. Tentu hal itu menjadi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi Sarah sebagai orang tua tunggal untuknya. Selain itu, pendapatan bersih dari semua usaha yang digeluti oleh Sarah juga semakin naik. Hal itu tidak serta merta membuat Sarah menjadi pelit, serakah akan apa yang dimilikinya, juga lupa bersyukur. Justru sebaliknya, Sarah semakin dermawan pada setiap yang membutuhkan. Termasuk pada sore nanti, Sarah dan pegawainya akan berbagi di pinggir jalan juga ke pan
“Assalamu'alaikum!” Seorang laki-laki tampan nan mapan memasuki sebuah rumah dengan menggunakan setelan jas setelah seharian lelah berkutat dalam urusan duniawi saat orang-orang sedang menikmati hidangan berat berbuka. Ia langsung mampir dari kantornya ke rumah itu untuk menjenguk ibunya setelah beberapa hari tak bersua. “Wa'alaykumussalaam. Kamu datang, Nak? Maa syaa Allah, gimana kabarnya?” Dengan langkah tergopoh-gopoh melihat siapa yang datang, sang ibu yaitu Bunda Sumirah mendekati sang putra lalu memeluk erat guna melepas rindu di dalam dadanya. “Alhamdulillah, kabar baik, Bund! Bunda sendiri gimana kabarnya? Oh iya, anak-anak di mana?” tanyanya usai pelukan itu terurai, seraya melongok ke ruang lainnya. Ia adalah putra satu-satunya dari Bunda Sumirah yang sudah mapan dan mempunyai rumah sendiri agak jauh dari panti milik Bunda. “Alhamdulillah, Bunda juga baik. Anak-anak lagi makan, tadi ada yang kirim menu buka. Kamu udah makan, Nak?” Setelah menutup pintu, Bunda membawa
“Lepasin geh, kalian ini! Cuma makanan sepele aja sampe diributin, udah kek apa aja. Noh, k*rupt*r m*ling uang rakyat aja gak pernah sampe diginiin. Kalian itu kej*am. Ngerti, gak!” umpat Novi sembari menghentakkan kedua tangannya dari cekalan para pengejar. “Diam! Sekali lagi kamu buka mulut, kusampal baru tahu rasa!” anc*am salah satu pencekal, berhasil membuat Novi tak berkutik. Selain karena sudah biasa berkumpul di depan rumah pada sore hari untuk saling bercengkrama dengan para tetangga dan menunggu waktu berbuka, warga masih saja anteng di pinggir jalan juga untuk melihat siapa pelakunya sebenarnya yang sudah membuat onar. “Oalah, Novi lagi? Ya, ampun! Kok, gak bosen ya melakukan hal buruk?” ucap warga bernama Bu Nuh—istri Pak Nuh—memulai pembicaraan saat Novi sudah kelihatan dieret-eret dari arah sana. “Hooh! Gilani banget gak sih? Kalau aku jadi Pak RT, pasti udah kuusir tuh perempuan gak guna!” timpal warga lainnya bernama Bu Bur, istri Pak Sobur.“Kayaknya sih kali ini
Tak butuh lama, rombongan warga yang membawa Novi diikuti oleh Hendrik telah tiba di rumah Pak RT. Seperti dugaan Pak RT, bahwa akan ada banyak warga yang ikut, maka ia menyiapkan tempat duduk berupa karpet lantai di ruang tamu. Di rumah tersebut juga sudah hadir para saksi di TKP yang tidak ikut mengejar Novi. Mereka dihadirkan oleh Pak RT agar masalah semakin jelas. Mengingat waktu yang semakin maju menuju berbuka, Pak RT langsung saja memulai sidang. Sementara itu Hendrik, terus saja mengekor hingga ikut masuk ke dalam rumah. Meskipun di dalam benaknya masih banyak tanya tentang ‘Ada apa, kenapa bisa terjadi, benarkah, separah inikah hingga harus disidang dan dihadiri banyak orang?’, ia hanya diam saja. Sesekali wajahnya menampakkan keterkejutan, marah, malu dan kecewa. “Langsung saja. Kita bersama tahu dengan banyak saksi, bahwa Novi sudah melakukan hal buruk yaitu mengambil, menyerobot dan mencuri yang bukan haknya. Kira-kira, dari Novi sendiri, mau hukuman seperti apa?” Pak
“Kamu itu memalukan! Akhrgh, si*al ngerti gak punya istri sepertimu!” umpat Hendrik seraya memulai mengendarai mobilnya meninggalkan kediaman Pak RT.“Memangnya kamu saja yang merasakan kesi*lan setelah kita menikah? Aku juga!” sahut Novi tak kalah emosi. “Diam! Lama-lama kamu itu cerewet!” Hendrik mendelik tajam pada Novi. Lalu, keduanya saling diam. Tepat saat adzan maghrib berkumandang di mana-mana, menyatakan bahwa puasa sudah harus dibatalkan, Hendrik tiba di rumahnya. Dengan cepat dan tergesa-gesa, Hendrik mengeluarkan Novi secara paksa dari dalam mobil lalu menye*r*tnya tak memberikan ampun dan kesempatan pada Novi untuk berjalan normal hingga sampai di pintu masuk. “Mas, lepasin! Sakit,” rintihnya menahan kesakitan akibat pelintiran Hendrik di tangannya. “Diam! Itulah akibatnya kamu telah memalukan aku di depan warga,” hardiknya sembari tangan kiri memutar anak kunci. “Kamu gak bisa seenaknya begini, dong, Mas! Aku ini istrimu!” lirihnya. Kemarahan dan teriakan demi teri
“Kalau bisa dua, kenapa harus hanya satu?” sela Syasya dengan menaik turunkan alisnya dan seringai serta tangan melipat di dada, membuat Hendrik melongo karena terkejut mendengarnya. “M-maksudmu, kamu tidak apa-apa dan setuju kita menjalin hubungan?” Hendrik memastikan, matanya mengerjap. Syasya hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Sudah, ya!” Syasya berdiri dan meninggalkan Hendrik yang masih tak percaya. “Oh iya, makanannya aku tidak butuh! Bawa pulang saja,” ucapnya sebelum benar-benar pergi dari restoran. Hendrik yang sedang senang, tidak sadar hanya mengikuti arah ke mana berjalannya Syasya tanpa berniat mencegah. “Apa katanya tadi? Ah, Hendrik! Pesonamu tidak pernah main-main!” soraknya disertai jingkrak-jingkrak, membuat mata pengunjung menatap padanya dengan heran. *****Hari ini puasa ketiga. Tepat pada jam sepuluh pagi, Sabrina sudah bersantai di rumah. Seluruh urusan dan pesanan ayam di kandang sudah selesai dikirimkan ke pemesan dan restoran-restoran termasu
Tepat saat adzan Dhuhur, Sarah telah kembali dari kafe beserta Emir dan Yuni. Mereka berangkat dan pulang menggunakan taksi online karena Sabrina hari ini tidak bisa mengantarkan seperti biasanya. “Assalamu'alaikum!” Sarah dan Yuni memasuki rumah tanpa ada yang menyahut. Mereka berdua saling berpandang, seolah satu pemikiran “Ke mana Sabrina? Mobilnya ada, kok!” “Oalah Na, Na! Kamu itu, ada orang salam kok gak nyahut? Padahal melek,” tegur Sarah saat sudah tiba di ruang tengah dan mendapati Sabrina dalam keadaan tengah berbunga-bunga. “Eh, Mbak Sarah! Ngagetin aja. Kenapa?” Sabrina hanya melihat ke arah Sarah sekilas, setelah itu fokusnya kembali pada HP. Hal itu sangat membuat Sarah penuh tanda tanya dan penasaran, apalagi sejak kedatangannya raut Sabrina sana sekali tidak berubah. “Ada apa ini, Na? Kok kamu tampak bahagia sekali? Kamu gak mau cerita sama aku?” cecar Sarah tak mau ketinggalan informasi dari Sabrina. Ia langsung duduk di samping Sabrina seraya memberi ASI pada Emi
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua