Kebaikan demi kebaikan dan keberkahan dari bulan Ramadhan kian terasa dirasakan oleh Sarah. Nikmat menjalankan ibadah begitu mendamaikan dan menyehatkan jiwa raganya. Meskipun bangun tengah malam untuk menyiapkan sahur dan solat malam, sama sekali tidak membuatnya lelah ataupun mengantuk di siang harinya, ia justru sangat menikmatinya. Keberkahan itu tidak hanya pada ketenangan dan kedamaian pada jiwanya saja, tapi juga apa yang ada dalam diri Emir. Bocah itu kian hari kian menggemaskan bagi siapa saja yang memandangnya. Tentu hal itu menjadi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi Sarah sebagai orang tua tunggal untuknya. Selain itu, pendapatan bersih dari semua usaha yang digeluti oleh Sarah juga semakin naik. Hal itu tidak serta merta membuat Sarah menjadi pelit, serakah akan apa yang dimilikinya, juga lupa bersyukur. Justru sebaliknya, Sarah semakin dermawan pada setiap yang membutuhkan. Termasuk pada sore nanti, Sarah dan pegawainya akan berbagi di pinggir jalan juga ke pan
“Assalamu'alaikum!” Seorang laki-laki tampan nan mapan memasuki sebuah rumah dengan menggunakan setelan jas setelah seharian lelah berkutat dalam urusan duniawi saat orang-orang sedang menikmati hidangan berat berbuka. Ia langsung mampir dari kantornya ke rumah itu untuk menjenguk ibunya setelah beberapa hari tak bersua. “Wa'alaykumussalaam. Kamu datang, Nak? Maa syaa Allah, gimana kabarnya?” Dengan langkah tergopoh-gopoh melihat siapa yang datang, sang ibu yaitu Bunda Sumirah mendekati sang putra lalu memeluk erat guna melepas rindu di dalam dadanya. “Alhamdulillah, kabar baik, Bund! Bunda sendiri gimana kabarnya? Oh iya, anak-anak di mana?” tanyanya usai pelukan itu terurai, seraya melongok ke ruang lainnya. Ia adalah putra satu-satunya dari Bunda Sumirah yang sudah mapan dan mempunyai rumah sendiri agak jauh dari panti milik Bunda. “Alhamdulillah, Bunda juga baik. Anak-anak lagi makan, tadi ada yang kirim menu buka. Kamu udah makan, Nak?” Setelah menutup pintu, Bunda membawa
“Lepasin geh, kalian ini! Cuma makanan sepele aja sampe diributin, udah kek apa aja. Noh, k*rupt*r m*ling uang rakyat aja gak pernah sampe diginiin. Kalian itu kej*am. Ngerti, gak!” umpat Novi sembari menghentakkan kedua tangannya dari cekalan para pengejar. “Diam! Sekali lagi kamu buka mulut, kusampal baru tahu rasa!” anc*am salah satu pencekal, berhasil membuat Novi tak berkutik. Selain karena sudah biasa berkumpul di depan rumah pada sore hari untuk saling bercengkrama dengan para tetangga dan menunggu waktu berbuka, warga masih saja anteng di pinggir jalan juga untuk melihat siapa pelakunya sebenarnya yang sudah membuat onar. “Oalah, Novi lagi? Ya, ampun! Kok, gak bosen ya melakukan hal buruk?” ucap warga bernama Bu Nuh—istri Pak Nuh—memulai pembicaraan saat Novi sudah kelihatan dieret-eret dari arah sana. “Hooh! Gilani banget gak sih? Kalau aku jadi Pak RT, pasti udah kuusir tuh perempuan gak guna!” timpal warga lainnya bernama Bu Bur, istri Pak Sobur.“Kayaknya sih kali ini
Tak butuh lama, rombongan warga yang membawa Novi diikuti oleh Hendrik telah tiba di rumah Pak RT. Seperti dugaan Pak RT, bahwa akan ada banyak warga yang ikut, maka ia menyiapkan tempat duduk berupa karpet lantai di ruang tamu. Di rumah tersebut juga sudah hadir para saksi di TKP yang tidak ikut mengejar Novi. Mereka dihadirkan oleh Pak RT agar masalah semakin jelas. Mengingat waktu yang semakin maju menuju berbuka, Pak RT langsung saja memulai sidang. Sementara itu Hendrik, terus saja mengekor hingga ikut masuk ke dalam rumah. Meskipun di dalam benaknya masih banyak tanya tentang ‘Ada apa, kenapa bisa terjadi, benarkah, separah inikah hingga harus disidang dan dihadiri banyak orang?’, ia hanya diam saja. Sesekali wajahnya menampakkan keterkejutan, marah, malu dan kecewa. “Langsung saja. Kita bersama tahu dengan banyak saksi, bahwa Novi sudah melakukan hal buruk yaitu mengambil, menyerobot dan mencuri yang bukan haknya. Kira-kira, dari Novi sendiri, mau hukuman seperti apa?” Pak
“Kamu itu memalukan! Akhrgh, si*al ngerti gak punya istri sepertimu!” umpat Hendrik seraya memulai mengendarai mobilnya meninggalkan kediaman Pak RT.“Memangnya kamu saja yang merasakan kesi*lan setelah kita menikah? Aku juga!” sahut Novi tak kalah emosi. “Diam! Lama-lama kamu itu cerewet!” Hendrik mendelik tajam pada Novi. Lalu, keduanya saling diam. Tepat saat adzan maghrib berkumandang di mana-mana, menyatakan bahwa puasa sudah harus dibatalkan, Hendrik tiba di rumahnya. Dengan cepat dan tergesa-gesa, Hendrik mengeluarkan Novi secara paksa dari dalam mobil lalu menye*r*tnya tak memberikan ampun dan kesempatan pada Novi untuk berjalan normal hingga sampai di pintu masuk. “Mas, lepasin! Sakit,” rintihnya menahan kesakitan akibat pelintiran Hendrik di tangannya. “Diam! Itulah akibatnya kamu telah memalukan aku di depan warga,” hardiknya sembari tangan kiri memutar anak kunci. “Kamu gak bisa seenaknya begini, dong, Mas! Aku ini istrimu!” lirihnya. Kemarahan dan teriakan demi teri
“Kalau bisa dua, kenapa harus hanya satu?” sela Syasya dengan menaik turunkan alisnya dan seringai serta tangan melipat di dada, membuat Hendrik melongo karena terkejut mendengarnya. “M-maksudmu, kamu tidak apa-apa dan setuju kita menjalin hubungan?” Hendrik memastikan, matanya mengerjap. Syasya hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Sudah, ya!” Syasya berdiri dan meninggalkan Hendrik yang masih tak percaya. “Oh iya, makanannya aku tidak butuh! Bawa pulang saja,” ucapnya sebelum benar-benar pergi dari restoran. Hendrik yang sedang senang, tidak sadar hanya mengikuti arah ke mana berjalannya Syasya tanpa berniat mencegah. “Apa katanya tadi? Ah, Hendrik! Pesonamu tidak pernah main-main!” soraknya disertai jingkrak-jingkrak, membuat mata pengunjung menatap padanya dengan heran. *****Hari ini puasa ketiga. Tepat pada jam sepuluh pagi, Sabrina sudah bersantai di rumah. Seluruh urusan dan pesanan ayam di kandang sudah selesai dikirimkan ke pemesan dan restoran-restoran termasu
Tepat saat adzan Dhuhur, Sarah telah kembali dari kafe beserta Emir dan Yuni. Mereka berangkat dan pulang menggunakan taksi online karena Sabrina hari ini tidak bisa mengantarkan seperti biasanya. “Assalamu'alaikum!” Sarah dan Yuni memasuki rumah tanpa ada yang menyahut. Mereka berdua saling berpandang, seolah satu pemikiran “Ke mana Sabrina? Mobilnya ada, kok!” “Oalah Na, Na! Kamu itu, ada orang salam kok gak nyahut? Padahal melek,” tegur Sarah saat sudah tiba di ruang tengah dan mendapati Sabrina dalam keadaan tengah berbunga-bunga. “Eh, Mbak Sarah! Ngagetin aja. Kenapa?” Sabrina hanya melihat ke arah Sarah sekilas, setelah itu fokusnya kembali pada HP. Hal itu sangat membuat Sarah penuh tanda tanya dan penasaran, apalagi sejak kedatangannya raut Sabrina sana sekali tidak berubah. “Ada apa ini, Na? Kok kamu tampak bahagia sekali? Kamu gak mau cerita sama aku?” cecar Sarah tak mau ketinggalan informasi dari Sabrina. Ia langsung duduk di samping Sabrina seraya memberi ASI pada Emi
Klunting! Klunting!Klunting! ‘Siapa sih yang chat sebanyak itu?’ batin Sabrina seraya merogoh HP dalam saku. Ia yang hendak masuk ke dalam rumah pun mengurungkan niatnya dan memilih membuka chat terlebih dahulu. “Wah! Alhamdulillah,” Senyum sumringah tak henti-hentinya menghiasi wajah ayu Sabrina, saat beruntun chat masuk. “Mbak, bajunya udah nyampe. Cepet, bagus banget lagi. Aku suka!” Chat pertama yang ia buka, ada berderet emot tersenyum dengan mata berbentuk hati. “Wah, cepet banget! Udah nyampe aja, Mbak. Puas pokoknya aku.” Chat kedua disertai foto pengirim menggunakan baju yang diterimanya. “Ya ampun, bagus banget! Kenapa aku baru nemuin barang sebagus itu sekarang? Mana cepet banget lagi pengirimannya.”“Gak sia-sia aku merengek minta duit Pak Su, barangnya bagus banget!” Dan masih banyak lagi chat yang masuk bernada sama, ucapan senang karena baju mereka telah sampai dalam keadaan cepat padahal baru dipesan kemarin siang dan benar-benar bagus seperti kata pelanggan se