Hari ini adalah keduanya kalinya Adhyaksa bertemu dengan Sarah bertepatan dengan perayaan ulang tahun pertama Emir di panti asuhan Bunda. Saat pertama kali Sarah memasuki panti di siang hari itu, pandangan Adhyaksa tak berhenti menatapnya. Setiap gerak-gerik Sarah saat menggendong Emir, mengenalkan kepada setiap anak panti, juga menyapa setiap tamu yang datang sama sekali tak luput dari perhatiannya. Entah mengapa, Adhyaksa seketika menjadi begitu candu menatap Sarah dari kejauhan. Ya, tentu ia tidak berani jika menatap dan memperhatikan dari dekat. Jika Bundanya dan lainnya mengetahui hal itu, bisa-bisa heboh dan terjadi perledekan. Tentu Adhyaksa tidak mau itu terjadi. Menit demi menit terus berlalu, acara demi acara juga harus terus berjalan. Hal itu membuat Adhyaksa mau tidak mau harus membaur dengan para tamu dan menyambut mereka. Meskipun tidak lagi bisa memandang Sarah dengan leluasa, ia tetap berusaha untuk mencuri pandang terhadap Sarah. Saat ada kesempatan, Adhyaksa yang
Hari ini sesuai kesepakatan antara Syasya dan dirinya, Hendrik malam nanti akan datang ke rumah orang tua Syasya untuk melamarnya secara resmi. Sehari sebelumnya setelah dirinya memberikan jawaban kepada Hendrik bahwa besok malam harus datang ke rumahnya, detik itu juga Syasya mulai mempersiapkan semuanya agar rencananya kali ini berhasil. Syasya yang saat ini bukanlah dirinya sebenarnya. Ia harus menyiapkan rumah yang akan didatangi oleh Hendrik dan mungkin juga keluarganya. Ia mencari rumah yang jauh dari rumah asli miliknya. Selain rumah, ia juga menyewa orang-orang yang akan menjadi kedua orang tuanya, kakek, nenek, dan para paman dan bibi. Total ada sepuluh orang. Ia mencari yang benar-benar berkompeten dan bukan kaleng-kaleng agar misinya berhasil dan tidak terlihat bukan orang sembarangan di mata Hendrik nantinya. Untuk rumah dan orang yang disewa guna memuluskan rencananya, Syasya harus menggocek saku agak dalam. Meskipun begitu, Syasya rela dan sangat berharap bahwa semua
Seiring waktu, obrolan pun meningkat tajam. Mereka di masing-masing pihak mengobrol puas seperti sudah saling kenal lama, juga seakan-akan lupa bahwa mereka harus berpura-pura. Melihat itu, Syasya nampak gelisah dan ketar-ketir. Ia takut jika salah satu dari mereka keceplosan dan bisa berakibat gagalnya rencana epiknya. Namun, kekhawatiran Syasya tak berlangsung lama karena beruntung obrolan mereka segera mereda pada pukul setengah sebelas malam. “Terima kasih atas sambutan keluarga bapak kepada kami. Kami juga ucapkan terima kasih kepada Nak Syasya yang sudah mau menerima putra kami untuk menjadi suaminya. Semoga silaturahmi malam ini menjadi awal yang baik untuk hubungan keluarga besar kita. Untuk itu, kami pamit undur diri.” Pria yang mengaku orang tua dari Hendrik itu berpamitan. Itu artinya pertemuan itu berakhir saat itu juga. Mereka semua berdiri dan saling bersalaman. Satu per satu dari rombongan Hendrik keluar dari rumah tersebut dan diantarkan oleh Bu Winda dan Pak Raharj
Sepanjang berada di kantor, Hendrik tak henti-hentinya tersenyum. Baginya, calon istrinya kali ini sangat berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya yaitu Sarah dan Novi. Kebahagiaannya kian bertambah lengkap karena untuk pertama kalinya Syasya menghubungi dirinya via chat. “Halo, Mas Hendrik sayang! Lagi kerja ya? Ya udah, deh. Semangat!” Melihat ada chat masuk di HP-nya, Hendrik buru-buru membacanya. Terlebih lagi adalah dari pujaan hatinya. “Halo juga sayangnya aku. Iya, nih, lagi kerja. Tentu semangat, dong. Apalagi ada Ayang yang selalu menjadi penyemangat.” Meskipun hanya sebatas itu saja obrolan mereka di pagi itu, Hendrik cukup senang dan benar-benar menjadi bersemangat. Selain itu, ia mendadak kalem. Terbukti, sepanjang hari sedari pagi hingga sore tiba waktunya pulang, Hendrik sama sekali tidak gampang marah dan membuat masalah tidak seperti sebelum-sebelumnya. Sontak saja perubahan signifikan itu seketika menjadi perhatian seluruh pegawai. Mereka nampak bertanya-tanya ap
“Kamu kenapa membentakku, Mas? Salahku apa? Padahal, aku hanya bertanya dengan siapa kamu berbicara sehingga senyummu tidak pernah hilang. Hanya itu saja. Seharusnya kalau memang tidak mau menjawab, tidak perlu membentak. Sakit hati ini, Mas!” ungkap Novi penuh kesedihan juga kepasrahan. “Halah! Udah deh, diem!” bentak Hendrik sekali lagi sebelum akhirnya pergi ke luar lalu duduk di depan teras. Tes! Tanpa Novi sadari, air matanya kembali menetes. Memang sejak malam tunangan Hendrik itu, perasaan Novi menjadi gampang tersakiti dan berujung menangis. “Jangan-jangan dia selingkuh? Ah, tapi tidak mungkin! Dia tidak mungkin berani menduakanku. Ya, benar! Dia tidak mungkin berani selingkuh!” Novi menduga sekaligus membantahnya dengan sangat yakin. Namun, sekalipun mulutnya berusaha untuk membohongi perasaannya, apa yang ia lihat membuatnya semakin yakin dengan perasaannya sendiri. Ia pun semakin berusaha dengan keras untuk menampik perasaan tersebut meskipun tidak berhasil. Karena nya
Sudah berbulan-bulan Novi terkurung di rumahnya sendiri selama menjalani hukuman dari masyarakat. Bahkan, saking sudah lamanya, Novi sampai lupa sudah berapa lama dan berapa lama lagi ia harus menjalani hukuman tersebut.Novi jelas saja jenuh dan tidak bebas mau ke mana-mana. Apalagi sikap Hendrik padanya dari hari ke hari membuatnya semakin terhimpit oleh ruang sempit di dalam ruang-ruang rumah yang luas. Selain itu, Novi juga kesal akan hubungan atau status pernikahannya dengan Hendrik. Tak lagi disentuh dengan perasaan, pun komunikasi tak seindah dulu. Dicerai pun tidak, tapi selalu diabaikan. Kejenuhan yang semakin menumpuk dari hari ke hari membuat sisi pemberontak di dalam diri Novi kian mencuat dan pada akhirnya tidak tertahankan lagi. Seperti pada pagi itu. Setelah Hendrik berangkat bekerja dan Novi memasak makanannya sendiri, entah mengapa tiba-tiba ia seperti orang kesetanan yang berteriak-teriak tidak jelas di sela-sela memasaknya. “Akhrg, si*al! Kenapa sih orang-orang
Rani pun sama kagetnya seperti halnya Novi. Ia yang awalnya akan meminta maaf karena sudah menabrak karena terburu-buru, diurungkan begitu tahu siapa yang telah ditabraknya tersebut. Setelah mendapatkan kembali barangnya yang jatuh, tanpa sedikit katapun Rani langsung berdiri dan membalikkan badannya lalu berlari, lebih kencang dari sebelumnya. Hal itu adalah bentuk komitmen darinya yang benar-benar sudah tidak ingin lagi mengenal dan berhubungan dengan Novi. Ditabrak dan ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai maaf oleh orang yang pernah menjadi temannya tersebut membuat perasaan Novi kembali turun alias down kembali. Rasa senang yang ia rasakan saat di awal berada di taman mendadak hilang tak berbekas. Taman yang seharusnya memberikan kenyamanan, seketika berubah menjadi seolah mengerikan bagi Novi. Ingin rasanya Novi menghilang seketika dari taman tersebut. Waktu yang ingin ia habiskan selama berjam-jam di tempat tersebut, langsung ia putuskan saat itu juga dan seperti tidak ing
“Aku maunya nikah di gedung dan mewah, tidak mau kaleng-kaleng apalagi sampai sederhana saja. Mahar pun emas batangan murni 24 karat seberat 50 gram. Aku pikir kamu bisa. Bukan begitu?” Syasya menaikkan alisnya, seketika Hendrik melongo. Tentu saja, baginya apa yang baru saja didengarnya sangat tidak masuk akal dan di luar kemampuannya saat ini. “Gil*! Ini pemerasan namanya,” batin Hendrik dengan memasak wajah polosnya. “Hah? Kamu bercanda ya?” sahut Hendrik cengengesan. “Tentu tidak! Apakah kamu menangkap sebuah candaan di wajahku?” Syasya menatap Hendrik lamat-lamat, pun sebaliknya. Keduanya pun hening seketika. “Itupun jika kamu serius menikahi aku. Jika tidak, tidak masalah! Aku bisa mengembalikan cincin ini,” ancam Syasya dengan serius melepaskan cincin detik itu juga. Glek! “Bagaimana ini? Dapat duit darimana aku?” batin Hendrik. Hendrik yang melihatnya menjadi gugup seketika. Seketika ia juga menjadi bimbang, antara mengiyakan tapi sama sekali belum ada pandangan di mana
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua