Tak butuh lama, rombongan warga yang membawa Novi diikuti oleh Hendrik telah tiba di rumah Pak RT. Seperti dugaan Pak RT, bahwa akan ada banyak warga yang ikut, maka ia menyiapkan tempat duduk berupa karpet lantai di ruang tamu. Di rumah tersebut juga sudah hadir para saksi di TKP yang tidak ikut mengejar Novi. Mereka dihadirkan oleh Pak RT agar masalah semakin jelas. Mengingat waktu yang semakin maju menuju berbuka, Pak RT langsung saja memulai sidang. Sementara itu Hendrik, terus saja mengekor hingga ikut masuk ke dalam rumah. Meskipun di dalam benaknya masih banyak tanya tentang ‘Ada apa, kenapa bisa terjadi, benarkah, separah inikah hingga harus disidang dan dihadiri banyak orang?’, ia hanya diam saja. Sesekali wajahnya menampakkan keterkejutan, marah, malu dan kecewa. “Langsung saja. Kita bersama tahu dengan banyak saksi, bahwa Novi sudah melakukan hal buruk yaitu mengambil, menyerobot dan mencuri yang bukan haknya. Kira-kira, dari Novi sendiri, mau hukuman seperti apa?” Pak
“Kamu itu memalukan! Akhrgh, si*al ngerti gak punya istri sepertimu!” umpat Hendrik seraya memulai mengendarai mobilnya meninggalkan kediaman Pak RT.“Memangnya kamu saja yang merasakan kesi*lan setelah kita menikah? Aku juga!” sahut Novi tak kalah emosi. “Diam! Lama-lama kamu itu cerewet!” Hendrik mendelik tajam pada Novi. Lalu, keduanya saling diam. Tepat saat adzan maghrib berkumandang di mana-mana, menyatakan bahwa puasa sudah harus dibatalkan, Hendrik tiba di rumahnya. Dengan cepat dan tergesa-gesa, Hendrik mengeluarkan Novi secara paksa dari dalam mobil lalu menye*r*tnya tak memberikan ampun dan kesempatan pada Novi untuk berjalan normal hingga sampai di pintu masuk. “Mas, lepasin! Sakit,” rintihnya menahan kesakitan akibat pelintiran Hendrik di tangannya. “Diam! Itulah akibatnya kamu telah memalukan aku di depan warga,” hardiknya sembari tangan kiri memutar anak kunci. “Kamu gak bisa seenaknya begini, dong, Mas! Aku ini istrimu!” lirihnya. Kemarahan dan teriakan demi teri
“Kalau bisa dua, kenapa harus hanya satu?” sela Syasya dengan menaik turunkan alisnya dan seringai serta tangan melipat di dada, membuat Hendrik melongo karena terkejut mendengarnya. “M-maksudmu, kamu tidak apa-apa dan setuju kita menjalin hubungan?” Hendrik memastikan, matanya mengerjap. Syasya hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Sudah, ya!” Syasya berdiri dan meninggalkan Hendrik yang masih tak percaya. “Oh iya, makanannya aku tidak butuh! Bawa pulang saja,” ucapnya sebelum benar-benar pergi dari restoran. Hendrik yang sedang senang, tidak sadar hanya mengikuti arah ke mana berjalannya Syasya tanpa berniat mencegah. “Apa katanya tadi? Ah, Hendrik! Pesonamu tidak pernah main-main!” soraknya disertai jingkrak-jingkrak, membuat mata pengunjung menatap padanya dengan heran. *****Hari ini puasa ketiga. Tepat pada jam sepuluh pagi, Sabrina sudah bersantai di rumah. Seluruh urusan dan pesanan ayam di kandang sudah selesai dikirimkan ke pemesan dan restoran-restoran termasu
Tepat saat adzan Dhuhur, Sarah telah kembali dari kafe beserta Emir dan Yuni. Mereka berangkat dan pulang menggunakan taksi online karena Sabrina hari ini tidak bisa mengantarkan seperti biasanya. “Assalamu'alaikum!” Sarah dan Yuni memasuki rumah tanpa ada yang menyahut. Mereka berdua saling berpandang, seolah satu pemikiran “Ke mana Sabrina? Mobilnya ada, kok!” “Oalah Na, Na! Kamu itu, ada orang salam kok gak nyahut? Padahal melek,” tegur Sarah saat sudah tiba di ruang tengah dan mendapati Sabrina dalam keadaan tengah berbunga-bunga. “Eh, Mbak Sarah! Ngagetin aja. Kenapa?” Sabrina hanya melihat ke arah Sarah sekilas, setelah itu fokusnya kembali pada HP. Hal itu sangat membuat Sarah penuh tanda tanya dan penasaran, apalagi sejak kedatangannya raut Sabrina sana sekali tidak berubah. “Ada apa ini, Na? Kok kamu tampak bahagia sekali? Kamu gak mau cerita sama aku?” cecar Sarah tak mau ketinggalan informasi dari Sabrina. Ia langsung duduk di samping Sabrina seraya memberi ASI pada Emi
Klunting! Klunting!Klunting! ‘Siapa sih yang chat sebanyak itu?’ batin Sabrina seraya merogoh HP dalam saku. Ia yang hendak masuk ke dalam rumah pun mengurungkan niatnya dan memilih membuka chat terlebih dahulu. “Wah! Alhamdulillah,” Senyum sumringah tak henti-hentinya menghiasi wajah ayu Sabrina, saat beruntun chat masuk. “Mbak, bajunya udah nyampe. Cepet, bagus banget lagi. Aku suka!” Chat pertama yang ia buka, ada berderet emot tersenyum dengan mata berbentuk hati. “Wah, cepet banget! Udah nyampe aja, Mbak. Puas pokoknya aku.” Chat kedua disertai foto pengirim menggunakan baju yang diterimanya. “Ya ampun, bagus banget! Kenapa aku baru nemuin barang sebagus itu sekarang? Mana cepet banget lagi pengirimannya.”“Gak sia-sia aku merengek minta duit Pak Su, barangnya bagus banget!” Dan masih banyak lagi chat yang masuk bernada sama, ucapan senang karena baju mereka telah sampai dalam keadaan cepat padahal baru dipesan kemarin siang dan benar-benar bagus seperti kata pelanggan se
Sarah memasuki rumah dengan pemandangan tak biasa. Barang-barang berupa bertumpuk-tumpuk kain saling terbungkus plastik per helainya. Ia juga mendapati ada seorang gadis tengah duduk di samping Sabrina. “Ini siapa, Na?” Rasa penasaran dalam dirinya tak dapat dibendung lagi. “Oh, ini Icha, Mbak. Dia anak di ayam. Aku minta untuk bantu dan nginep malam ini,” jelas Sabrina dengan menoleh sekilas pada Sarah. Tanpa dikomando, Icha berdiri dan menyalami Sarah. “Salam kenal ya, Cha?” Icha hanya mengangguk lalu tersenyum. “Ya udah, semangat ya kalian!” Sarah meninggalkan mereka berdua dan pergi ke kamarnya. Sepeninggalnya Sarah, Sabrina dan Icha kembali melanjutkan aktivitasnya yaitu memasukkan semua foto ke dalam toko online milik Sabrina di berbagai aplikasi. Tak lupa, ia juga membuat halaman khusus di media sosial. Di sana akan dipasang foto juga video. Malam terus berlanjut dan telah tiba di pagi hari. Mereka semua kembali melanjutkan aktivitas. Namun, ada yang berbeda kali ini. Sabr
Sore ini Sabrina sudah pulang ke rumah, setelah sedari siang mencari penyewaan ruko untuk tempat dirinya berjualan baju. Ia pulang dengan membawa hasil yang memuaskan. Ia mendapatkan ruko dengan harga murah tapi di tempat yang cukup strategis. Sang empunya sangat membutuhkan uang untuk berobat anaknya. Terletak tidak jauh dari tempat usahanya Sarah. Sehingga untuk hari-hari ke depannya bisa membawa serta Sarah ikut dengan mobilnya karena searah. Rencananya, nanti setelah jam setengah sembilan malam ia akan memindahkan barang-barang yang ada di rumah ke ruko barunya menggunakan mobil box. Sabrina melakukan hal itu agar hari besok tinggal menata dalam etalase. Selain mendapatkan ruko dengan murah dan cepat, Sabrina juga sudah mendapatkan pegawai baru yang akan membantunya mengurus toko kainnya tersebut menemani Icha. Ya, saat ini Sabrina langsung memutuskan untuk mempekerjakan dua orang sekaligus karena permintaan dari pelanggan sedang tinggi-tingginya. ****Tepat saat Sarah muncul
“Kamu itu lupa atau gimana? Aku kan sedang dihukum tidak boleh ke mana-mana. Mana mungkin bisa aku belanja?” protes Novi mengejar Hendrik yang akan meninggalkan dirinya di ruang tamu. “Itu alasan kamu saja! Dasar pemalas ya tetap aja pemalas,” jawab Hendrik enteng, membuat Novi semakin kepanasan juga jengkel. Novi juga tidak menyangka jika suaminya akan berkata seperti itu padahal dirinya sedang mengalami suatu hal yang tidak bisa dibantah yaitu mendapatkan hukuman dari warga. Kemarahannya Novi kian memuncak. Hal itu membuatnya tidak sadar dan tidak dapat menguasai dirinya sendiri. Tangannya reflek menj*amb*k kuat-kuat rambut lebat Hendrik dari belakang. “Akhrgh! Sakit, bod*h!” umpat Hendrik kesakitan, tangannya langsung bergerak cepat untuk melepaskan jambakan dirambutnya itu. Lalu, Hendrik berbalik badan dan menatap tajam Novi. “Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan kelakuanmu tadi.” Novi tidak peduli akan tatapan tajam itu dan memilih melenggang pergi membiarkan Hendrik yang m