Farah sama sekali tidak gentar ataupun sakit hati juga kecewa saat satu per satu pengakuan yang keluar dari mulut perempuan tak diketahui identitasnya itu. Sementara itu para tamu terdengar saling berbisik-bisik. Mereka ada yang langsung percaya dengan ucapan perempuan tersebut. Namun, tak sedikit yang meragukan juga menyangkal pengakuan-pengakuan itu. Terutama yang benar-benar mengenal siapa itu Reno sebenarnya. “Siapa sebenarnya kamu? Mengapa kamu datang ke tempat yang akan menjadi musuhmu? Hah, jawab! Kamu tidak tuli, kan?” Tak disangka oleh perempuan itu bahkan oleh semua yang hadir, Farah dengan beraninya mendekati lalu mencengkram dagunya, kuat-kuat sampai meringis kesakitan. “A-aku….” Perempuan itu tergagap, kedua tangannya berusaha melepaskan cengkraman Farah. “Aku apa? Ke mana kesongongan dan keberanianmu tadi? Kenapa sekarang malah hilang nyali?” Perempuan itu semakin terpojok. Posisinya saat ini benar-benar kalah telak, satu lawan puluhan orang. Apalagi orang yang ak
Tak ada sesuatu apapun di dunia yang tercipta tanpa adanya manfaat. Tak hanya tentang bendawi atau ragawi yang bernyawa, pun keadaan juga memiliki manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya di sekitarnya jika kita sadar dan menelisiknya dalam-dalam. Seperti sejak hadirnya dua lini usaha milik Sarah, tak ayal sangat bermanfaat bagi pelaku usaha di sekitarnya. Tak hanya yang sudah mempunyai usaha sebelum usaha Sarah hadir, tapi juga orang-orang yang diberdayakan setelah hadirnya Ada Kue Enak ditambah Podho Moro. Manfaat itu juga tidak hanya dirasakan di lingkungan tempat usaha Sarah , tapi juga Sabrina. Ia yang mempunyai salah satu usaha yaitu peternakan ayam petelur dan pedaging menjadi bertambah laris dan maju sejak usaha Sarah ramai. Hal itu tentu berdampak pada keberdayaan di masyarakat sekitar, yaitu direkrutnya banyak pekerja dari warga sekitar. Sebelum usaha kue Sarah maju, Sabrina hanya menghabiskan beberapa ratus kilogram telur saja yang berhasil didistribusikan ke pasar, toko
Beberapa hari ini Novi terlihat tenang, diam tanpa melakukan sedikitpun kesalahan atau pun kemaksiatan. Selama itu, ia sama sekali tidak bepergian ke mana pun. Hendrik yang sebelum-sebelumnya selalu lelah terlalu banyak pekerjaan sehingga tidak peduli akan tingkah laku Novi menghilang saat dirinya pulang kerja, menjadi keheranan.“Kenapa Novi di rumah saja?” Ah, biarkan! Justru itu bagus, saat aku butuh tidak kelabakan.” Senyumnya penuh nafsu. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Novi pun sendiri tidak tahu akan hal itu. Namun, yang pasti ia mempunyai firasat buruk sehingga untuk melakukan aktivitas apapun itu menjadi sangat malas, bahkan untuk sekedar memegang HP. Novi hanya duduk diam, melamun, pandangannya kosong seakan ada yang hilang, sementara itu jantung dan perasaannya di dalam dadanya sana tidak karuan. Di tempat berbeda dan waktu yang sama, kondisi kesehatan Miranti—ibu Novi—semakin hari semakin menurun. Ia terkulai lemas tak berdaya di ranjangnya. Badannya kurus kering, waj
Delapan bulan telah berlalu. Waktu berjalan dengan begitu sangat cepatnya. Banyak hal terjadi dalam kehidupan Sintia selama itu, bersama ibu yang tidak pernah bisa sembuh. Ia yang tidak mau ada campur tangan Novi, ada rasa tidak suka padanya hingga kini karena perlakuan ibunya berbeda antara dirinya dan Novi. Selama itu, ia dan Bi Mun sudah mengoptimalkan untuk membawa Miranti berobat ke mana-mana. Bukan hanya berobat medis saja, tapi juga ke paranormal. Namun, dari semuanya itu sama sekali tidak bisa membawanya pada kesembuhan. Dari sekian bulan berjalan membersamai ibunya yang tak kunjung sembuh, Sintia akhirnya tiba pada titik jemu. Ia sudah lelah jika harus ke mana-mana lagi untuk mencari obat. Pada titik inilah, ia sudah pasrah apapun keadaannya. Jika ditanya kenapa Sintia tidak membawa Miranti sang ibu ke RSJ? Jawabannya hanya satu, ia masih ingin merawatnya di rumah. Dengan begitu, ia jelas tahu apapun yang terjadi pada ibunya dan bisa memantausetiap saat ketika sedang di r
“Ibu!” Novi langsung menubruk ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang dengan disertai tangis, kesedihan,kecemasan sekaligus kekecewaan begitu tiba di rumah itu setelah menempuh perjalanan hampir satu jam di kondisi jalan ramai dan padat merayap karena jam pulang kerja. “Ibu…, kenapa bisa begini?” tanyanya membelai tangan ibunya saat ia sudah lebih tenang. Novi nelangsa melihat perubahan raga ibunya yang sangat signifikan dibandingkan sepuluh bulan lalu saat ia meninggalkan dirinya untuk ikut Hendrik. Kesedihan Novi semakin menjadi saat Miranti sama sekali tidak terpengaruh dengan sentuhan, dan elusan-elusan yang ia berikan. Ia menjadi tersedu-sedu, mengira jika ibunya benar-benar sudah tidak bisa lagi diajaknya bicara. “Ibu, bangun, Bu! Aku Novi, Bu. Apa gak kangen sama aku, Bu?” tanyanya di sela tangisnya sembari menggoyang-goyang tubuh Ibunya. Jelas saja Miranti tidak akan meresponnya, sebab pengaruh obat tidur yang saat ini sedang melakukan tugasnya.Tangis Novi terdengar
Benar saja, Hendrik pagi harinya pergi ke rumah mertuanya menggunakan taksi online sebab mobilnya sudah berada di sana sejak kemarin sore di bawa oleh Novi. “Sakit tinggal sakit, kenapa pakai menyusahkan sih? Kalau gak ada mobil gini aku pakai apa coba? Naik taksi? Ish, mana level?” gerutunya pagi-pagi seraya bergidik. “Sial! Ngapain sih pake bawa mobilku segala!” umpatnya kesal sembari mengotak-atik HP. Meskipun sempat mencela salah satu moda transportasi umum itu karena dalam pikirannya pasti dipakai oleh banyak orang dan ia tidak bisa mentolerir itu, Hendrik tetap saja memakainya. ****Mendengar ada mobil yang berhenti di depan rumah ibunya, Novi mengintip dari balik jendela. Melihat siapa yang datang, ia pun membuka pintu dan menyambutnya. Namun, bukannya keramah tamahan yang ia dapatkan. “Ada apa panggil aku suruh ke sini?” Tanpa basa-basi sedikitpun atau menanyakan keadaan Miranti, Hendrik langsung menodong pertanyaan pada Novi dengan marah-marah. “Ibu sakit karena kamu,
Pagi hari telah datang, menggantikan malam yang berlalu. Semangat baru pun berkobar dalam diri setiap insan untuk menjalankan aktivitasnya masing-masing, baik baru akan dilaksanakan ataupun yang tinggal melanjutkan. Wajah mereka pun berseri-seri karena sudah diistirahatkan semalaman, meskipun hari itu beban pekerjaan berat menanti. Hal serupa juga dialami oleh mereka, keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai, terutama Farah dan Reno. Meskipun hari itu tergolong santai, tapi wajah keduanya penuh ketegangan dalam menghadapi prosesi ijab kabul beberapa jam ke depan. Padahal, jika berbicara ketegangan dalam menghadapi situasi apapun adalah sudah seperti makanan sehari-hari bagi kedua manusia yang akan dipersatukan secara sakral dalam ikatan pernikahan sah itu. Kendati demikian, tetap saja mereka gugup, grogi, cemas, bahkan takut salah ucap. Tentu, karena hal itu sama sekali belum pernah mereka alami. Sehingga membuat salah satunya, yaitu Reno harus berlatih mengucapkan kabul.“
Suasana meriah, mewah dan elegan di acara resepsi pernikahan Reno dan Farah sungguh meliputi setiap sudut pandang dan dengar bagi siapa saja yang hadir malam itu. Sarah dan Sabrina yang duduk berdampingan tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur pada Allah atas sahabatnya, Farah di ujung sana karena sudah berbahagia dengan pasangannya dalam ikatan suci. “Kok aku jadi pengen nyusul, ya?” gumam Sabrina yang masih bisa didengar oleh Sarah meskipun musik mengalun keras menyebabkan orang mengobrol harus berbisik-bisik. Sarah hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat Sabrina yang mengawang-awang dengan wajah berseri-seri. “Makanya nikah, dong! Masa belum belum ada calonnya?” ledek Sarah tepat di telinga Sabrina. “Ada, sih. Tenang, ada saatnya aku akan nikah, Mbak!” sahutnya menyeringai, seperti sedang merencanakan hal jah*t.Mendengar hal itu, Sarah mengernyitkan dahinya. Pasalnya selama ia tinggal bersama Sabrina, tak sekalipun melihat membawa atau mengenalkan laki-lak