Sudah berbulan-bulan Novi terkurung di rumahnya sendiri selama menjalani hukuman dari masyarakat. Bahkan, saking sudah lamanya, Novi sampai lupa sudah berapa lama dan berapa lama lagi ia harus menjalani hukuman tersebut.Novi jelas saja jenuh dan tidak bebas mau ke mana-mana. Apalagi sikap Hendrik padanya dari hari ke hari membuatnya semakin terhimpit oleh ruang sempit di dalam ruang-ruang rumah yang luas. Selain itu, Novi juga kesal akan hubungan atau status pernikahannya dengan Hendrik. Tak lagi disentuh dengan perasaan, pun komunikasi tak seindah dulu. Dicerai pun tidak, tapi selalu diabaikan. Kejenuhan yang semakin menumpuk dari hari ke hari membuat sisi pemberontak di dalam diri Novi kian mencuat dan pada akhirnya tidak tertahankan lagi. Seperti pada pagi itu. Setelah Hendrik berangkat bekerja dan Novi memasak makanannya sendiri, entah mengapa tiba-tiba ia seperti orang kesetanan yang berteriak-teriak tidak jelas di sela-sela memasaknya. “Akhrg, si*al! Kenapa sih orang-orang
Rani pun sama kagetnya seperti halnya Novi. Ia yang awalnya akan meminta maaf karena sudah menabrak karena terburu-buru, diurungkan begitu tahu siapa yang telah ditabraknya tersebut. Setelah mendapatkan kembali barangnya yang jatuh, tanpa sedikit katapun Rani langsung berdiri dan membalikkan badannya lalu berlari, lebih kencang dari sebelumnya. Hal itu adalah bentuk komitmen darinya yang benar-benar sudah tidak ingin lagi mengenal dan berhubungan dengan Novi. Ditabrak dan ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai maaf oleh orang yang pernah menjadi temannya tersebut membuat perasaan Novi kembali turun alias down kembali. Rasa senang yang ia rasakan saat di awal berada di taman mendadak hilang tak berbekas. Taman yang seharusnya memberikan kenyamanan, seketika berubah menjadi seolah mengerikan bagi Novi. Ingin rasanya Novi menghilang seketika dari taman tersebut. Waktu yang ingin ia habiskan selama berjam-jam di tempat tersebut, langsung ia putuskan saat itu juga dan seperti tidak ing
“Aku maunya nikah di gedung dan mewah, tidak mau kaleng-kaleng apalagi sampai sederhana saja. Mahar pun emas batangan murni 24 karat seberat 50 gram. Aku pikir kamu bisa. Bukan begitu?” Syasya menaikkan alisnya, seketika Hendrik melongo. Tentu saja, baginya apa yang baru saja didengarnya sangat tidak masuk akal dan di luar kemampuannya saat ini. “Gil*! Ini pemerasan namanya,” batin Hendrik dengan memasak wajah polosnya. “Hah? Kamu bercanda ya?” sahut Hendrik cengengesan. “Tentu tidak! Apakah kamu menangkap sebuah candaan di wajahku?” Syasya menatap Hendrik lamat-lamat, pun sebaliknya. Keduanya pun hening seketika. “Itupun jika kamu serius menikahi aku. Jika tidak, tidak masalah! Aku bisa mengembalikan cincin ini,” ancam Syasya dengan serius melepaskan cincin detik itu juga. Glek! “Bagaimana ini? Dapat duit darimana aku?” batin Hendrik. Hendrik yang melihatnya menjadi gugup seketika. Seketika ia juga menjadi bimbang, antara mengiyakan tapi sama sekali belum ada pandangan di mana
Setelah selesai menuliskan pilihan tempat yang akan dikunjungi sebagai tujuan wisata pada hari esok, Sarah mempersilahkan satu per satu dari seluruh karyawannya untuk melakukan pemilihan. Tak butuh waktu lama, para pegawai yang sat set telah menorehkan keputusan tanpa debat dan tidak dapat dibantah karena murni hasil dari pilihan masing-masing. Hasil pilihan akan ke mana pun sudah bisa diketahui oleh semua orang yang berada di tempat tersebut. Mereka yang memiliki pilihan tersendiri dan berbeda dari tempat yang berhasil meraih angka pemilihan tertinggi pun pada akhirnya bisa menerima dengan lapang dada. Mereka tidak bisa melakukan protes karena dipilih oleh orang banyak dan sama sekali tidak ada unsur-unsur curang di dalamnya. “Wah! Ternyata dari kalian memilih pantai rupanya,” ucap Sarah tersenyum sumringah sembari melihat ke arah papan tulis putih yang berisi hasil pemilihan pada bagian pantai dengan hasil cukup tinggi dan signifikan dibanding tempat lainnya. “Berarti ini udah d
“Mohon maaf, Bapak-bapak semua. Untuk saat ini Pak Hendrik tidak ada di tempat. Apakah ada hal yang akan dibahas dan sekiranya saya bisa mewakilinya?” tawar asisten itu kepada para investor masih dengan memasang wajah ramah.“Apakah seperti ini etika dari perusahaan kalian kepada kami para investor? Apakah seperti itu caranya kalian ketika diminta untuk meeting dengan mewakilkan, padahal kami ini langsung datang sendiri? Hah? Cepat suruh ke sini! Enak saja main tidak ada!” gerutu bercampur penekanan dari salah satu investor kepada. “Huh! Manja banget nih orang! Apa susahnya sih diwakilkan? Menambahi kerjaan segala!” batin asisten. Ia tidak menyangka jika mereka sangat kekeh meminta bertemu Hendrik. “Saya mohon maaf atas ketidak hadiran Pak Hendrik, Pak. Mohon ditunggu, saya akan menghubungi Pak Hendrik agar segera kembali ke kantor. Saya pamit mau menelponnya.” Asisten itu pun pamit dan langsung menghubungi Hendrik. Begitu panggilan antara Hendrik dan asistennya selesai, Hendrik l
Sore hari di hari itu juga, Hendrik langsung bertolak ke lokasi proyek pembangunan. Dengan kecepatan tinggi, ia tidak mempedulikan oceh dan omelan pengendara lain di sepanjang jalan. Hal itu ia lakukan agar bisa sampai di lokasi sebelum para pekerja di proyek belum beranjak pulang. Saat ini Hendrik datang ke sana untuk kedua kalinya, setelah sebelumnya pada saat peletakan batu pertama. Beruntung, sampai sana ia masih menjumpai mereka masih bekerja. Selain itu, ia juga menyaksikan dan mendapati kenyatan yang menyebabkan ia harus ditegur oleh para investor yaitu pemborong dan mandor berleha-leha dengan banyaknya makanan dan minuman ada di dekat mereka. Hal itu berkat Hendrik tidak menghubungi orang lapangan terlebih dahulu ketika akan datang tadi. “O, jadi ini kerjaan kalian? Oh, hebat sekali!” sindir Hendrik dengan setengah berteriak dan disertai tepukan tangan yang begitu nyaring dan memekakkan telinga, sontak mengagetkan mandor dan pemborong tersebut. “P-pak Hendrik! K-kenapa Bap
Seolah Tuhan sudah menyiapkan diri Novi untuk keadaan ke depannya, ia yang tidak pernah bisa jika tidak makan di tempat mewah dan mahal, tiba-tiba saja saat matanya melirik ke tempat makan lesehan di perjalanan pulang menuju rumah keinginan untuk mampir begitu kuat. Novi pun meminta berhenti ojek online-nya, lalu membayarnya. Dengan tanpa malu, risih, ataupun merasa tidak level tidak seperti sebelumnya, ia langsung memesan dan duduk di tempat tersebut. Menunya pun yang murah. Baginya penting kenyang, sebuah pemikiran langka darinya. Selama menunggu pesanannya disiapkan, mata Novi mengedar. Dengan senyum ditarik, ia terpaku dengan kondisi lesehan tersebut. Stigma yang selama ini ada di kepalanya, bahwa lesehan itu jorok, tidak higienis, dan kumuh terbantahkan seketika. “Tidak buruk juga.” batinnya manggut-manggut. Ia terus saja memandangi tempat tersebut, hingga HP-nya tergolek begitu saja di dalam tas tidak disentuh seperti biasanya saat sedang menunggu masakan siap. Tak lama menu
Seminggu telah berlalu. Tepat seperti yang sudah ditekan dan diancamkan kepada pemborong dan mandor oleh Hendrik, semuanya sudah rampung seratus persen. Kini berkat penambahan pekerja dan kerja keras tanpa ugal-ugalan dari mereka selama seminggu, pihak investor sudah bisa meresmikan serta mulai menggunakan proyek tersebut. “Pak Hendrik, proyek sudah selesai. Sekarang kita sudah tidak ada lagi urusan,” lapor pemborong kepada Hendrik pada siang itu. Mereka menghubungi Hendrik agar menjadi saksi atas ucapannya tersebut. Mendengar kabar dan mengetahui bahwa proyek tersebut sudah berhasil ditangani dengan benar sesuai waktu yang ditentukan, Hendrik senang luar biasa. Ia bisa bernapas lega karena bayang-bayang akan tuntutan berupa penjara atau denda berkali lipat jika dalam seminggu tidak selesai, sudah hilang. Kelegaan juga sama dirasakan oleh pemborong dan mandor. Mereka dua juga sudah lepas dari rasa takut dan was-was akan tuntutan yang dilayangkan oleh Hendrik jika sampai tidak berha