“Mbak, aku besok mau nikah!” Sabrina melapor pada Sarah sore itu. “Apa! Kamu mau menikah? Dengan siapa? Kenapa kamu tidak pernah cerita denganku kalau sudah mau menikah? Kenapa baru sekarang? Apa kamu sudah tidak menganggapku lagi?” Sarah memberondong Sabrina dengan banyak pertanyaan di tengah keterkejutan dirinya. Ia juga mendadak sedih, juga hatinya mencelos seketika. Jelas saja! Hati siapa yang tidak sakit saat satu-satunya keluarga yang dipunya dan begitu sangat dekat tiba-tiba akan menikah tanpa menceritakan sebelumnya dan sama sekali tidak menjadikan dirinya berpartisipasi dalam pernikahan tersebut. Melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Sarah, Sabrina mendadak tidak enak hati. Ingin rasanya tidak usah memberitahukan kepadanya. Tapi, semuanya sudah terlanjur terucap. “Maaf, Mbak. Bukan tidak ingin memberitahukan semua sebelumnya. Hanya saja, aku merahasiakan ini sebagai sebuah pembalasan. Aku takut jika Mbak Sarah tahu sejak lalu, kemudian rencanaku malah menjadi berantakan
Usai ijab kabul tersebut, acara makan-makan pun terlaksana. Meskipun acaranya di gedung, namun tak banyak yang hadir dan diundang. Mereka tak lebih dari lima puluh orang. Mengadakan pernikahan di gedung adalah sebuah pencitraan diri yang dibangun oleh Sabrina. Juga bentuk menghargai dirinya sendiri sebagai seorang gadis yang dinikahi oleh lelaki beristri pun sudah menikah dua kali pada sebelumnya. Meskipun hanya acara dan tamu dengan jumlah alakadarnya, Sabrina meminta Hendrik untuk menginap di hotel yang bersatu dengan gedung tersebut. Malam pun tiba, dengan segala persiapan dan perasaan penuh gebu yang sudah tidak ia rasakan selama berbulan-bulan karena Novi sudah tidak menarik lagi atau alasan lainnya adalah mendadak tidak mood saat mengingat banyak hal si*al dalam setiap harinya di lokasi kerja. Sadar dan tahu makna tatapan dari Hendrik yang diberikan kepadanya, Sabrina mengajukan beberapa syarat. “Mas, apakah kamu mau kita begituan sekarang?” Sabrina melembutkan suaranya pen
“Mas! Masa kamu diam saja, sih, gak belain aku?” Novi berusaha memelas kepada Hendrik karena wanita yang dihadapinya kali ini sama sekali tidak mempan ia lawan sendirian. “Buat apa aku belain kamu? Toh, kamu sendiri yang mulai duluan,” jawab Hendrik dengan enteng dan acuh tak acuh. “Oh iya, jangan sekali-kali kamu katakan dia pembual. Karena apa yang dikatakan adalah benar, dia istriku. Kuharap kamu menerimanya dengan baik. Satu lagi, aku dan dia adalah pengantin baru, sudah sewajarnya kalau seharian ini kami ada di kamar. “Selama kami di kamar, lantai bekas tumpahan itu harus bersih kinclong seperti sebelumnya dan jangan pernah ganggu kami meskipun hal sekecil sekalipun. Mengerti!” Tanpa mempedulikan bagaimana perasaan dan mimik serta kondisi jantung Novi yang semakin memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun, Sabrina dan Hendrik langsung masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu dengan membanting menimbulkan rasa sakit bertubi-tubi untuk Novi. Hal yang keluar dari mulu
Jam terus berjalan, sekarang sudah waktunya makan siang. Perut lapar membuat kedua manusia sepasang yang sedang malas-malasan itu bangun, ditambah Sabrina mendesak Hendrik untuk bangun agar makan siang bersama secara romantis. Hal itu Sabrina lakukan agar bisa memanas-manasi Novi juga agar Hendrik tidak curiga padanya bahwa pernikahannya kali ini tidak tulus serta ada sesuatu di baliknya. Dengan semangat dan diekori oleh Hendrik, Sabrina membuka pintu kamarnya. Betapa terkejutnya ia, lantai yang tertumpahi kuah bakso beberapa jam lalu sama sekali belum dibersihkan oleh Novi. Brak! Tanpa kesabaran sedikitpun dan langkah tergesa-gesa, Sabrina mendorong daun pintu kamar yang dihuni oleh Novi dengan cara sangat kasar. Membuat Novi seketika terhenyak dari tidur tidak sengajanya. Tanpa keluar sekatapun dan dengan emosi memuncak serta tenaga ekstra, Sabrina menyeret Novi yang masih gelagapan dari tidurnya menuju ke luar kamar.“Bersihkan bekas kuah itu, sekarang!” teriak Sabrina menggel
Plak! “Dasar perempuan gak guna! Apa yang kamu masak, hah? Masak seperti ini saja gak becus! Atau, kamu mau meracuni saya?” Sabrina murka sekaligus curiga. Rasa tak karuan seperti bau bawang putih juga merah tak diulek, asin, dan rasa tak jelas lainnya yang dirasakan saat mencicipi hasil masakan Novi membuat Sabrina kembali meradang. Bahkan, tak segan-segan ia menghadiahkan sebuah tamparan untuk Novi. Sementara Novi yang mendapatkan tamparan tersebut hanya bisa menunduk seraya memegang pipinya merasakan sakit dan perih. Keberaniannya menghilang seiring kesemena-menaan yang terus dilakukan oleh Sabrina kepadanya. Pranggg!!!! Tak sampai di situ, dengan napas tersengal-sengal akibat emosi yang terus membuncah, Sabrina membuang semua masakan tersebut ke lantai dengan cara sangat begitu kasar. Novi semakin takut. Badannya menggigil tak berani berkutik dan bergerak se-cm pun dari tempat berdirinya. Jangankan bergerak, dirinya saja lemas. Sumber kekuatannya seperti nyaris hilang. Nafs
Memang karma tidaklah ada. Namun, hukum sebab akibat akan selalu ada, dan itu benar terjadi. Bilamana kita berbuat jahat kepada orang lain, kadang yang membalas bukanlah si korban, melainkan orang lain. Begitu juga dengan kehidupan yang sedang Novi jalani hari ini. Novi yang satu tahun lalu menyakiti hati dan kehidupan Sarah dengan cara dinikahi oleh Hendrik dan meminta untuk menceraikan Sarah, mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan lebih dari itu. Tentu saja Tuhan menggerakkan Sabrina untuk membalas kelakuan Novi kala itu. Sabrina adalah sepupu Sarah. Saat tahu siapa orang yang sudah berani menyakiti perasaan dan kehidupannya, sejak saat itu Sabrina secara diam-diam mencari tahu tentang kehidupan para pelaku tersebut, tak lain adalah Hendrik dan Novi. Setelah mendapatkan apa yang Sabrina butuhkan, ia segera melancarkan serangan pembalasan berupa masuk ke kehidupan pernikahan Hendrik dan Novi dengan menjadi istri ketiga Hendrik atau adik madunya Novi. Itulah misi dan alasan meng
Cklek! Begitu pintu berhasil Novi buka, matanya seketika disuguhkan pemandangan yang menyakitkan mata, pikiran, hati dan perasaan. “Sabrinaaaaa! Apa yang kamu lakukan!” teriak Novi begitu kencang dan menggelegar. Novia mengeluarkan semua tenaganya tanpa sedikitpun ada takutnya lagi pada Sabrina demi bisa meluapkan rasa menyesakkan di dada. Sabrina belum jauh dari ruang tamu, hanya bisa memutar matanya jengah. Ia menduga kalau Novi pasti sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di kamarnya Setelah Novi berteriak, tubuhnya langsung luruh ke lantai. Ia lemas tak berdaya saat pintu kemari terbuka lebar memperlihatkan isi koleksi barang-barang bermerk telah lenyap. Jelas saja ia tak berdaya dan terkejut, barang tersebut adalah impian yang sedikit demi sedikit ia berhasil kumpulkan, meskipun harganya tidak sampai puluhan atau ratusan juta. “Ada apa sih teriak-teriak? Gak bisa dengan suara biasa saja? Atau, kamu sudah kangen banget dengan sentuhan penuh kelembutan dari tanganku ini?” Sab
Brak! Begitu berhasil mendorong tubuh Novi dan melemparkan tas jinjingnya, Hendrik dan Sabrina langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secara kasar. “Akhrg, si*al! Aku gak bisa diginiin. Aku mau tinggal di mana?” Diperlakukan seperti orang penuh hina dina membuat Novi tidak terima sekaligus kebingungan akan tinggal di mana. Kembali ke rumah mendiang ibunya juga tidak memungkinkan, ada kakaknya yaitu Santika yang sangat membenci dan tidak akur kepadanya. “Gak bisa, gak bisa! Aku harus bujuk Mas Hrndrik agar bisa tinggal di sini. Ya, aku harus bujuk!” Novi bangkit dan mendekati pintu utama yang sudah terkunci rapat. Dok! Dok! Dok! “Mas Hendrik, buka! Buka, Mas Hendrik!” Novi terus menggedor gedor pintu sembari memanggil nama Hendrik. Hendrik memberikan isyarat pada Sabrina agar tidak terpengaruh. “Huh! Awas kalian!” Novi akhirnya menyerah setelah lelah menggedor dan berteriak sebanyak mungkin, tapi sama sekali tidak digubris oleh sang tuan rumah. Dengan langkah lunglai