Sore hari di hari itu juga, Hendrik langsung bertolak ke lokasi proyek pembangunan. Dengan kecepatan tinggi, ia tidak mempedulikan oceh dan omelan pengendara lain di sepanjang jalan. Hal itu ia lakukan agar bisa sampai di lokasi sebelum para pekerja di proyek belum beranjak pulang. Saat ini Hendrik datang ke sana untuk kedua kalinya, setelah sebelumnya pada saat peletakan batu pertama. Beruntung, sampai sana ia masih menjumpai mereka masih bekerja. Selain itu, ia juga menyaksikan dan mendapati kenyatan yang menyebabkan ia harus ditegur oleh para investor yaitu pemborong dan mandor berleha-leha dengan banyaknya makanan dan minuman ada di dekat mereka. Hal itu berkat Hendrik tidak menghubungi orang lapangan terlebih dahulu ketika akan datang tadi. “O, jadi ini kerjaan kalian? Oh, hebat sekali!” sindir Hendrik dengan setengah berteriak dan disertai tepukan tangan yang begitu nyaring dan memekakkan telinga, sontak mengagetkan mandor dan pemborong tersebut. “P-pak Hendrik! K-kenapa Bap
Seolah Tuhan sudah menyiapkan diri Novi untuk keadaan ke depannya, ia yang tidak pernah bisa jika tidak makan di tempat mewah dan mahal, tiba-tiba saja saat matanya melirik ke tempat makan lesehan di perjalanan pulang menuju rumah keinginan untuk mampir begitu kuat. Novi pun meminta berhenti ojek online-nya, lalu membayarnya. Dengan tanpa malu, risih, ataupun merasa tidak level tidak seperti sebelumnya, ia langsung memesan dan duduk di tempat tersebut. Menunya pun yang murah. Baginya penting kenyang, sebuah pemikiran langka darinya. Selama menunggu pesanannya disiapkan, mata Novi mengedar. Dengan senyum ditarik, ia terpaku dengan kondisi lesehan tersebut. Stigma yang selama ini ada di kepalanya, bahwa lesehan itu jorok, tidak higienis, dan kumuh terbantahkan seketika. “Tidak buruk juga.” batinnya manggut-manggut. Ia terus saja memandangi tempat tersebut, hingga HP-nya tergolek begitu saja di dalam tas tidak disentuh seperti biasanya saat sedang menunggu masakan siap. Tak lama menu
Seminggu telah berlalu. Tepat seperti yang sudah ditekan dan diancamkan kepada pemborong dan mandor oleh Hendrik, semuanya sudah rampung seratus persen. Kini berkat penambahan pekerja dan kerja keras tanpa ugal-ugalan dari mereka selama seminggu, pihak investor sudah bisa meresmikan serta mulai menggunakan proyek tersebut. “Pak Hendrik, proyek sudah selesai. Sekarang kita sudah tidak ada lagi urusan,” lapor pemborong kepada Hendrik pada siang itu. Mereka menghubungi Hendrik agar menjadi saksi atas ucapannya tersebut. Mendengar kabar dan mengetahui bahwa proyek tersebut sudah berhasil ditangani dengan benar sesuai waktu yang ditentukan, Hendrik senang luar biasa. Ia bisa bernapas lega karena bayang-bayang akan tuntutan berupa penjara atau denda berkali lipat jika dalam seminggu tidak selesai, sudah hilang. Kelegaan juga sama dirasakan oleh pemborong dan mandor. Mereka dua juga sudah lepas dari rasa takut dan was-was akan tuntutan yang dilayangkan oleh Hendrik jika sampai tidak berha
Pagi itu, seperti yang sudah disepakati oleh Hendrik dan Syasya lima belas hari sebelumnya ditambah diingatkan kembali oleh Syasya semalam, Hendrik dan Syasya bertemu di sebuah tempat. Agenda pada pagi hari itu dimulai dengan keduanya pergi ke sebuah butik yang cukup mahal. Hendrik yang notabenenya laki-laki perhitungan cukup terkejut melihat harga-harga di sana. Namun, untuk membuktikan dirinya layak mendampingi Syasya sebagai calon suami, ia menekan egonya dalam-dalam agar ikhlas dalam membayarinya. “Edun, mahal amat! Cuma ginian aja belasan juta? Sangat disayangkan sekali. Tapi, apa boleh buat? Semua itu demi dapatkan dia,” batin Hendrik tak karuan saat melihat price tags tersebut. Ia menelan salivanya susah payah. Namun, dengan segera menyembunyikan sikapnya tersebut. Syasya tahu sebenarnya apa yang saat ini ada di benak Hendrik. Dengan mengulas senyum diam-diam, Ia membiarkan Hendrik bergulat dengan pikirannya sendiri, antara mau membayarkan atau tidak. Syasya juga tidak pedul
“Mbak, aku besok mau nikah!” Sabrina melapor pada Sarah sore itu. “Apa! Kamu mau menikah? Dengan siapa? Kenapa kamu tidak pernah cerita denganku kalau sudah mau menikah? Kenapa baru sekarang? Apa kamu sudah tidak menganggapku lagi?” Sarah memberondong Sabrina dengan banyak pertanyaan di tengah keterkejutan dirinya. Ia juga mendadak sedih, juga hatinya mencelos seketika. Jelas saja! Hati siapa yang tidak sakit saat satu-satunya keluarga yang dipunya dan begitu sangat dekat tiba-tiba akan menikah tanpa menceritakan sebelumnya dan sama sekali tidak menjadikan dirinya berpartisipasi dalam pernikahan tersebut. Melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Sarah, Sabrina mendadak tidak enak hati. Ingin rasanya tidak usah memberitahukan kepadanya. Tapi, semuanya sudah terlanjur terucap. “Maaf, Mbak. Bukan tidak ingin memberitahukan semua sebelumnya. Hanya saja, aku merahasiakan ini sebagai sebuah pembalasan. Aku takut jika Mbak Sarah tahu sejak lalu, kemudian rencanaku malah menjadi berantakan
Usai ijab kabul tersebut, acara makan-makan pun terlaksana. Meskipun acaranya di gedung, namun tak banyak yang hadir dan diundang. Mereka tak lebih dari lima puluh orang. Mengadakan pernikahan di gedung adalah sebuah pencitraan diri yang dibangun oleh Sabrina. Juga bentuk menghargai dirinya sendiri sebagai seorang gadis yang dinikahi oleh lelaki beristri pun sudah menikah dua kali pada sebelumnya. Meskipun hanya acara dan tamu dengan jumlah alakadarnya, Sabrina meminta Hendrik untuk menginap di hotel yang bersatu dengan gedung tersebut. Malam pun tiba, dengan segala persiapan dan perasaan penuh gebu yang sudah tidak ia rasakan selama berbulan-bulan karena Novi sudah tidak menarik lagi atau alasan lainnya adalah mendadak tidak mood saat mengingat banyak hal si*al dalam setiap harinya di lokasi kerja. Sadar dan tahu makna tatapan dari Hendrik yang diberikan kepadanya, Sabrina mengajukan beberapa syarat. “Mas, apakah kamu mau kita begituan sekarang?” Sabrina melembutkan suaranya pen
“Mas! Masa kamu diam saja, sih, gak belain aku?” Novi berusaha memelas kepada Hendrik karena wanita yang dihadapinya kali ini sama sekali tidak mempan ia lawan sendirian. “Buat apa aku belain kamu? Toh, kamu sendiri yang mulai duluan,” jawab Hendrik dengan enteng dan acuh tak acuh. “Oh iya, jangan sekali-kali kamu katakan dia pembual. Karena apa yang dikatakan adalah benar, dia istriku. Kuharap kamu menerimanya dengan baik. Satu lagi, aku dan dia adalah pengantin baru, sudah sewajarnya kalau seharian ini kami ada di kamar. “Selama kami di kamar, lantai bekas tumpahan itu harus bersih kinclong seperti sebelumnya dan jangan pernah ganggu kami meskipun hal sekecil sekalipun. Mengerti!” Tanpa mempedulikan bagaimana perasaan dan mimik serta kondisi jantung Novi yang semakin memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun, Sabrina dan Hendrik langsung masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu dengan membanting menimbulkan rasa sakit bertubi-tubi untuk Novi. Hal yang keluar dari mulu
Jam terus berjalan, sekarang sudah waktunya makan siang. Perut lapar membuat kedua manusia sepasang yang sedang malas-malasan itu bangun, ditambah Sabrina mendesak Hendrik untuk bangun agar makan siang bersama secara romantis. Hal itu Sabrina lakukan agar bisa memanas-manasi Novi juga agar Hendrik tidak curiga padanya bahwa pernikahannya kali ini tidak tulus serta ada sesuatu di baliknya. Dengan semangat dan diekori oleh Hendrik, Sabrina membuka pintu kamarnya. Betapa terkejutnya ia, lantai yang tertumpahi kuah bakso beberapa jam lalu sama sekali belum dibersihkan oleh Novi. Brak! Tanpa kesabaran sedikitpun dan langkah tergesa-gesa, Sabrina mendorong daun pintu kamar yang dihuni oleh Novi dengan cara sangat kasar. Membuat Novi seketika terhenyak dari tidur tidak sengajanya. Tanpa keluar sekatapun dan dengan emosi memuncak serta tenaga ekstra, Sabrina menyeret Novi yang masih gelagapan dari tidurnya menuju ke luar kamar.“Bersihkan bekas kuah itu, sekarang!” teriak Sabrina menggel