Tak ada sesuatu apapun di dunia yang tercipta tanpa adanya manfaat. Tak hanya tentang bendawi atau ragawi yang bernyawa, pun keadaan juga memiliki manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya di sekitarnya jika kita sadar dan menelisiknya dalam-dalam. Seperti sejak hadirnya dua lini usaha milik Sarah, tak ayal sangat bermanfaat bagi pelaku usaha di sekitarnya. Tak hanya yang sudah mempunyai usaha sebelum usaha Sarah hadir, tapi juga orang-orang yang diberdayakan setelah hadirnya Ada Kue Enak ditambah Podho Moro. Manfaat itu juga tidak hanya dirasakan di lingkungan tempat usaha Sarah , tapi juga Sabrina. Ia yang mempunyai salah satu usaha yaitu peternakan ayam petelur dan pedaging menjadi bertambah laris dan maju sejak usaha Sarah ramai. Hal itu tentu berdampak pada keberdayaan di masyarakat sekitar, yaitu direkrutnya banyak pekerja dari warga sekitar. Sebelum usaha kue Sarah maju, Sabrina hanya menghabiskan beberapa ratus kilogram telur saja yang berhasil didistribusikan ke pasar, toko
Beberapa hari ini Novi terlihat tenang, diam tanpa melakukan sedikitpun kesalahan atau pun kemaksiatan. Selama itu, ia sama sekali tidak bepergian ke mana pun. Hendrik yang sebelum-sebelumnya selalu lelah terlalu banyak pekerjaan sehingga tidak peduli akan tingkah laku Novi menghilang saat dirinya pulang kerja, menjadi keheranan.“Kenapa Novi di rumah saja?” Ah, biarkan! Justru itu bagus, saat aku butuh tidak kelabakan.” Senyumnya penuh nafsu. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Novi pun sendiri tidak tahu akan hal itu. Namun, yang pasti ia mempunyai firasat buruk sehingga untuk melakukan aktivitas apapun itu menjadi sangat malas, bahkan untuk sekedar memegang HP. Novi hanya duduk diam, melamun, pandangannya kosong seakan ada yang hilang, sementara itu jantung dan perasaannya di dalam dadanya sana tidak karuan. Di tempat berbeda dan waktu yang sama, kondisi kesehatan Miranti—ibu Novi—semakin hari semakin menurun. Ia terkulai lemas tak berdaya di ranjangnya. Badannya kurus kering, waj
Delapan bulan telah berlalu. Waktu berjalan dengan begitu sangat cepatnya. Banyak hal terjadi dalam kehidupan Sintia selama itu, bersama ibu yang tidak pernah bisa sembuh. Ia yang tidak mau ada campur tangan Novi, ada rasa tidak suka padanya hingga kini karena perlakuan ibunya berbeda antara dirinya dan Novi. Selama itu, ia dan Bi Mun sudah mengoptimalkan untuk membawa Miranti berobat ke mana-mana. Bukan hanya berobat medis saja, tapi juga ke paranormal. Namun, dari semuanya itu sama sekali tidak bisa membawanya pada kesembuhan. Dari sekian bulan berjalan membersamai ibunya yang tak kunjung sembuh, Sintia akhirnya tiba pada titik jemu. Ia sudah lelah jika harus ke mana-mana lagi untuk mencari obat. Pada titik inilah, ia sudah pasrah apapun keadaannya. Jika ditanya kenapa Sintia tidak membawa Miranti sang ibu ke RSJ? Jawabannya hanya satu, ia masih ingin merawatnya di rumah. Dengan begitu, ia jelas tahu apapun yang terjadi pada ibunya dan bisa memantausetiap saat ketika sedang di r
“Ibu!” Novi langsung menubruk ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang dengan disertai tangis, kesedihan,kecemasan sekaligus kekecewaan begitu tiba di rumah itu setelah menempuh perjalanan hampir satu jam di kondisi jalan ramai dan padat merayap karena jam pulang kerja. “Ibu…, kenapa bisa begini?” tanyanya membelai tangan ibunya saat ia sudah lebih tenang. Novi nelangsa melihat perubahan raga ibunya yang sangat signifikan dibandingkan sepuluh bulan lalu saat ia meninggalkan dirinya untuk ikut Hendrik. Kesedihan Novi semakin menjadi saat Miranti sama sekali tidak terpengaruh dengan sentuhan, dan elusan-elusan yang ia berikan. Ia menjadi tersedu-sedu, mengira jika ibunya benar-benar sudah tidak bisa lagi diajaknya bicara. “Ibu, bangun, Bu! Aku Novi, Bu. Apa gak kangen sama aku, Bu?” tanyanya di sela tangisnya sembari menggoyang-goyang tubuh Ibunya. Jelas saja Miranti tidak akan meresponnya, sebab pengaruh obat tidur yang saat ini sedang melakukan tugasnya.Tangis Novi terdengar
Benar saja, Hendrik pagi harinya pergi ke rumah mertuanya menggunakan taksi online sebab mobilnya sudah berada di sana sejak kemarin sore di bawa oleh Novi. “Sakit tinggal sakit, kenapa pakai menyusahkan sih? Kalau gak ada mobil gini aku pakai apa coba? Naik taksi? Ish, mana level?” gerutunya pagi-pagi seraya bergidik. “Sial! Ngapain sih pake bawa mobilku segala!” umpatnya kesal sembari mengotak-atik HP. Meskipun sempat mencela salah satu moda transportasi umum itu karena dalam pikirannya pasti dipakai oleh banyak orang dan ia tidak bisa mentolerir itu, Hendrik tetap saja memakainya. ****Mendengar ada mobil yang berhenti di depan rumah ibunya, Novi mengintip dari balik jendela. Melihat siapa yang datang, ia pun membuka pintu dan menyambutnya. Namun, bukannya keramah tamahan yang ia dapatkan. “Ada apa panggil aku suruh ke sini?” Tanpa basa-basi sedikitpun atau menanyakan keadaan Miranti, Hendrik langsung menodong pertanyaan pada Novi dengan marah-marah. “Ibu sakit karena kamu,
Pagi hari telah datang, menggantikan malam yang berlalu. Semangat baru pun berkobar dalam diri setiap insan untuk menjalankan aktivitasnya masing-masing, baik baru akan dilaksanakan ataupun yang tinggal melanjutkan. Wajah mereka pun berseri-seri karena sudah diistirahatkan semalaman, meskipun hari itu beban pekerjaan berat menanti. Hal serupa juga dialami oleh mereka, keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai, terutama Farah dan Reno. Meskipun hari itu tergolong santai, tapi wajah keduanya penuh ketegangan dalam menghadapi prosesi ijab kabul beberapa jam ke depan. Padahal, jika berbicara ketegangan dalam menghadapi situasi apapun adalah sudah seperti makanan sehari-hari bagi kedua manusia yang akan dipersatukan secara sakral dalam ikatan pernikahan sah itu. Kendati demikian, tetap saja mereka gugup, grogi, cemas, bahkan takut salah ucap. Tentu, karena hal itu sama sekali belum pernah mereka alami. Sehingga membuat salah satunya, yaitu Reno harus berlatih mengucapkan kabul.“
Suasana meriah, mewah dan elegan di acara resepsi pernikahan Reno dan Farah sungguh meliputi setiap sudut pandang dan dengar bagi siapa saja yang hadir malam itu. Sarah dan Sabrina yang duduk berdampingan tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur pada Allah atas sahabatnya, Farah di ujung sana karena sudah berbahagia dengan pasangannya dalam ikatan suci. “Kok aku jadi pengen nyusul, ya?” gumam Sabrina yang masih bisa didengar oleh Sarah meskipun musik mengalun keras menyebabkan orang mengobrol harus berbisik-bisik. Sarah hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat Sabrina yang mengawang-awang dengan wajah berseri-seri. “Makanya nikah, dong! Masa belum belum ada calonnya?” ledek Sarah tepat di telinga Sabrina. “Ada, sih. Tenang, ada saatnya aku akan nikah, Mbak!” sahutnya menyeringai, seperti sedang merencanakan hal jah*t.Mendengar hal itu, Sarah mengernyitkan dahinya. Pasalnya selama ia tinggal bersama Sabrina, tak sekalipun melihat membawa atau mengenalkan laki-lak
Teriakan histeris Sintia terdengar hingga seluruh rumah bisa mendengarnya, termasuk Novi yang terbangun karena itu. “Itu kenapa sih Mbak Sintia masih pagi gini sudah membuat keributan? Gak ngerti apa kalau aku masih ngantuk banget!” gumam Novi seraya tubuhnya menggeliat disertai mulut yang menguap sesaat setelah terbangun. Teriakan demi teriakan yang terus terdengar bahkan semakin menyayat hati, mau tak mau membuat Novi akhirnya turun dari ranjang dan menemui Sintia untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi walaupun bagaimana pun ia dan Sintia adalah saudara kandung. Dengan rambut awut-awutan serta bekas iler menempel di pipi dan sesekali menutup mulutnya yang tak henti-hentinya menguap, Novi melangkahkan kaki menuju kamar Miranti. Perasaan biasa saja saat Novi berhasil melongokkan kepala dan matanya menangkap tindakan Sintia yang berjongkok dan meraung-raung memeluk tubuh kaku ibunya. “Ada apa ini?” tanyanya polos, berhasil menghentikan tangisan Sintia. Sontak, Sintia memba
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua