Setelah melaksanakan sholat dhuhur, mereka kembali ke ruang utama. Setibanya di sana, Sarah dan Sabrina masih melihat jika Farah dan Reza semakin menunjukkan kedekatannya dari jarak jauh."Wah, mereka semakin dekat ya, Mbak?" komentar Sabrina dengan mata tak lepas dari Farah dan Reza. "Udah, biarin saja. Makanya kamu buruan cari pendamping, biar bisa kek gitu!" Bukannya ikut apa maunya Sabrina, Sarah justru meledaknya. "Kok larinya ke situ? Gak seru Mbak Sarah, ih!" Sabrina pura-pura memajukan bibirnya."Haha! Gitu aja ngambek." Sarah hanya menanggapi dengan tertawa saja. ****Hari telah berganti hari sejak grand opening saat itu. Hari ini tepat pada hari Minggu, Sarah sengaja meliburkan para pegawainya di outlet. Ia melakukan itu setelah semalam sebelumnya merenungkan dan merundingkan lama-lama akan keputusannya tersebut bersama Sarah. Meskipun hari Minggu adalah hari yang sangat menguntungkan untuk berniaga karena super ramai dibanding hari lainnya dan ditentang oleh Sabrina se
"Mas Hendrik gak mau kasih nafkah untuk anakmu itu sampai kapan pun, kenapa kamu masih di sini? Sana pergi!" usir Novi dengan garangnya. Ia ikut-ikutan melakukan itu karena minggu paginya terganggu, juga agar suaminya tidak goyah akan permintaan Sarah. "Oh iya, kenapa baru sekarang mintanya? Kamu udah gak kuat ngidupin Emir sehingga ngemis-ngemis sama suami tercintaku, atau jangan—""Jadi, kamu benar-benar tidak ingin memberi nafkah untuk Emir, Drik?" tanyanya sekali lagi memastikan tanpa mempedulikan ocehan dan tuduhan dari Novi sebelum benar-benar pergi dari rumah yang selalu memberikan rasa sakit tersebut. "Tentu! Apakah dari tadi kamu tidak mendengar?" jelasnya dengan begitu dingin, pongah, dan tak punya hati. "Oke! Jika itu keputusan dan kemauanmu, maka jangan pernah cari aku atau pun Emir suatu saat nanti. Karena sampai kapan pun aku akan memisahkan kamu dan Emir. Dia sudahlah bukan anakmu lagi sejak delapan bulan lalu hingga sampai kapan pun. Camkan!"Tak ingin mendengar apa
Apa yang terjadi di dunia ini tidak ada namanya kebetulan. Semuanya, mulai dari urusan manusia satu sampai manusia lainnya, dari urusan terkecil sampai terbesar, dari kebahagiaan sampai kesedihan di setiap manusianya sudah diatur oleh Sang Maha Pemilik Kehidupan tanpa sedikit keliru apalagi tertukar. Pengaturan mutlak oleh Tuhan atas manusia juga berlaku pada rombongan Sarah dan Farah. Antar keduanya baik dari rombongan Sarah maupun Farah sama sekali tidak ada yang menyangka jika akan bertemu di mall."Ck, kita ketemu lagi sama mereka, Mbak. Yuk, samperin!" Sabrina menoleh pada Sarah dengan binarnya memandang kedua orang di depan. Sabrina pun bersemangat untuk meledek Farah dan Reza yang sedang memilah dan memilih baju. Sarah hanya ikut saja tanpa membuka suara, namun wajahnya tersirat rasa senang. "Dunia sempit sekali sih, Mbak? Gak di sana, gak di sini ketemu kalian lagi! Bosen, tahu!" Bukannya mengucap salam saat bertemu dengan sesamanya, Sabrina malah setengah berteriak untuk b
Segala sesuatu jika dikerjakan secara ramai bersama orang-orang yang kita sayangi dan satu rasa juga pemikiran tidak akan memberikan rasa lelah sedikitpun, karena rasa senang dan kebahagiaan mendominasi perasaan jiwa sehingga bisa menutupi bahkan menghilangkan rasa lelah di raga. Itulah yang dirasakan oleh rombongan Farah dan Sarah. Meskipun mereka telah berkeliling-keliling dari satu outlet ke outlet lainnya dengan jarak tidaklah dekat dan masing-masing tangan tidak ada yang kosong, tidak ada satupun orang merasa kelelahan. Setelah hari semakin meninggi menuju senja juga telah puas menghabiskan banyak waktu bersama, baik rombongan Sarah maupun Farah masing-masing saling berpamitan. "Udah mau sore aja, kita udahan dulu ya? Besok kapan-kapan kita ketemu lagi," ucap Sabrina sambil melihat jam di pergelangan, lalu bersiap-siap untuk berdiri. "Eh, iya. Ya udah pulang, yuk! Kita sambung kapan-kapan lagi." Farah setuju, ia pun segera memasukkan barang-barang ke dalam tas yang sempat ia
"Ambil saja, Mbak! Kesempatan tidak pernah datang dua kali. Jikalau ada yang sama menghampiri, dapat dipastikan itu berbeda. Mungkin saja lebih baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan malah lebih buruk dari ini. Tenang saja, payung hukum akan jelas berada di belakang Mbak Sarah jika dikemudian hari merugikan. Mungkin ini adalah pengkabulan dari doa-doa yang Mbak Sarah panjatkan juga rezeki untuk Emir ke depannya. Percayalah, In Syaa Allah ini yang terbaik." Panjang lebar Farah menyakinkan dan menyuruh Sarah untuk menyetujui kesepakatan bisnis yang disodorkan oleh Pak Budi dan Bu Siti. Sarah terlihat berpikir sejenak, lalu menghela nafas panjang sebelum memutuskan sebuah keputusan yang akan diambilnya untuk kehidupannya dan Emir ke depan. "Bismillaah, aku setuju dan siap untuk menjalankannya. Seperti yang sudah saya katakan tadi sama Bapak dan Ibu yaitu silakan dicoba dan diicip terlebih dahulu seperti apa hasil masakan saya sebelum sah dan resmi bekerja sama, nah makanan apa yang i
Setelah terjadinya kesepakatan kerja sama antara pihak Sarah dan Pak Budi yang disahkan di mata hukum oleh Farah beberapa hari lalu, aktivitas di outlet kembali normal seperti biasa. Bahkan sejak hari itu, dari hari ke hari semakin banyak saja pesanan, baik secara offline maupun online. Sembari menunggu renovasi toko menjadi cafe dan resto, hari ini semua peralatan memasak dikirim oleh Pak Budi dan diturunkan ke rumah Sabrina. Pak Budi melakukan itu semua karena dalam beberapa hari ke depan EO miliknya full penyewa. Tentu hal itu Sarah akan sibuk ke depannya. Selain keadaan outlet yang semakin sibuk, kesibukan juga mulai terjadi di rumah Sabrina. Para ibu-ibu profesional yang sudah terbiasa memasak enak di sebuah hajatan direkrut oleh Sarah untuk menjadi timnya dalam menyajikan sajian lezat di EO milik Pak Budi. Meskipun mempunyai kesibukan tersendiri di rumah, hal itu tidak berarti membuat Sarah melupakan kewajibannya untuk mengontrol jalannya produksi di outlet. Setelah memast
Didesak secara terus menerus dan tidak punya pilihan lain, membuat Hendrik pada akhirnya pasrah. “Oke, oke, cukup! Beri saya waktu untuk membayarnya!” Hendrik mengangkat tangannya. “Jangan lama-lama! Kami beri waktu dua hari dari hari ini. Jangan sampai kabur!” seru investor yang tampak senior. Setelah berbicara, ia langsung berbalik badan dan memberikan kode kepada semuanya agar segera meninggalkan kantor Hendrik. Sepeninggal delapan orang tersebut, Hendrik menyugar rambutnya dengan gusar. Ia kemudian mondar-mandir , tampak gelisah memikirkan dari mana uang untuk mengembalikan modal para investor sedangkan perusahaannya juga merasakan kerugian yang tidak sedikit. Selain itu, seluruh modal yang diterimanya dari kedelepan investor tersebut sudah digelontorkan dalam proyeknya kali ini. Waktu yang diberikan oleh investor tidaklah banyak. Mau tidak mau, Hendrik harus memutar otak dan memeras keringat agar bisa melunasi sebelum waktunya.Tak ingin waktu terbuang sia-sia, ia pun segera
Kenyataan demi kenyataan sudah di depan mata, membuat Hendrik harus memutuskan dengan cepat langkah yang akan diambil agar masalah segera selesai. “Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus membalas perbuatan mereka yang telah membuat kita rugi. Cepat cari tahu siapa saja mereka dan jebloskan ke penjara!” titahnya pada staff yang hadir. Dikuasai amarah membuatnya langsung meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban staff dan membiarkan rapat tanpa adanya penutup. Bukannya memberikan solusi , Hendrik malah memberikan beban pada bawahannya. Tentu itu sangat membuat para staff merasakan terbebani. Sepeninggal Hendrik, para staff saling berbisik. Mereka menyayangkan sikap Hendrik yang semena-mena pada bawahannya, tak sedikitpun memberikan waktu untuk para staff dalam memberikan sanggahan atas perintah tersebut. “Bagaimana ini? Mencari tahu para penjahat jelas butuh waktu banyak. Belum lagi kita harus ngerjain kerjaan yang kita tinggal untuk cari tahu mereka ditambah kerjaan baru, sudah p