Kenyataan demi kenyataan sudah di depan mata, membuat Hendrik harus memutuskan dengan cepat langkah yang akan diambil agar masalah segera selesai. “Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus membalas perbuatan mereka yang telah membuat kita rugi. Cepat cari tahu siapa saja mereka dan jebloskan ke penjara!” titahnya pada staff yang hadir. Dikuasai amarah membuatnya langsung meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban staff dan membiarkan rapat tanpa adanya penutup. Bukannya memberikan solusi , Hendrik malah memberikan beban pada bawahannya. Tentu itu sangat membuat para staff merasakan terbebani. Sepeninggal Hendrik, para staff saling berbisik. Mereka menyayangkan sikap Hendrik yang semena-mena pada bawahannya, tak sedikitpun memberikan waktu untuk para staff dalam memberikan sanggahan atas perintah tersebut. “Bagaimana ini? Mencari tahu para penjahat jelas butuh waktu banyak. Belum lagi kita harus ngerjain kerjaan yang kita tinggal untuk cari tahu mereka ditambah kerjaan baru, sudah p
Saat pria tersebut sedang tenang dalam misinya menjalankan kejahatannya yang entah keberapa, seorang pengawal masuk tanpa diminta juga tanpa permisi dan tergesa-gesa. “Gawat, Bos!” teriak pengawal mengagetkan pria tersebut. “Heh, kamu! Sudah berapa kali dibilang kalau masuk ke ruangan saya ketuk pintunya dulu. Apakah kamu sudah pikun?” hardik pria tersebut tidak terima karena konsentrasinya terganggu. “Maaf, Bos! Tapi, di luar ada polisi yang mencarimu, Bos!” Pengawal menyampaikannya dengan gugup. “Polisi? Kenapa mencariku?” Pria tersebut berusaha setenang mungkin agar menyembunyikan ketakutan dan kegelisahannya. Namun, belum sempat pria dan pengawalnya keluar dari ruangan tersebut, polisi sudah lebih dulu menemukan mereka setelah sebelumnya berpencar ke seluruh ruangan guna mencari pria itu. “Angkat tangan, jangan bergerak!” Ada banyak polisi yang masuk menggeruduk, membuat pria itu semakin kalut. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti instruksi tersebut.
Saat Polisi mengatakan bahwa harta hasil curian yang dilakukan oleh Edo telah disita sebagai barang bukti dan tidak bisa diambil, Hendrik sama sekali tidak menyerah dan kehilangan akal serta pasrah begitu saja. “Oh, begitu ya, Pak? Baiklah!” timpalnya dengan remeh. Hendrik sama sekali tidak peduli atas jawaban yang baru saja ia dengar. Namun, karena ada hartanya di dalamnya, ia tak lintas akan merelakan. Untuk itu, ia menghubungi salah satu investor yang dua hari lalu ikut menuntutnya. Melihat Hendrik yang sama sekali tak beranjak dari hadapannya dalam keadaaan mengotak-atik HP, sang Polisi pun seperti curiga. “Pak, silakan keluar jika sudah tidak ada urusan lagi!” Polisi menunjukkan jalan keluar kepada Hendrik menggunakan tangan terbuka ke arah pintu. “Bentar, numpang duduk!” jawabnya santai dengan HP berada di telinga. “Halo! Kalian mau uang kalian kembali tidak? Bawa teman-teman kalian dan masing-masing dari kalian siapkan pengacara. Datang saja ke kantor polisi XX!” titahnya
Hingga malam tiba, Hendrik masih saja mengitari komplek juga keluar masuk gang guna mencari keberadaan Cantika. Saat bertanya kepada warga, ia sudah lebih sopan tidak seperti sebelumnya. Ketika bertemu orang di jalan, ia berhenti lalu keluar dari mobilnya sembari menunjukkan foto Cantika yang ia dapatkan dari foto profil aplikasi chat, persis seperti aslinya. Hendrik berpura-pura untuk sopan karena tidak ingin waktunya terbuang sia-sia jika sampai ada yang marah seperti sore tadi. “Permisi, Bu! Numpang tanya, ibu kenal sama orang ini tidak?” Sang ibu hanya menggelengkan kepala setelah beberapa detik mengamati foto di HP yang disodorkan oleh Hendrik. “Yakin ibu gak kenal?” Sang ibu mengangguk pelan. “Kalau rumahnya kira-kira tahu tidak, Bu?” Hendrik masih berusaha untuk terlihat sabar ketika jawabannya sudah pasti bisa ditebak, “Tidak tahu!”“Ya sudah, terima kasih, Bu!” Ini adalah kesepuluh kalinya ia tidak mendapatkan jawaban sesuai yang diinginkannya. Merasa sia-sia usahany
Di saat Sarah sedang memandangi para tamu yang terus berdatangan di seluruh penjuru, Sabrina datang untuk memberikan selamat juga menenangkannya agar ketika potong pita dan memberikan sambutan sama sekali tidak gugup. “Gemeteran ya, Mbak?” Sarah mengangguk dengan sorot mata berkaca-kaca, sementara tangannya tiba-tiba menjadi dingin. Siapapun orangnya jika dalam menghadapi keadaan di luar dugaan dapat dipastikan akan mengalami hal yang sama. Hal itu yang kemudian dimaklumi oleh Sabrina dan menjadi alasannya memberikan ketenangan dan semangat untuk Sarah. “Hal itu wajar, Mbak! Sekarang baca bismillah, berdzikir dan tarik napas dalam-dalam lalu buang pelan-pelan. Ulangi terus menerus, In syaa Allah ntar menjadi rileks dengan sendirinya.” Setelah kalimat demi kalimat Sabrina selesai terucap, Sarah langsung mempraktekkannya. Benar saja setelah mencoba beberapa kali, ia berhasil menenangkan dan mengembalikan detak jantungnya menjadi normal. “Gimana, udah oke?” Sabrina yang sejak kedat
Keesokan harinya, kemeriahan, kelancaran serta mengharu birunya peresmian dan pembukaan Podho Moro yang disiarkan secara langsung secara khidmat menjadi perbincangan di mana-mana termasuk kantor Hendrik dan salon tempat Novi menghabiskan waktu di hari Senin pagi. “Eh, kemarin lihat live toktoknya kafe baru, gak?” Salah satu staff membuka obrolan saat Hendrik melewati gerombolan itu di pagi hari sebelum jam masuk. “Kafe yang ada di Jalan Ayam Kate, kan? Aku lihatnya di Instakilo,” sahut lainnya. “Oh, kalau aku lihatnya di YT-nya EO Podho Tentrem. Uh, bagus banget tempatnya!” ungkap girang lainnya. “Wah, berarti kemarin itu ada di mana-mana ya siaran langsungnya? Keren tahu!” Obrolan demi obrolan sejenis terus berlanjut hingga membuat Hendrik menggelengkan kepalanya karena bosan yang dibahas hanya itu-itu saja. Ia pun meninggalkan mereka yang masih saja asyik. Pada awalnya, ia tidak berniat menguping. Namun, karena pembahasan adalah kafe-restoran baru dan sebagai penikmat yang ser
Jarak antara tempat utama dengan dirinya dijemput oleh manager tidaklah jauh, bahkan sangat dekat. Namun, Reno merasa jaraknya sangat jauh dan langkahnya melambat. Meskipun ini bukanlah pertama kalinya menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, tapi Reno merasakan perasaan seperti baru pertama kali melakukannya. Jantungnya bertalu-talu, badannya tak bertenaga sehingga berjalan seperti terseok-seok, keringat dingin mengucur perlahan membasahi tubuhnya, lidahnya kelu, tangannya bergemetar memegangi tangan Farah. “Sudah sampai?” tanyanya gugup saat manager yang berada di hadapannya sudah berhenti melangkah, dijawab dengan anggukan saja. Selanjutnya adalah urusan sang bos, manager pun undur diri.Sepeninggalnya manager, Reno mengedar pandangnya ke sekeliling. Takjub atas dekorasi dan penataan yang tersaji. Ia sangat puas sekali dengan kinerja para pegawai yang ia pasrahkan untuk mengerjakannya. Dengan melihat sekeliling, perlahan ia sudah bisa menguasai dirinya sendiri. Perlahan jantung
Tak selamanya hidup selalu berpatokan dengan satu rencana saja. Kadang, ada rencana baru mengorbankan rencana sebelumnya agar apa yang diinginkannya berjalan dan berhasil. Seperti yang dilakukan oleh Reno saat ini. Pada sebelumnya ia berniat memberikan kejutan untuk keluarga Farah dengan datang memberikan kejutan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Akan tetapi, setelah berfikir-fikir cara itu sangat tidak etis sekali apalagi ini berkenaan dengan niat dan nama baik keluarganya. Maka, juga harus dilakukan dengan cara baik-baik. Pagi ini, kediaman mewah Rudi Wijaya, ayah dari Farah Wijaya sangat ramai oleh lalu lalang orang-orang yang sedang kerepotan dan sibuk mendekor dan menata tampilan di dalam rumah itu karena nanti malam akan diadakan lamaran resmi dari Reno setelah dua hari lalu ia menyampaikan niat kedatangan keluarganya pada Farah. “Yang, besok lusa ba'da maghrib in syaa Allaah keluargaku akan datang ke rumah ayah. Tolong sampaikan padanya, ya? Atau apa perlu aku yang ngomon