Satu bulan telah berlalu. Kini, pernikahan Hendrik-Novi, umur Emir, dan status janda yang disandang oleh Sarah telah berumur satu tahun. Semakin hari, Emir semakin menunjukkan keaktifan, kecerdasan, kelincahan, dan sesuatu yang selalu mengejutkan dengan kata-kata baru keluar dari bibir mungilnya itu. Mengingat umur satu tahunnya Emir, tentu Sarah tidak lupa akan peristiwa yang telah dialaminya satu tahun itu. Namun, demi kebahagiaan dan keberlangsungan hidupnya ke depan, ia berusaha tidak mengingatnya. Sebagai momen yang sangat membahagiakan itu, Sarah dan Sabrina berencana akan mengadakan acara syukuran atas satu tahun umur Emir. Lagi-lagi rencananya akan diadakan bersama anak-anak panti asuhan Bunda Sumirah.Awalnya Sarah akan merayakannya di restoran miliknya. Namun, ia berubah pikiran. Ia berencana dalam perayaan tersebut ingin mengingatkan kepada seluruh undangan yang ada bahwa di dalam rejeki kita ada rejeki anak yatim dan setidak enaknya hidup, masih ada yang lebih tidak ena
Hari ini adalah keduanya kalinya Adhyaksa bertemu dengan Sarah bertepatan dengan perayaan ulang tahun pertama Emir di panti asuhan Bunda. Saat pertama kali Sarah memasuki panti di siang hari itu, pandangan Adhyaksa tak berhenti menatapnya. Setiap gerak-gerik Sarah saat menggendong Emir, mengenalkan kepada setiap anak panti, juga menyapa setiap tamu yang datang sama sekali tak luput dari perhatiannya. Entah mengapa, Adhyaksa seketika menjadi begitu candu menatap Sarah dari kejauhan. Ya, tentu ia tidak berani jika menatap dan memperhatikan dari dekat. Jika Bundanya dan lainnya mengetahui hal itu, bisa-bisa heboh dan terjadi perledekan. Tentu Adhyaksa tidak mau itu terjadi. Menit demi menit terus berlalu, acara demi acara juga harus terus berjalan. Hal itu membuat Adhyaksa mau tidak mau harus membaur dengan para tamu dan menyambut mereka. Meskipun tidak lagi bisa memandang Sarah dengan leluasa, ia tetap berusaha untuk mencuri pandang terhadap Sarah. Saat ada kesempatan, Adhyaksa yang
Hari ini sesuai kesepakatan antara Syasya dan dirinya, Hendrik malam nanti akan datang ke rumah orang tua Syasya untuk melamarnya secara resmi. Sehari sebelumnya setelah dirinya memberikan jawaban kepada Hendrik bahwa besok malam harus datang ke rumahnya, detik itu juga Syasya mulai mempersiapkan semuanya agar rencananya kali ini berhasil. Syasya yang saat ini bukanlah dirinya sebenarnya. Ia harus menyiapkan rumah yang akan didatangi oleh Hendrik dan mungkin juga keluarganya. Ia mencari rumah yang jauh dari rumah asli miliknya. Selain rumah, ia juga menyewa orang-orang yang akan menjadi kedua orang tuanya, kakek, nenek, dan para paman dan bibi. Total ada sepuluh orang. Ia mencari yang benar-benar berkompeten dan bukan kaleng-kaleng agar misinya berhasil dan tidak terlihat bukan orang sembarangan di mata Hendrik nantinya. Untuk rumah dan orang yang disewa guna memuluskan rencananya, Syasya harus menggocek saku agak dalam. Meskipun begitu, Syasya rela dan sangat berharap bahwa semua
Seiring waktu, obrolan pun meningkat tajam. Mereka di masing-masing pihak mengobrol puas seperti sudah saling kenal lama, juga seakan-akan lupa bahwa mereka harus berpura-pura. Melihat itu, Syasya nampak gelisah dan ketar-ketir. Ia takut jika salah satu dari mereka keceplosan dan bisa berakibat gagalnya rencana epiknya. Namun, kekhawatiran Syasya tak berlangsung lama karena beruntung obrolan mereka segera mereda pada pukul setengah sebelas malam. “Terima kasih atas sambutan keluarga bapak kepada kami. Kami juga ucapkan terima kasih kepada Nak Syasya yang sudah mau menerima putra kami untuk menjadi suaminya. Semoga silaturahmi malam ini menjadi awal yang baik untuk hubungan keluarga besar kita. Untuk itu, kami pamit undur diri.” Pria yang mengaku orang tua dari Hendrik itu berpamitan. Itu artinya pertemuan itu berakhir saat itu juga. Mereka semua berdiri dan saling bersalaman. Satu per satu dari rombongan Hendrik keluar dari rumah tersebut dan diantarkan oleh Bu Winda dan Pak Raharj
Sepanjang berada di kantor, Hendrik tak henti-hentinya tersenyum. Baginya, calon istrinya kali ini sangat berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya yaitu Sarah dan Novi. Kebahagiaannya kian bertambah lengkap karena untuk pertama kalinya Syasya menghubungi dirinya via chat. “Halo, Mas Hendrik sayang! Lagi kerja ya? Ya udah, deh. Semangat!” Melihat ada chat masuk di HP-nya, Hendrik buru-buru membacanya. Terlebih lagi adalah dari pujaan hatinya. “Halo juga sayangnya aku. Iya, nih, lagi kerja. Tentu semangat, dong. Apalagi ada Ayang yang selalu menjadi penyemangat.” Meskipun hanya sebatas itu saja obrolan mereka di pagi itu, Hendrik cukup senang dan benar-benar menjadi bersemangat. Selain itu, ia mendadak kalem. Terbukti, sepanjang hari sedari pagi hingga sore tiba waktunya pulang, Hendrik sama sekali tidak gampang marah dan membuat masalah tidak seperti sebelum-sebelumnya. Sontak saja perubahan signifikan itu seketika menjadi perhatian seluruh pegawai. Mereka nampak bertanya-tanya ap
“Kamu kenapa membentakku, Mas? Salahku apa? Padahal, aku hanya bertanya dengan siapa kamu berbicara sehingga senyummu tidak pernah hilang. Hanya itu saja. Seharusnya kalau memang tidak mau menjawab, tidak perlu membentak. Sakit hati ini, Mas!” ungkap Novi penuh kesedihan juga kepasrahan. “Halah! Udah deh, diem!” bentak Hendrik sekali lagi sebelum akhirnya pergi ke luar lalu duduk di depan teras. Tes! Tanpa Novi sadari, air matanya kembali menetes. Memang sejak malam tunangan Hendrik itu, perasaan Novi menjadi gampang tersakiti dan berujung menangis. “Jangan-jangan dia selingkuh? Ah, tapi tidak mungkin! Dia tidak mungkin berani menduakanku. Ya, benar! Dia tidak mungkin berani selingkuh!” Novi menduga sekaligus membantahnya dengan sangat yakin. Namun, sekalipun mulutnya berusaha untuk membohongi perasaannya, apa yang ia lihat membuatnya semakin yakin dengan perasaannya sendiri. Ia pun semakin berusaha dengan keras untuk menampik perasaan tersebut meskipun tidak berhasil. Karena nya
Sudah berbulan-bulan Novi terkurung di rumahnya sendiri selama menjalani hukuman dari masyarakat. Bahkan, saking sudah lamanya, Novi sampai lupa sudah berapa lama dan berapa lama lagi ia harus menjalani hukuman tersebut.Novi jelas saja jenuh dan tidak bebas mau ke mana-mana. Apalagi sikap Hendrik padanya dari hari ke hari membuatnya semakin terhimpit oleh ruang sempit di dalam ruang-ruang rumah yang luas. Selain itu, Novi juga kesal akan hubungan atau status pernikahannya dengan Hendrik. Tak lagi disentuh dengan perasaan, pun komunikasi tak seindah dulu. Dicerai pun tidak, tapi selalu diabaikan. Kejenuhan yang semakin menumpuk dari hari ke hari membuat sisi pemberontak di dalam diri Novi kian mencuat dan pada akhirnya tidak tertahankan lagi. Seperti pada pagi itu. Setelah Hendrik berangkat bekerja dan Novi memasak makanannya sendiri, entah mengapa tiba-tiba ia seperti orang kesetanan yang berteriak-teriak tidak jelas di sela-sela memasaknya. “Akhrg, si*al! Kenapa sih orang-orang
Rani pun sama kagetnya seperti halnya Novi. Ia yang awalnya akan meminta maaf karena sudah menabrak karena terburu-buru, diurungkan begitu tahu siapa yang telah ditabraknya tersebut. Setelah mendapatkan kembali barangnya yang jatuh, tanpa sedikit katapun Rani langsung berdiri dan membalikkan badannya lalu berlari, lebih kencang dari sebelumnya. Hal itu adalah bentuk komitmen darinya yang benar-benar sudah tidak ingin lagi mengenal dan berhubungan dengan Novi. Ditabrak dan ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai maaf oleh orang yang pernah menjadi temannya tersebut membuat perasaan Novi kembali turun alias down kembali. Rasa senang yang ia rasakan saat di awal berada di taman mendadak hilang tak berbekas. Taman yang seharusnya memberikan kenyamanan, seketika berubah menjadi seolah mengerikan bagi Novi. Ingin rasanya Novi menghilang seketika dari taman tersebut. Waktu yang ingin ia habiskan selama berjam-jam di tempat tersebut, langsung ia putuskan saat itu juga dan seperti tidak ing