Seiring waktu, obrolan pun meningkat tajam. Mereka di masing-masing pihak mengobrol puas seperti sudah saling kenal lama, juga seakan-akan lupa bahwa mereka harus berpura-pura. Melihat itu, Syasya nampak gelisah dan ketar-ketir. Ia takut jika salah satu dari mereka keceplosan dan bisa berakibat gagalnya rencana epiknya. Namun, kekhawatiran Syasya tak berlangsung lama karena beruntung obrolan mereka segera mereda pada pukul setengah sebelas malam. “Terima kasih atas sambutan keluarga bapak kepada kami. Kami juga ucapkan terima kasih kepada Nak Syasya yang sudah mau menerima putra kami untuk menjadi suaminya. Semoga silaturahmi malam ini menjadi awal yang baik untuk hubungan keluarga besar kita. Untuk itu, kami pamit undur diri.” Pria yang mengaku orang tua dari Hendrik itu berpamitan. Itu artinya pertemuan itu berakhir saat itu juga. Mereka semua berdiri dan saling bersalaman. Satu per satu dari rombongan Hendrik keluar dari rumah tersebut dan diantarkan oleh Bu Winda dan Pak Raharj
Sepanjang berada di kantor, Hendrik tak henti-hentinya tersenyum. Baginya, calon istrinya kali ini sangat berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya yaitu Sarah dan Novi. Kebahagiaannya kian bertambah lengkap karena untuk pertama kalinya Syasya menghubungi dirinya via chat. “Halo, Mas Hendrik sayang! Lagi kerja ya? Ya udah, deh. Semangat!” Melihat ada chat masuk di HP-nya, Hendrik buru-buru membacanya. Terlebih lagi adalah dari pujaan hatinya. “Halo juga sayangnya aku. Iya, nih, lagi kerja. Tentu semangat, dong. Apalagi ada Ayang yang selalu menjadi penyemangat.” Meskipun hanya sebatas itu saja obrolan mereka di pagi itu, Hendrik cukup senang dan benar-benar menjadi bersemangat. Selain itu, ia mendadak kalem. Terbukti, sepanjang hari sedari pagi hingga sore tiba waktunya pulang, Hendrik sama sekali tidak gampang marah dan membuat masalah tidak seperti sebelum-sebelumnya. Sontak saja perubahan signifikan itu seketika menjadi perhatian seluruh pegawai. Mereka nampak bertanya-tanya ap
“Kamu kenapa membentakku, Mas? Salahku apa? Padahal, aku hanya bertanya dengan siapa kamu berbicara sehingga senyummu tidak pernah hilang. Hanya itu saja. Seharusnya kalau memang tidak mau menjawab, tidak perlu membentak. Sakit hati ini, Mas!” ungkap Novi penuh kesedihan juga kepasrahan. “Halah! Udah deh, diem!” bentak Hendrik sekali lagi sebelum akhirnya pergi ke luar lalu duduk di depan teras. Tes! Tanpa Novi sadari, air matanya kembali menetes. Memang sejak malam tunangan Hendrik itu, perasaan Novi menjadi gampang tersakiti dan berujung menangis. “Jangan-jangan dia selingkuh? Ah, tapi tidak mungkin! Dia tidak mungkin berani menduakanku. Ya, benar! Dia tidak mungkin berani selingkuh!” Novi menduga sekaligus membantahnya dengan sangat yakin. Namun, sekalipun mulutnya berusaha untuk membohongi perasaannya, apa yang ia lihat membuatnya semakin yakin dengan perasaannya sendiri. Ia pun semakin berusaha dengan keras untuk menampik perasaan tersebut meskipun tidak berhasil. Karena nya
Sudah berbulan-bulan Novi terkurung di rumahnya sendiri selama menjalani hukuman dari masyarakat. Bahkan, saking sudah lamanya, Novi sampai lupa sudah berapa lama dan berapa lama lagi ia harus menjalani hukuman tersebut.Novi jelas saja jenuh dan tidak bebas mau ke mana-mana. Apalagi sikap Hendrik padanya dari hari ke hari membuatnya semakin terhimpit oleh ruang sempit di dalam ruang-ruang rumah yang luas. Selain itu, Novi juga kesal akan hubungan atau status pernikahannya dengan Hendrik. Tak lagi disentuh dengan perasaan, pun komunikasi tak seindah dulu. Dicerai pun tidak, tapi selalu diabaikan. Kejenuhan yang semakin menumpuk dari hari ke hari membuat sisi pemberontak di dalam diri Novi kian mencuat dan pada akhirnya tidak tertahankan lagi. Seperti pada pagi itu. Setelah Hendrik berangkat bekerja dan Novi memasak makanannya sendiri, entah mengapa tiba-tiba ia seperti orang kesetanan yang berteriak-teriak tidak jelas di sela-sela memasaknya. “Akhrg, si*al! Kenapa sih orang-orang
Rani pun sama kagetnya seperti halnya Novi. Ia yang awalnya akan meminta maaf karena sudah menabrak karena terburu-buru, diurungkan begitu tahu siapa yang telah ditabraknya tersebut. Setelah mendapatkan kembali barangnya yang jatuh, tanpa sedikit katapun Rani langsung berdiri dan membalikkan badannya lalu berlari, lebih kencang dari sebelumnya. Hal itu adalah bentuk komitmen darinya yang benar-benar sudah tidak ingin lagi mengenal dan berhubungan dengan Novi. Ditabrak dan ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai maaf oleh orang yang pernah menjadi temannya tersebut membuat perasaan Novi kembali turun alias down kembali. Rasa senang yang ia rasakan saat di awal berada di taman mendadak hilang tak berbekas. Taman yang seharusnya memberikan kenyamanan, seketika berubah menjadi seolah mengerikan bagi Novi. Ingin rasanya Novi menghilang seketika dari taman tersebut. Waktu yang ingin ia habiskan selama berjam-jam di tempat tersebut, langsung ia putuskan saat itu juga dan seperti tidak ing
“Aku maunya nikah di gedung dan mewah, tidak mau kaleng-kaleng apalagi sampai sederhana saja. Mahar pun emas batangan murni 24 karat seberat 50 gram. Aku pikir kamu bisa. Bukan begitu?” Syasya menaikkan alisnya, seketika Hendrik melongo. Tentu saja, baginya apa yang baru saja didengarnya sangat tidak masuk akal dan di luar kemampuannya saat ini. “Gil*! Ini pemerasan namanya,” batin Hendrik dengan memasak wajah polosnya. “Hah? Kamu bercanda ya?” sahut Hendrik cengengesan. “Tentu tidak! Apakah kamu menangkap sebuah candaan di wajahku?” Syasya menatap Hendrik lamat-lamat, pun sebaliknya. Keduanya pun hening seketika. “Itupun jika kamu serius menikahi aku. Jika tidak, tidak masalah! Aku bisa mengembalikan cincin ini,” ancam Syasya dengan serius melepaskan cincin detik itu juga. Glek! “Bagaimana ini? Dapat duit darimana aku?” batin Hendrik. Hendrik yang melihatnya menjadi gugup seketika. Seketika ia juga menjadi bimbang, antara mengiyakan tapi sama sekali belum ada pandangan di mana
Setelah selesai menuliskan pilihan tempat yang akan dikunjungi sebagai tujuan wisata pada hari esok, Sarah mempersilahkan satu per satu dari seluruh karyawannya untuk melakukan pemilihan. Tak butuh waktu lama, para pegawai yang sat set telah menorehkan keputusan tanpa debat dan tidak dapat dibantah karena murni hasil dari pilihan masing-masing. Hasil pilihan akan ke mana pun sudah bisa diketahui oleh semua orang yang berada di tempat tersebut. Mereka yang memiliki pilihan tersendiri dan berbeda dari tempat yang berhasil meraih angka pemilihan tertinggi pun pada akhirnya bisa menerima dengan lapang dada. Mereka tidak bisa melakukan protes karena dipilih oleh orang banyak dan sama sekali tidak ada unsur-unsur curang di dalamnya. “Wah! Ternyata dari kalian memilih pantai rupanya,” ucap Sarah tersenyum sumringah sembari melihat ke arah papan tulis putih yang berisi hasil pemilihan pada bagian pantai dengan hasil cukup tinggi dan signifikan dibanding tempat lainnya. “Berarti ini udah d
“Mohon maaf, Bapak-bapak semua. Untuk saat ini Pak Hendrik tidak ada di tempat. Apakah ada hal yang akan dibahas dan sekiranya saya bisa mewakilinya?” tawar asisten itu kepada para investor masih dengan memasang wajah ramah.“Apakah seperti ini etika dari perusahaan kalian kepada kami para investor? Apakah seperti itu caranya kalian ketika diminta untuk meeting dengan mewakilkan, padahal kami ini langsung datang sendiri? Hah? Cepat suruh ke sini! Enak saja main tidak ada!” gerutu bercampur penekanan dari salah satu investor kepada. “Huh! Manja banget nih orang! Apa susahnya sih diwakilkan? Menambahi kerjaan segala!” batin asisten. Ia tidak menyangka jika mereka sangat kekeh meminta bertemu Hendrik. “Saya mohon maaf atas ketidak hadiran Pak Hendrik, Pak. Mohon ditunggu, saya akan menghubungi Pak Hendrik agar segera kembali ke kantor. Saya pamit mau menelponnya.” Asisten itu pun pamit dan langsung menghubungi Hendrik. Begitu panggilan antara Hendrik dan asistennya selesai, Hendrik l