Cklek! Begitu pintu berhasil Novi buka, matanya seketika disuguhkan pemandangan yang menyakitkan mata, pikiran, hati dan perasaan. “Sabrinaaaaa! Apa yang kamu lakukan!” teriak Novi begitu kencang dan menggelegar. Novia mengeluarkan semua tenaganya tanpa sedikitpun ada takutnya lagi pada Sabrina demi bisa meluapkan rasa menyesakkan di dada. Sabrina belum jauh dari ruang tamu, hanya bisa memutar matanya jengah. Ia menduga kalau Novi pasti sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di kamarnya Setelah Novi berteriak, tubuhnya langsung luruh ke lantai. Ia lemas tak berdaya saat pintu kemari terbuka lebar memperlihatkan isi koleksi barang-barang bermerk telah lenyap. Jelas saja ia tak berdaya dan terkejut, barang tersebut adalah impian yang sedikit demi sedikit ia berhasil kumpulkan, meskipun harganya tidak sampai puluhan atau ratusan juta. “Ada apa sih teriak-teriak? Gak bisa dengan suara biasa saja? Atau, kamu sudah kangen banget dengan sentuhan penuh kelembutan dari tanganku ini?” Sab
Brak! Begitu berhasil mendorong tubuh Novi dan melemparkan tas jinjingnya, Hendrik dan Sabrina langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secara kasar. “Akhrg, si*al! Aku gak bisa diginiin. Aku mau tinggal di mana?” Diperlakukan seperti orang penuh hina dina membuat Novi tidak terima sekaligus kebingungan akan tinggal di mana. Kembali ke rumah mendiang ibunya juga tidak memungkinkan, ada kakaknya yaitu Santika yang sangat membenci dan tidak akur kepadanya. “Gak bisa, gak bisa! Aku harus bujuk Mas Hrndrik agar bisa tinggal di sini. Ya, aku harus bujuk!” Novi bangkit dan mendekati pintu utama yang sudah terkunci rapat. Dok! Dok! Dok! “Mas Hendrik, buka! Buka, Mas Hendrik!” Novi terus menggedor gedor pintu sembari memanggil nama Hendrik. Hendrik memberikan isyarat pada Sabrina agar tidak terpengaruh. “Huh! Awas kalian!” Novi akhirnya menyerah setelah lelah menggedor dan berteriak sebanyak mungkin, tapi sama sekali tidak digubris oleh sang tuan rumah. Dengan langkah lunglai
Seperti yang dijanjikan olehnya kepada Sabrina semalam tentang pengalihan kepemilikan rumah, pagi hari Hendrik akan menepatinya. Setelah sarapan, ia tidak berangkat ke kantor karena sudah meminta izin untuk mengurus pemindahan tersebut. Tahu bahwa akan segera diurus pagi itu, Sabrina segera menghubungi Farah agar mau mengurusnya. Ia tidak mau jika Hendrik yang mengurusnya, bisa-bisa ia ditipu begitu pikirnya. “Mas, biar aku aja yang ngurus. Tadi aku udah telepon seseorang. Kita di rumah aja, gak usah ke mana-mana sembari menunggu kedatangan orang itu!” Hendrik mengangguk tanpa bertanya teman siapa yang dimaksud oleh Istrinya tersebut. Sedangkan Sabrina sama sekali tidak mengatakan siapa itu Farah, biarlah suaminya itu tidak tahu. Khawatir akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan di waktu ke depannya. Mendapatkan sebuah chat dari teman yang sudah lama tak berkomunikasi ada rasa senang tersendiri di dalam hati Farah. Namun, seketika ia mengernyit saat membaca kalimat “Pengalihan
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena