“Kamu itu lupa atau gimana? Aku kan sedang dihukum tidak boleh ke mana-mana. Mana mungkin bisa aku belanja?” protes Novi mengejar Hendrik yang akan meninggalkan dirinya di ruang tamu. “Itu alasan kamu saja! Dasar pemalas ya tetap aja pemalas,” jawab Hendrik enteng, membuat Novi semakin kepanasan juga jengkel. Novi juga tidak menyangka jika suaminya akan berkata seperti itu padahal dirinya sedang mengalami suatu hal yang tidak bisa dibantah yaitu mendapatkan hukuman dari warga. Kemarahannya Novi kian memuncak. Hal itu membuatnya tidak sadar dan tidak dapat menguasai dirinya sendiri. Tangannya reflek menj*amb*k kuat-kuat rambut lebat Hendrik dari belakang. “Akhrgh! Sakit, bod*h!” umpat Hendrik kesakitan, tangannya langsung bergerak cepat untuk melepaskan jambakan dirambutnya itu. Lalu, Hendrik berbalik badan dan menatap tajam Novi. “Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan kelakuanmu tadi.” Novi tidak peduli akan tatapan tajam itu dan memilih melenggang pergi membiarkan Hendrik yang m
Libur lebaran akan segera tiba. Adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh para pekerja di mana pun berada dan apapun perusahaan atau instansinya, termasuk perusahaan tempat Hendrik bekerja. Mereka menunggu hari libur dan yang lebih utama adalah tunjangan hari rayanya. Namun, hingga kini saat hari libur tinggal hitungan jam belum juga ada kabar seberapa besar jumlah THR yang akan mereka para pekerja terima. Maklum saja, setiap pemimpin beda aturan dan kebijakan, terlebih lagi seorang pemimpin seperti Hendrik yang semena-mena. “Pak, THR gimana?” Seorang staff memberanikan diri bertanya pada Hendrik siang hari itu setelah mengetuk pintu dan sapa juga basa-basi tanpa adanya balasan dari Hendrik karena sedang fokus mengerjakan file di akhir menuju detik-detik hari libur. “Maksudmu apa bertanya seperti itu? Apa itu THR?” jawabnya sinis dan ogah-ogahan seraya kembali melanjutkan ketikannya di komputernya. “THR ya THR, Pak! Masa THR aja tanya?” Staff itu mulai kesal. “Heh! Kamu pikir
Sejak kejadian Hendrik dipermalukan oleh Novi pasal pencurian takjil waktu itu hingga sekarang, komunikasi antar keduanya sama sekali tidak baik. Bahkan, semakin memburuk saja dari hari ke hari. Seperti pada Minggu hari ini, Hendrik sejak pagi hari sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Ia memasak dan membuat sarapan untuknya tanpa menyisakan sedikitpun untuk Novi. Ya, keduanya memang tidak pernah puasa sejak awal.“Halah! Puasa-puasaan segala. Buat apaan? Yang ada laper, lemes. Udah gitu haus mana kerjaan banyak lagi,” ujarnya kala itu di dalam hati saat mengetahui bahwa sudah memasuki bulan Ramadhan dan mendapati semua karyawan menunaikan ibadah tersebut. “Puasa? Hadeh! Ngapain, sih? Membuat orang laper saja. Tapi, kok orang-orang bisa betah gitu, ya?” gumam Novi penasaran setelah melihat video di toktok yang menampilkan sederet artis ibukota sedang mengadakan acara buka bersama. Ia tak jauh berbeda dengan Hendrik. Selain pandangan-pandangan negatif tentang puasa yang keduanya kemu
Lebaran semakin dekat saja. Sebagai orang Indonesia pada umumnya, sudah lumrah jika menjelang lebaran adalah dilakukannya berburu baju baru juga menghias rumah, serta memperbanyak kudapan dan sajian. Hal itu juga dilakukan oleh Adi. Setelah hari ini adalah hari terakhir bekerja, ia berniat hari esok akan membawa anak-anak untuk berbelanja baju baru untuk mereka. Tepat pukul sembilan pagi pada keesokan harinya, Adi benar-benar melaksanakan apa telah menjadi niatnya tersebut. Setelah semalaman ia mencari tahu dan menemukan di manakah ada tempat perbelanjaan paling lengkap dengan tujuan agar sekali datang langsung dapat banyak dan komplit, Adi langsung memboyong anak-anak ke tempat toko Tingali. Meskipun toko kali ini tidaklah luas seperti mall-mall besar, sehingga menyebabkan anak-anak tidak leluasa, Adi tetap saja datang dan sama sekali tidak menyurutkan niatnya ke toko tersebut. Satu-satunya tujuan Adi mengajak ke toko tersebut adalah untuk mengajarkan kesabaran di dalam diri ana
Hari ini adalah hari terakhir bekerja di seluruh perusahaan di bawah naungan milik Oma Santi, termasuk perusahaan cabang yang dipegang oleh Hendrik. Hari ini juga adalah batas terakhir perusahaan memberikan THR kepada karyawannya. Seperti biasa pada tahun-tahun sebelumnya, para pegawai sangat senang sekali jika hari itu adalah hari terakhir mereka bekerja hingga beberapa hari ke depan. Apalagi mereka akan mendapatkan THR, rasa senang bertambah-tambah. Namun, kegelisahan segera menyerang pada setiap diri pegawai yang ada. Pasalnya, sudah jam satu siang belum ada satupun notifikasi di gawai mereka yang menandakan adanya bukti transfer pembayaran THR oleh pihak perusahaan. “Kok, jam segini belum ada notif, ya? Biasanya, lho, pagi jam sembilan udah ada.” keluh salah satu pegawai yang gelisah karena sudah sedari tadi bolak-balik melihat notifikasi di HP-nya. “Iya. Jangan-jangan bener kata rumor, kalau tidak ada THR kali ini?” timpal lainnya. “Jangan atuh! Aku butuh banget, tahu!” sang
Saat para pegawai dan Hendrik sedang ribut dan terjadi cek-cok, salah satu pegawai yang kenal dengan direktur utama yaitu Pak Adam, segera keluar dari rombongan itu dan menghubungi orang nomor satu di perusahaan pusat tersebut. Begitu mendapatkan kabar adanya kericuhan dan kekacauan di kantor cabang yang disebabkan oleh tingkah laku Hendrik sebab tidak mau bertanggung jawab tentang pembayaran THR, Pak Adam langsung meluncur tanpa menunggu apapun detik itu juga. “Kurang ajar! Benar-benar ya si bocah itu! Tidak ada kapok-kapoknya berbuat salah.” Pak Adam tangannya mengepal kuat-kuat melihat pemandangan di depan matanya. Dan benar saja, tanpa adanya kebohongan sedikitpun apa yang dikatakan oleh karyawan tersebut padanya. Begitu tiba di depan ruangan Hendrik, mata kepala Pak Adam benar-benar disuguhi oleh pemandangan yaitu adegan Hendrik digiring menuju kantor polisi. “Tunggu!” teriaknya lantang, mencegah para pegawai untuk tidak bertindak lebih. Mereka pun menurut, ketika tahu bahwa
Sore itu juga, Pak Adam sudah menemukan solusi atas belum terbayarnya THR para pegawai dan uang perusahaan yang dibelanjakan oleh Hendrik di luar operasional perusahaan. Tanpa basa-basi dan meskipun mendapatkan penolakan serta tidak disetujui oleh Hendrik, Pak Adam berhasil menjual mobil Hendrik untuk menambal kekurangan dan pengembalian uang perusahaan. Karena dijual mendadak, tentu harganya tidak bisa mahal seperti pada umumnya dan seharusnya. Hal itu lagi-lagi tidak bisa dihindari dan ditolak oleh Hendrik. Setelah mendapatkan uang dari hasil penjualan mobil tersebut, Pak Adam langsung saat itu juga mentransfer THR untuk para pegawainya. Hal, itu disambut penuh sukacita oleh mereka yang saat itu sudah berada di rumah masing-masing dan telah menunggu berjam-jam. Berbeda dengan Hendrik, begitu keluar dari rumah pembeli, wajahnya penuh kekesalan, kegeraman dan kebencian terhadap Pak Adam. Karena baginya, Pak Adam adalah orang yang harus bertanggungjawab atas hidupnya sejak berpisa
Berbeda dengan Hendrik dan Novi, mereka tidak menjalani hari idul fitri pagi itu dengan seperti biasa pada umumnya. Mereka memilih menghabiskan waktu di pagi itu hingga beberapa waktu ke depan tanpa adanya kepastian hingga kapan, dengan bepergian meninggalkan rumah menuju sebuah tempat wisata. Mereka berdua berangkat tepat saat orang-orang dirasa sudah berkumpul semua di lapangan. Hal itu dilakukan oleh Hendrik dengan alasan malu pada warga komplek karena mobil yang sekarang dimilikinya sudah jelek dan tidak mewah seperti dulu lagi. Selama mempunyai mobil yang sekarang itu, warga belum tahu karena Hendrik membawa pulang ke rumah untuk pertama kalinya pada malam hari dan setelah itu selalu ditutupi menggunakan mantel mobil. Sebenarnya, Hendrik ingin pergi sendiri pada awalnya. Namun, rasa peduli terhadap Novi yang sampai detik ini masih menjadi istri sahnya meskipun sudah tidak ada lagi rasa, mendadak muncul dan membuatnya seperti harus membawa ikut serta. Ia juga mendadak kasihan p
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua