Jam terus berjalan, sekarang sudah waktunya makan siang. Perut lapar membuat kedua manusia sepasang yang sedang malas-malasan itu bangun, ditambah Sabrina mendesak Hendrik untuk bangun agar makan siang bersama secara romantis. Hal itu Sabrina lakukan agar bisa memanas-manasi Novi juga agar Hendrik tidak curiga padanya bahwa pernikahannya kali ini tidak tulus serta ada sesuatu di baliknya. Dengan semangat dan diekori oleh Hendrik, Sabrina membuka pintu kamarnya. Betapa terkejutnya ia, lantai yang tertumpahi kuah bakso beberapa jam lalu sama sekali belum dibersihkan oleh Novi. Brak! Tanpa kesabaran sedikitpun dan langkah tergesa-gesa, Sabrina mendorong daun pintu kamar yang dihuni oleh Novi dengan cara sangat kasar. Membuat Novi seketika terhenyak dari tidur tidak sengajanya. Tanpa keluar sekatapun dan dengan emosi memuncak serta tenaga ekstra, Sabrina menyeret Novi yang masih gelagapan dari tidurnya menuju ke luar kamar.“Bersihkan bekas kuah itu, sekarang!” teriak Sabrina menggel
Plak! “Dasar perempuan gak guna! Apa yang kamu masak, hah? Masak seperti ini saja gak becus! Atau, kamu mau meracuni saya?” Sabrina murka sekaligus curiga. Rasa tak karuan seperti bau bawang putih juga merah tak diulek, asin, dan rasa tak jelas lainnya yang dirasakan saat mencicipi hasil masakan Novi membuat Sabrina kembali meradang. Bahkan, tak segan-segan ia menghadiahkan sebuah tamparan untuk Novi. Sementara Novi yang mendapatkan tamparan tersebut hanya bisa menunduk seraya memegang pipinya merasakan sakit dan perih. Keberaniannya menghilang seiring kesemena-menaan yang terus dilakukan oleh Sabrina kepadanya. Pranggg!!!! Tak sampai di situ, dengan napas tersengal-sengal akibat emosi yang terus membuncah, Sabrina membuang semua masakan tersebut ke lantai dengan cara sangat begitu kasar. Novi semakin takut. Badannya menggigil tak berani berkutik dan bergerak se-cm pun dari tempat berdirinya. Jangankan bergerak, dirinya saja lemas. Sumber kekuatannya seperti nyaris hilang. Nafs
Memang karma tidaklah ada. Namun, hukum sebab akibat akan selalu ada, dan itu benar terjadi. Bilamana kita berbuat jahat kepada orang lain, kadang yang membalas bukanlah si korban, melainkan orang lain. Begitu juga dengan kehidupan yang sedang Novi jalani hari ini. Novi yang satu tahun lalu menyakiti hati dan kehidupan Sarah dengan cara dinikahi oleh Hendrik dan meminta untuk menceraikan Sarah, mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan lebih dari itu. Tentu saja Tuhan menggerakkan Sabrina untuk membalas kelakuan Novi kala itu. Sabrina adalah sepupu Sarah. Saat tahu siapa orang yang sudah berani menyakiti perasaan dan kehidupannya, sejak saat itu Sabrina secara diam-diam mencari tahu tentang kehidupan para pelaku tersebut, tak lain adalah Hendrik dan Novi. Setelah mendapatkan apa yang Sabrina butuhkan, ia segera melancarkan serangan pembalasan berupa masuk ke kehidupan pernikahan Hendrik dan Novi dengan menjadi istri ketiga Hendrik atau adik madunya Novi. Itulah misi dan alasan meng
Cklek! Begitu pintu berhasil Novi buka, matanya seketika disuguhkan pemandangan yang menyakitkan mata, pikiran, hati dan perasaan. “Sabrinaaaaa! Apa yang kamu lakukan!” teriak Novi begitu kencang dan menggelegar. Novia mengeluarkan semua tenaganya tanpa sedikitpun ada takutnya lagi pada Sabrina demi bisa meluapkan rasa menyesakkan di dada. Sabrina belum jauh dari ruang tamu, hanya bisa memutar matanya jengah. Ia menduga kalau Novi pasti sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di kamarnya Setelah Novi berteriak, tubuhnya langsung luruh ke lantai. Ia lemas tak berdaya saat pintu kemari terbuka lebar memperlihatkan isi koleksi barang-barang bermerk telah lenyap. Jelas saja ia tak berdaya dan terkejut, barang tersebut adalah impian yang sedikit demi sedikit ia berhasil kumpulkan, meskipun harganya tidak sampai puluhan atau ratusan juta. “Ada apa sih teriak-teriak? Gak bisa dengan suara biasa saja? Atau, kamu sudah kangen banget dengan sentuhan penuh kelembutan dari tanganku ini?” Sab
Brak! Begitu berhasil mendorong tubuh Novi dan melemparkan tas jinjingnya, Hendrik dan Sabrina langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secara kasar. “Akhrg, si*al! Aku gak bisa diginiin. Aku mau tinggal di mana?” Diperlakukan seperti orang penuh hina dina membuat Novi tidak terima sekaligus kebingungan akan tinggal di mana. Kembali ke rumah mendiang ibunya juga tidak memungkinkan, ada kakaknya yaitu Santika yang sangat membenci dan tidak akur kepadanya. “Gak bisa, gak bisa! Aku harus bujuk Mas Hrndrik agar bisa tinggal di sini. Ya, aku harus bujuk!” Novi bangkit dan mendekati pintu utama yang sudah terkunci rapat. Dok! Dok! Dok! “Mas Hendrik, buka! Buka, Mas Hendrik!” Novi terus menggedor gedor pintu sembari memanggil nama Hendrik. Hendrik memberikan isyarat pada Sabrina agar tidak terpengaruh. “Huh! Awas kalian!” Novi akhirnya menyerah setelah lelah menggedor dan berteriak sebanyak mungkin, tapi sama sekali tidak digubris oleh sang tuan rumah. Dengan langkah lunglai
Seperti yang dijanjikan olehnya kepada Sabrina semalam tentang pengalihan kepemilikan rumah, pagi hari Hendrik akan menepatinya. Setelah sarapan, ia tidak berangkat ke kantor karena sudah meminta izin untuk mengurus pemindahan tersebut. Tahu bahwa akan segera diurus pagi itu, Sabrina segera menghubungi Farah agar mau mengurusnya. Ia tidak mau jika Hendrik yang mengurusnya, bisa-bisa ia ditipu begitu pikirnya. “Mas, biar aku aja yang ngurus. Tadi aku udah telepon seseorang. Kita di rumah aja, gak usah ke mana-mana sembari menunggu kedatangan orang itu!” Hendrik mengangguk tanpa bertanya teman siapa yang dimaksud oleh Istrinya tersebut. Sedangkan Sabrina sama sekali tidak mengatakan siapa itu Farah, biarlah suaminya itu tidak tahu. Khawatir akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan di waktu ke depannya. Mendapatkan sebuah chat dari teman yang sudah lama tak berkomunikasi ada rasa senang tersendiri di dalam hati Farah. Namun, seketika ia mengernyit saat membaca kalimat “Pengalihan
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r