Saat pria tersebut sedang tenang dalam misinya menjalankan kejahatannya yang entah keberapa, seorang pengawal masuk tanpa diminta juga tanpa permisi dan tergesa-gesa. “Gawat, Bos!” teriak pengawal mengagetkan pria tersebut. “Heh, kamu! Sudah berapa kali dibilang kalau masuk ke ruangan saya ketuk pintunya dulu. Apakah kamu sudah pikun?” hardik pria tersebut tidak terima karena konsentrasinya terganggu. “Maaf, Bos! Tapi, di luar ada polisi yang mencarimu, Bos!” Pengawal menyampaikannya dengan gugup. “Polisi? Kenapa mencariku?” Pria tersebut berusaha setenang mungkin agar menyembunyikan ketakutan dan kegelisahannya. Namun, belum sempat pria dan pengawalnya keluar dari ruangan tersebut, polisi sudah lebih dulu menemukan mereka setelah sebelumnya berpencar ke seluruh ruangan guna mencari pria itu. “Angkat tangan, jangan bergerak!” Ada banyak polisi yang masuk menggeruduk, membuat pria itu semakin kalut. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti instruksi tersebut.
Saat Polisi mengatakan bahwa harta hasil curian yang dilakukan oleh Edo telah disita sebagai barang bukti dan tidak bisa diambil, Hendrik sama sekali tidak menyerah dan kehilangan akal serta pasrah begitu saja. “Oh, begitu ya, Pak? Baiklah!” timpalnya dengan remeh. Hendrik sama sekali tidak peduli atas jawaban yang baru saja ia dengar. Namun, karena ada hartanya di dalamnya, ia tak lintas akan merelakan. Untuk itu, ia menghubungi salah satu investor yang dua hari lalu ikut menuntutnya. Melihat Hendrik yang sama sekali tak beranjak dari hadapannya dalam keadaaan mengotak-atik HP, sang Polisi pun seperti curiga. “Pak, silakan keluar jika sudah tidak ada urusan lagi!” Polisi menunjukkan jalan keluar kepada Hendrik menggunakan tangan terbuka ke arah pintu. “Bentar, numpang duduk!” jawabnya santai dengan HP berada di telinga. “Halo! Kalian mau uang kalian kembali tidak? Bawa teman-teman kalian dan masing-masing dari kalian siapkan pengacara. Datang saja ke kantor polisi XX!” titahnya
Hingga malam tiba, Hendrik masih saja mengitari komplek juga keluar masuk gang guna mencari keberadaan Cantika. Saat bertanya kepada warga, ia sudah lebih sopan tidak seperti sebelumnya. Ketika bertemu orang di jalan, ia berhenti lalu keluar dari mobilnya sembari menunjukkan foto Cantika yang ia dapatkan dari foto profil aplikasi chat, persis seperti aslinya. Hendrik berpura-pura untuk sopan karena tidak ingin waktunya terbuang sia-sia jika sampai ada yang marah seperti sore tadi. “Permisi, Bu! Numpang tanya, ibu kenal sama orang ini tidak?” Sang ibu hanya menggelengkan kepala setelah beberapa detik mengamati foto di HP yang disodorkan oleh Hendrik. “Yakin ibu gak kenal?” Sang ibu mengangguk pelan. “Kalau rumahnya kira-kira tahu tidak, Bu?” Hendrik masih berusaha untuk terlihat sabar ketika jawabannya sudah pasti bisa ditebak, “Tidak tahu!”“Ya sudah, terima kasih, Bu!” Ini adalah kesepuluh kalinya ia tidak mendapatkan jawaban sesuai yang diinginkannya. Merasa sia-sia usahany
Di saat Sarah sedang memandangi para tamu yang terus berdatangan di seluruh penjuru, Sabrina datang untuk memberikan selamat juga menenangkannya agar ketika potong pita dan memberikan sambutan sama sekali tidak gugup. “Gemeteran ya, Mbak?” Sarah mengangguk dengan sorot mata berkaca-kaca, sementara tangannya tiba-tiba menjadi dingin. Siapapun orangnya jika dalam menghadapi keadaan di luar dugaan dapat dipastikan akan mengalami hal yang sama. Hal itu yang kemudian dimaklumi oleh Sabrina dan menjadi alasannya memberikan ketenangan dan semangat untuk Sarah. “Hal itu wajar, Mbak! Sekarang baca bismillah, berdzikir dan tarik napas dalam-dalam lalu buang pelan-pelan. Ulangi terus menerus, In syaa Allah ntar menjadi rileks dengan sendirinya.” Setelah kalimat demi kalimat Sabrina selesai terucap, Sarah langsung mempraktekkannya. Benar saja setelah mencoba beberapa kali, ia berhasil menenangkan dan mengembalikan detak jantungnya menjadi normal. “Gimana, udah oke?” Sabrina yang sejak kedat
Keesokan harinya, kemeriahan, kelancaran serta mengharu birunya peresmian dan pembukaan Podho Moro yang disiarkan secara langsung secara khidmat menjadi perbincangan di mana-mana termasuk kantor Hendrik dan salon tempat Novi menghabiskan waktu di hari Senin pagi. “Eh, kemarin lihat live toktoknya kafe baru, gak?” Salah satu staff membuka obrolan saat Hendrik melewati gerombolan itu di pagi hari sebelum jam masuk. “Kafe yang ada di Jalan Ayam Kate, kan? Aku lihatnya di Instakilo,” sahut lainnya. “Oh, kalau aku lihatnya di YT-nya EO Podho Tentrem. Uh, bagus banget tempatnya!” ungkap girang lainnya. “Wah, berarti kemarin itu ada di mana-mana ya siaran langsungnya? Keren tahu!” Obrolan demi obrolan sejenis terus berlanjut hingga membuat Hendrik menggelengkan kepalanya karena bosan yang dibahas hanya itu-itu saja. Ia pun meninggalkan mereka yang masih saja asyik. Pada awalnya, ia tidak berniat menguping. Namun, karena pembahasan adalah kafe-restoran baru dan sebagai penikmat yang ser
Jarak antara tempat utama dengan dirinya dijemput oleh manager tidaklah jauh, bahkan sangat dekat. Namun, Reno merasa jaraknya sangat jauh dan langkahnya melambat. Meskipun ini bukanlah pertama kalinya menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, tapi Reno merasakan perasaan seperti baru pertama kali melakukannya. Jantungnya bertalu-talu, badannya tak bertenaga sehingga berjalan seperti terseok-seok, keringat dingin mengucur perlahan membasahi tubuhnya, lidahnya kelu, tangannya bergemetar memegangi tangan Farah. “Sudah sampai?” tanyanya gugup saat manager yang berada di hadapannya sudah berhenti melangkah, dijawab dengan anggukan saja. Selanjutnya adalah urusan sang bos, manager pun undur diri.Sepeninggalnya manager, Reno mengedar pandangnya ke sekeliling. Takjub atas dekorasi dan penataan yang tersaji. Ia sangat puas sekali dengan kinerja para pegawai yang ia pasrahkan untuk mengerjakannya. Dengan melihat sekeliling, perlahan ia sudah bisa menguasai dirinya sendiri. Perlahan jantung
Tak selamanya hidup selalu berpatokan dengan satu rencana saja. Kadang, ada rencana baru mengorbankan rencana sebelumnya agar apa yang diinginkannya berjalan dan berhasil. Seperti yang dilakukan oleh Reno saat ini. Pada sebelumnya ia berniat memberikan kejutan untuk keluarga Farah dengan datang memberikan kejutan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Akan tetapi, setelah berfikir-fikir cara itu sangat tidak etis sekali apalagi ini berkenaan dengan niat dan nama baik keluarganya. Maka, juga harus dilakukan dengan cara baik-baik. Pagi ini, kediaman mewah Rudi Wijaya, ayah dari Farah Wijaya sangat ramai oleh lalu lalang orang-orang yang sedang kerepotan dan sibuk mendekor dan menata tampilan di dalam rumah itu karena nanti malam akan diadakan lamaran resmi dari Reno setelah dua hari lalu ia menyampaikan niat kedatangan keluarganya pada Farah. “Yang, besok lusa ba'da maghrib in syaa Allaah keluargaku akan datang ke rumah ayah. Tolong sampaikan padanya, ya? Atau apa perlu aku yang ngomon
Farah sama sekali tidak gentar ataupun sakit hati juga kecewa saat satu per satu pengakuan yang keluar dari mulut perempuan tak diketahui identitasnya itu. Sementara itu para tamu terdengar saling berbisik-bisik. Mereka ada yang langsung percaya dengan ucapan perempuan tersebut. Namun, tak sedikit yang meragukan juga menyangkal pengakuan-pengakuan itu. Terutama yang benar-benar mengenal siapa itu Reno sebenarnya. “Siapa sebenarnya kamu? Mengapa kamu datang ke tempat yang akan menjadi musuhmu? Hah, jawab! Kamu tidak tuli, kan?” Tak disangka oleh perempuan itu bahkan oleh semua yang hadir, Farah dengan beraninya mendekati lalu mencengkram dagunya, kuat-kuat sampai meringis kesakitan. “A-aku….” Perempuan itu tergagap, kedua tangannya berusaha melepaskan cengkraman Farah. “Aku apa? Ke mana kesongongan dan keberanianmu tadi? Kenapa sekarang malah hilang nyali?” Perempuan itu semakin terpojok. Posisinya saat ini benar-benar kalah telak, satu lawan puluhan orang. Apalagi orang yang ak
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua