Sarah memasuki rumah dengan pemandangan tak biasa. Barang-barang berupa bertumpuk-tumpuk kain saling terbungkus plastik per helainya. Ia juga mendapati ada seorang gadis tengah duduk di samping Sabrina. “Ini siapa, Na?” Rasa penasaran dalam dirinya tak dapat dibendung lagi. “Oh, ini Icha, Mbak. Dia anak di ayam. Aku minta untuk bantu dan nginep malam ini,” jelas Sabrina dengan menoleh sekilas pada Sarah. Tanpa dikomando, Icha berdiri dan menyalami Sarah. “Salam kenal ya, Cha?” Icha hanya mengangguk lalu tersenyum. “Ya udah, semangat ya kalian!” Sarah meninggalkan mereka berdua dan pergi ke kamarnya. Sepeninggalnya Sarah, Sabrina dan Icha kembali melanjutkan aktivitasnya yaitu memasukkan semua foto ke dalam toko online milik Sabrina di berbagai aplikasi. Tak lupa, ia juga membuat halaman khusus di media sosial. Di sana akan dipasang foto juga video. Malam terus berlanjut dan telah tiba di pagi hari. Mereka semua kembali melanjutkan aktivitas. Namun, ada yang berbeda kali ini. Sabr
Sore ini Sabrina sudah pulang ke rumah, setelah sedari siang mencari penyewaan ruko untuk tempat dirinya berjualan baju. Ia pulang dengan membawa hasil yang memuaskan. Ia mendapatkan ruko dengan harga murah tapi di tempat yang cukup strategis. Sang empunya sangat membutuhkan uang untuk berobat anaknya. Terletak tidak jauh dari tempat usahanya Sarah. Sehingga untuk hari-hari ke depannya bisa membawa serta Sarah ikut dengan mobilnya karena searah. Rencananya, nanti setelah jam setengah sembilan malam ia akan memindahkan barang-barang yang ada di rumah ke ruko barunya menggunakan mobil box. Sabrina melakukan hal itu agar hari besok tinggal menata dalam etalase. Selain mendapatkan ruko dengan murah dan cepat, Sabrina juga sudah mendapatkan pegawai baru yang akan membantunya mengurus toko kainnya tersebut menemani Icha. Ya, saat ini Sabrina langsung memutuskan untuk mempekerjakan dua orang sekaligus karena permintaan dari pelanggan sedang tinggi-tingginya. ****Tepat saat Sarah muncul
“Kamu itu lupa atau gimana? Aku kan sedang dihukum tidak boleh ke mana-mana. Mana mungkin bisa aku belanja?” protes Novi mengejar Hendrik yang akan meninggalkan dirinya di ruang tamu. “Itu alasan kamu saja! Dasar pemalas ya tetap aja pemalas,” jawab Hendrik enteng, membuat Novi semakin kepanasan juga jengkel. Novi juga tidak menyangka jika suaminya akan berkata seperti itu padahal dirinya sedang mengalami suatu hal yang tidak bisa dibantah yaitu mendapatkan hukuman dari warga. Kemarahannya Novi kian memuncak. Hal itu membuatnya tidak sadar dan tidak dapat menguasai dirinya sendiri. Tangannya reflek menj*amb*k kuat-kuat rambut lebat Hendrik dari belakang. “Akhrgh! Sakit, bod*h!” umpat Hendrik kesakitan, tangannya langsung bergerak cepat untuk melepaskan jambakan dirambutnya itu. Lalu, Hendrik berbalik badan dan menatap tajam Novi. “Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan kelakuanmu tadi.” Novi tidak peduli akan tatapan tajam itu dan memilih melenggang pergi membiarkan Hendrik yang m
Libur lebaran akan segera tiba. Adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh para pekerja di mana pun berada dan apapun perusahaan atau instansinya, termasuk perusahaan tempat Hendrik bekerja. Mereka menunggu hari libur dan yang lebih utama adalah tunjangan hari rayanya. Namun, hingga kini saat hari libur tinggal hitungan jam belum juga ada kabar seberapa besar jumlah THR yang akan mereka para pekerja terima. Maklum saja, setiap pemimpin beda aturan dan kebijakan, terlebih lagi seorang pemimpin seperti Hendrik yang semena-mena. “Pak, THR gimana?” Seorang staff memberanikan diri bertanya pada Hendrik siang hari itu setelah mengetuk pintu dan sapa juga basa-basi tanpa adanya balasan dari Hendrik karena sedang fokus mengerjakan file di akhir menuju detik-detik hari libur. “Maksudmu apa bertanya seperti itu? Apa itu THR?” jawabnya sinis dan ogah-ogahan seraya kembali melanjutkan ketikannya di komputernya. “THR ya THR, Pak! Masa THR aja tanya?” Staff itu mulai kesal. “Heh! Kamu pikir
Sejak kejadian Hendrik dipermalukan oleh Novi pasal pencurian takjil waktu itu hingga sekarang, komunikasi antar keduanya sama sekali tidak baik. Bahkan, semakin memburuk saja dari hari ke hari. Seperti pada Minggu hari ini, Hendrik sejak pagi hari sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Ia memasak dan membuat sarapan untuknya tanpa menyisakan sedikitpun untuk Novi. Ya, keduanya memang tidak pernah puasa sejak awal.“Halah! Puasa-puasaan segala. Buat apaan? Yang ada laper, lemes. Udah gitu haus mana kerjaan banyak lagi,” ujarnya kala itu di dalam hati saat mengetahui bahwa sudah memasuki bulan Ramadhan dan mendapati semua karyawan menunaikan ibadah tersebut. “Puasa? Hadeh! Ngapain, sih? Membuat orang laper saja. Tapi, kok orang-orang bisa betah gitu, ya?” gumam Novi penasaran setelah melihat video di toktok yang menampilkan sederet artis ibukota sedang mengadakan acara buka bersama. Ia tak jauh berbeda dengan Hendrik. Selain pandangan-pandangan negatif tentang puasa yang keduanya kemu
Lebaran semakin dekat saja. Sebagai orang Indonesia pada umumnya, sudah lumrah jika menjelang lebaran adalah dilakukannya berburu baju baru juga menghias rumah, serta memperbanyak kudapan dan sajian. Hal itu juga dilakukan oleh Adi. Setelah hari ini adalah hari terakhir bekerja, ia berniat hari esok akan membawa anak-anak untuk berbelanja baju baru untuk mereka. Tepat pukul sembilan pagi pada keesokan harinya, Adi benar-benar melaksanakan apa telah menjadi niatnya tersebut. Setelah semalaman ia mencari tahu dan menemukan di manakah ada tempat perbelanjaan paling lengkap dengan tujuan agar sekali datang langsung dapat banyak dan komplit, Adi langsung memboyong anak-anak ke tempat toko Tingali. Meskipun toko kali ini tidaklah luas seperti mall-mall besar, sehingga menyebabkan anak-anak tidak leluasa, Adi tetap saja datang dan sama sekali tidak menyurutkan niatnya ke toko tersebut. Satu-satunya tujuan Adi mengajak ke toko tersebut adalah untuk mengajarkan kesabaran di dalam diri ana
Hari ini adalah hari terakhir bekerja di seluruh perusahaan di bawah naungan milik Oma Santi, termasuk perusahaan cabang yang dipegang oleh Hendrik. Hari ini juga adalah batas terakhir perusahaan memberikan THR kepada karyawannya. Seperti biasa pada tahun-tahun sebelumnya, para pegawai sangat senang sekali jika hari itu adalah hari terakhir mereka bekerja hingga beberapa hari ke depan. Apalagi mereka akan mendapatkan THR, rasa senang bertambah-tambah. Namun, kegelisahan segera menyerang pada setiap diri pegawai yang ada. Pasalnya, sudah jam satu siang belum ada satupun notifikasi di gawai mereka yang menandakan adanya bukti transfer pembayaran THR oleh pihak perusahaan. “Kok, jam segini belum ada notif, ya? Biasanya, lho, pagi jam sembilan udah ada.” keluh salah satu pegawai yang gelisah karena sudah sedari tadi bolak-balik melihat notifikasi di HP-nya. “Iya. Jangan-jangan bener kata rumor, kalau tidak ada THR kali ini?” timpal lainnya. “Jangan atuh! Aku butuh banget, tahu!” sang
Saat para pegawai dan Hendrik sedang ribut dan terjadi cek-cok, salah satu pegawai yang kenal dengan direktur utama yaitu Pak Adam, segera keluar dari rombongan itu dan menghubungi orang nomor satu di perusahaan pusat tersebut. Begitu mendapatkan kabar adanya kericuhan dan kekacauan di kantor cabang yang disebabkan oleh tingkah laku Hendrik sebab tidak mau bertanggung jawab tentang pembayaran THR, Pak Adam langsung meluncur tanpa menunggu apapun detik itu juga. “Kurang ajar! Benar-benar ya si bocah itu! Tidak ada kapok-kapoknya berbuat salah.” Pak Adam tangannya mengepal kuat-kuat melihat pemandangan di depan matanya. Dan benar saja, tanpa adanya kebohongan sedikitpun apa yang dikatakan oleh karyawan tersebut padanya. Begitu tiba di depan ruangan Hendrik, mata kepala Pak Adam benar-benar disuguhi oleh pemandangan yaitu adegan Hendrik digiring menuju kantor polisi. “Tunggu!” teriaknya lantang, mencegah para pegawai untuk tidak bertindak lebih. Mereka pun menurut, ketika tahu bahwa