Sepeninggal Hendrik, Pak RT yang awalnya ingin memastikan apakah air lautnya aman untuk bermain para cucunya langsung urung dan kembali ke tempat istri dan anak cucunya berkumpul. Setibanya di tempat, Pak RT mendapatkan pertanyaan yang beruntun dari istrinya. Bukan tentang bagaimana kondisi pantai tapi melainkan lainnya yaitu seseorang yang beberapa waktu telah dilihatnya. “Pa, Mama tadi kek lihat warga kita di sini, deh! Tapi, Mama gak yakin. Soalnya dari kejauhan dan samar-samar gitu. Kira-kira siapa ya, Pa?” Meskipun saat ini pembicaraan keduanya disaksikan oleh anak-cucunya, tapi tak ada satupun yang ikut campur karena bagi masing-masing dari mereka sama sekali bukan urusannya. Pertanyaan Bu RT seketika membuat Pak RT berpikir sejenak. Pasalnya Hendrik sudah berada di ujung sana sejak dirinya belum beranjak dari tempat berkumpulnya keluarga. “Laki apa perempuan, Ma?” tanya Pak RT memecah rasa penasaran di dalam dirinya. “Perempuan, Pa. Apa Papa punya jawaban? Ibu kasihan aja
“Kamu pikir aku gak punya keluarga yang harus aku kunjungi?” Usai mengirim balasan seperti itu, dengan gregetan Syasya memasukkan HP ke dalam tas jinjingnya yang sebelumnya selalu dipegangnya. Hal itu lagi-lagi tidak luput dari perhatian sang saudari. Namun, dengan sigap Syasya menyatakan baik-baik saja. Sementara Hendrik di tempatnya, membaca dengan ekspresi linglung juga seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. ****Setelah Sarah dan rombongan silaturahmi ke rumah orang tua Farah, mereka melanjutkan agenda silaturahmi hari itu ke panti Bunda Sumirah. Sebelum sampai di panti, Sabrina dan Sarah menyiapkan amplop berisi THR untuk anak-anak panti terlebih dahulu. Meskipun sebenarnya sudah disiapkan, mereka berdua tetap kembali memastikan dan mengecek apakah ada yang belum terisi atau jumlahnya sudah pas?. Sebenar dan seharusnya sodakoh yang lebih utama adalah saat Ramadhan, karena di saat tersebut pahalanya berkali-kali lipat besarnya. Sarah dan Sabrina tahu akan hal itu. Merek
Satu bulan telah berlalu. Kini, pernikahan Hendrik-Novi, umur Emir, dan status janda yang disandang oleh Sarah telah berumur satu tahun. Semakin hari, Emir semakin menunjukkan keaktifan, kecerdasan, kelincahan, dan sesuatu yang selalu mengejutkan dengan kata-kata baru keluar dari bibir mungilnya itu. Mengingat umur satu tahunnya Emir, tentu Sarah tidak lupa akan peristiwa yang telah dialaminya satu tahun itu. Namun, demi kebahagiaan dan keberlangsungan hidupnya ke depan, ia berusaha tidak mengingatnya. Sebagai momen yang sangat membahagiakan itu, Sarah dan Sabrina berencana akan mengadakan acara syukuran atas satu tahun umur Emir. Lagi-lagi rencananya akan diadakan bersama anak-anak panti asuhan Bunda Sumirah.Awalnya Sarah akan merayakannya di restoran miliknya. Namun, ia berubah pikiran. Ia berencana dalam perayaan tersebut ingin mengingatkan kepada seluruh undangan yang ada bahwa di dalam rejeki kita ada rejeki anak yatim dan setidak enaknya hidup, masih ada yang lebih tidak ena
Hari ini adalah keduanya kalinya Adhyaksa bertemu dengan Sarah bertepatan dengan perayaan ulang tahun pertama Emir di panti asuhan Bunda. Saat pertama kali Sarah memasuki panti di siang hari itu, pandangan Adhyaksa tak berhenti menatapnya. Setiap gerak-gerik Sarah saat menggendong Emir, mengenalkan kepada setiap anak panti, juga menyapa setiap tamu yang datang sama sekali tak luput dari perhatiannya. Entah mengapa, Adhyaksa seketika menjadi begitu candu menatap Sarah dari kejauhan. Ya, tentu ia tidak berani jika menatap dan memperhatikan dari dekat. Jika Bundanya dan lainnya mengetahui hal itu, bisa-bisa heboh dan terjadi perledekan. Tentu Adhyaksa tidak mau itu terjadi. Menit demi menit terus berlalu, acara demi acara juga harus terus berjalan. Hal itu membuat Adhyaksa mau tidak mau harus membaur dengan para tamu dan menyambut mereka. Meskipun tidak lagi bisa memandang Sarah dengan leluasa, ia tetap berusaha untuk mencuri pandang terhadap Sarah. Saat ada kesempatan, Adhyaksa yang
Hari ini sesuai kesepakatan antara Syasya dan dirinya, Hendrik malam nanti akan datang ke rumah orang tua Syasya untuk melamarnya secara resmi. Sehari sebelumnya setelah dirinya memberikan jawaban kepada Hendrik bahwa besok malam harus datang ke rumahnya, detik itu juga Syasya mulai mempersiapkan semuanya agar rencananya kali ini berhasil. Syasya yang saat ini bukanlah dirinya sebenarnya. Ia harus menyiapkan rumah yang akan didatangi oleh Hendrik dan mungkin juga keluarganya. Ia mencari rumah yang jauh dari rumah asli miliknya. Selain rumah, ia juga menyewa orang-orang yang akan menjadi kedua orang tuanya, kakek, nenek, dan para paman dan bibi. Total ada sepuluh orang. Ia mencari yang benar-benar berkompeten dan bukan kaleng-kaleng agar misinya berhasil dan tidak terlihat bukan orang sembarangan di mata Hendrik nantinya. Untuk rumah dan orang yang disewa guna memuluskan rencananya, Syasya harus menggocek saku agak dalam. Meskipun begitu, Syasya rela dan sangat berharap bahwa semua
Seiring waktu, obrolan pun meningkat tajam. Mereka di masing-masing pihak mengobrol puas seperti sudah saling kenal lama, juga seakan-akan lupa bahwa mereka harus berpura-pura. Melihat itu, Syasya nampak gelisah dan ketar-ketir. Ia takut jika salah satu dari mereka keceplosan dan bisa berakibat gagalnya rencana epiknya. Namun, kekhawatiran Syasya tak berlangsung lama karena beruntung obrolan mereka segera mereda pada pukul setengah sebelas malam. “Terima kasih atas sambutan keluarga bapak kepada kami. Kami juga ucapkan terima kasih kepada Nak Syasya yang sudah mau menerima putra kami untuk menjadi suaminya. Semoga silaturahmi malam ini menjadi awal yang baik untuk hubungan keluarga besar kita. Untuk itu, kami pamit undur diri.” Pria yang mengaku orang tua dari Hendrik itu berpamitan. Itu artinya pertemuan itu berakhir saat itu juga. Mereka semua berdiri dan saling bersalaman. Satu per satu dari rombongan Hendrik keluar dari rumah tersebut dan diantarkan oleh Bu Winda dan Pak Raharj
Sepanjang berada di kantor, Hendrik tak henti-hentinya tersenyum. Baginya, calon istrinya kali ini sangat berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya yaitu Sarah dan Novi. Kebahagiaannya kian bertambah lengkap karena untuk pertama kalinya Syasya menghubungi dirinya via chat. “Halo, Mas Hendrik sayang! Lagi kerja ya? Ya udah, deh. Semangat!” Melihat ada chat masuk di HP-nya, Hendrik buru-buru membacanya. Terlebih lagi adalah dari pujaan hatinya. “Halo juga sayangnya aku. Iya, nih, lagi kerja. Tentu semangat, dong. Apalagi ada Ayang yang selalu menjadi penyemangat.” Meskipun hanya sebatas itu saja obrolan mereka di pagi itu, Hendrik cukup senang dan benar-benar menjadi bersemangat. Selain itu, ia mendadak kalem. Terbukti, sepanjang hari sedari pagi hingga sore tiba waktunya pulang, Hendrik sama sekali tidak gampang marah dan membuat masalah tidak seperti sebelum-sebelumnya. Sontak saja perubahan signifikan itu seketika menjadi perhatian seluruh pegawai. Mereka nampak bertanya-tanya ap
“Kamu kenapa membentakku, Mas? Salahku apa? Padahal, aku hanya bertanya dengan siapa kamu berbicara sehingga senyummu tidak pernah hilang. Hanya itu saja. Seharusnya kalau memang tidak mau menjawab, tidak perlu membentak. Sakit hati ini, Mas!” ungkap Novi penuh kesedihan juga kepasrahan. “Halah! Udah deh, diem!” bentak Hendrik sekali lagi sebelum akhirnya pergi ke luar lalu duduk di depan teras. Tes! Tanpa Novi sadari, air matanya kembali menetes. Memang sejak malam tunangan Hendrik itu, perasaan Novi menjadi gampang tersakiti dan berujung menangis. “Jangan-jangan dia selingkuh? Ah, tapi tidak mungkin! Dia tidak mungkin berani menduakanku. Ya, benar! Dia tidak mungkin berani selingkuh!” Novi menduga sekaligus membantahnya dengan sangat yakin. Namun, sekalipun mulutnya berusaha untuk membohongi perasaannya, apa yang ia lihat membuatnya semakin yakin dengan perasaannya sendiri. Ia pun semakin berusaha dengan keras untuk menampik perasaan tersebut meskipun tidak berhasil. Karena nya