Teriakan histeris Sintia terdengar hingga seluruh rumah bisa mendengarnya, termasuk Novi yang terbangun karena itu. “Itu kenapa sih Mbak Sintia masih pagi gini sudah membuat keributan? Gak ngerti apa kalau aku masih ngantuk banget!” gumam Novi seraya tubuhnya menggeliat disertai mulut yang menguap sesaat setelah terbangun. Teriakan demi teriakan yang terus terdengar bahkan semakin menyayat hati, mau tak mau membuat Novi akhirnya turun dari ranjang dan menemui Sintia untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi walaupun bagaimana pun ia dan Sintia adalah saudara kandung. Dengan rambut awut-awutan serta bekas iler menempel di pipi dan sesekali menutup mulutnya yang tak henti-hentinya menguap, Novi melangkahkan kaki menuju kamar Miranti. Perasaan biasa saja saat Novi berhasil melongokkan kepala dan matanya menangkap tindakan Sintia yang berjongkok dan meraung-raung memeluk tubuh kaku ibunya. “Ada apa ini?” tanyanya polos, berhasil menghentikan tangisan Sintia. Sontak, Sintia memba
Tak butuh lama sejak diputuskannya dirinya memilih untuk melayat dibandingkan bekerja, Hendrik langsung bergegas menuju ke kediaman yang sepuluh bulan lalu menjadi saksi bisu dipersatukannya dengan Novi. Meskipun sebelumnya seperti ogah-ogahan, tapi kali ini ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang disertai mulutnya bersenandung dan bersiul-siulan. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan dukacita karena salah satu anggota keluarganya baru saja meninggal. Sementara itu di tempat, proses sudah berjalan pada pemandian jenazah. Saat jenazah diangkat menuju halaman belakang yang tersedia semua perlengkapan, Sintia dan Novi kembali meraung-raung. Para tetangga yang sebelumnya tak acuh karena kelakuan Novi semasa sebelum menikah dan diketahui sebagai sumber penyebab ibunya depresi, kini menjadi iba dan kasihan sebab kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan dengan saudarinya, Sintia. “Yang sabar, ya, Mbak!” Seorang ibu-ibu mendekati Novi, lalu mengelus pundaknya secara lembut sebag
“Oke, jika itu maumu. Tapi, aku beri kesempatan sekali lagi. Pulang sekarang, atau hubungan kita selesai sampai di sini?” tekan Hendrik. Novi pada awalnya sudah berpikiran jika keputusannya akan diterima baik oleh Hendrik, sangat begitu terkejut dengan pilihan sulit yang diberikan oleh Hendrik. Ia dan Sintia membelalakkan matanya dengan keputusan Hendrik yang tak masuk akal tersebut. “Maksudmu ngomong kayak gitu apa, hah? Kamu pikir pernikahan itu sebuah permainan? Hanya gegara Novi masih pengen di sini, kamu berani-beraninya ngancem dia? Kamu pikir hebat bisa ngomong kayak tadi, hah? Jawab!” pekik Sintia. Ia sama sekali tidak terima dengan orang egois yang apa-apa ancamannya adalah pisah. Padahal, bisa dibicarakan dengan baik-baik. “Entah atas dosa apa ibu dulu sangat begitu ngebet sekali nikahin kalian berdua? Entah sudah dibayar berapa, kok ngizinin kalian berdua. Tapi, aku bersyukur sekali! Ibu mendapatkan karma dari tindakan gegabahnya yaitu menikahkan kalian,” lanjutnya denga
“Oh boleh, habis itu sekalian bawa mereka ke—” “Mas!” Belum selesai Reno mengucapkan apa yang akan dibicarakan, Farah sudah terlebih dahulu mencegahnya dengan menginjak kakinya dan mendelik tajam padanya. “Loh! Ada apa ini? Mbak Farah gak boleh gitu. Itu pasti sakit, lho!” tegur Sarah seraya menggeleng pelan ketika melihat reaksi Reno yang meringis. “Hehe. Gak apa-apa, kok, Mbak! Ini gak sakit.” ucap Reno seraya memamerkan giginya tanda tidak masalah dan mengelus bekas injakan Farah. Sementara itu, Farah hanya cengar-cengir saja seperti tak berdosa. “Ah, kalian mah gitu! Kalau gak ada apa-apa, kenapa omongan Mas Reno disela? Pasti ada rahasia, nih!” sahut Sabrina meledek pasangan yang baru menikah beberapa hari lalu itu. “Eh, udah berangkat sekarang, yuk! Mumpung masih pagi ini. Ayok-ayok!” ajak Farah mengalihkan pembicaraan agar tidak ada lagi yang hampir keceplosan. “Ayolah!” jawab Sabrina. Langkah Farah dan Reno diikuti oleh yang lainnya menuju mobil masing-masing. Kini, mob
‘Loh! Dia, kan, Hendrik. Mau ngapain dia?” batin perempuan tersebut saat Hendrik mendekatinya. “Ah, iya! Ada apa?” Perempuan tersebut berpura-pura tersenyum. “Sendirian, Mbak? Boleh duduk?” Hendrik menarik kursi, lalu mendudukinya tanpa adanya izin. “Seperti yang Masnya lihat. Duduk mah tinggal duduk! Ada yang melarang?” ketusnya perempuan itu, tanda jika dirinya tidak suka akan kedatangan Hendrik. Namun, bukan Hendrik namanya jika langsung kalah sebelum berper*ng. Ia menebalkan mukanya agar bisa berkenalan dengan perempuan tersebut. “Ah, Mbaknya bisa aja. Iya sih, tidak ada yang melarang. Kali saja, ini ada yang akan duduk di sini begitu. Oh iya, boleh kenalan gak nih, Mbak?” Hendrik mengulurkan tangan dengan percaya diri akan mendapatkan balasan. “Silakan, saya gak larang!” Perempuan itu membiarkan tangan Hendrik mengambang begitu saja disertai senyum sinis menghiasi wajah cantiknya. ‘Beuh! Novi mah gak selevel dengannya. Boro-boro Novi, Cantika pun lewat. Sudahlah cantik, ju
“Semua itu gara-gara pelayan yang lelet itu!” Hendrik menyugar rambutnya asal. Wajahnya penuh guratan amarah. “Ehem!” Syasya memberikan kode, bahwa dirinya ada di belakang tubuh Hendrik. Ia memang sengaja melakukan itu—sembunyi di tembok dekat pintu keluar—untuk melihat bukti seberapa benar perkataan Hendrik tentang rasa suka padanya. Jika benar rasa itu adanya, pasti akan mencari ke mana pun pergi. Dan benar saja itu terjadi. Namun, ia tanpa sengaja juga harus tahu siapa Hendrik sebenarnya. ‘Oh, ternyata masih sama!’ batinnya menilai. “Oh, hai! Kamu ke mana saja? Aku cariin ternyata ada di sini,” sapa Hendrik usai menemukan keberadaan Syasya. Ia garuk kepala tak gatalnya itu karena kikuk. Di balik rasa kikuknya itu, Hendrik ketar-ketir. Ia takut jika Syasya tahu bahwa dirinya baru saja mengumpat. Ia tidak ingin hal itu terjadi, karena image-nya harus tetap terjaga sebagai laki-laki baik-baik. ‘Duh, dengar gak ya? Bisa bahaya ini kalau dia dengar. Dasar nih mulut!’ batinnya merac
Acara makan-makan pun telah usai. Bu Sumirah selaku pemilik yayasan dan pengurus panti asuhan mengajak anak-anak panti untuk berdoa bersama. “Anak-anak, dengarkan Bunda! Kakak-kakak ini datang menemui kita untuk berbagi kebahagiaan dengan kita. Adik tampan nan menggemaskan yang ada di pangkuan ini sudah bisa berjalan dan juga Kak Farah dan Kak Reno adalah pasangan pengantin baru.” Tepat saat Bu Sumirah mengatakan soal pernikahan Reno dan Farah, Reno dan Farah saling berpandangan. Mereka berdua kaget, karena sama sekali tidak mengatakan hal tersebut pada Bu Sumirah. Namun, sedetik kemudian mereka berdua faham jika hal itu adalah kerjaannya Sabrina. Dengan gerak cepat, Reno dan Farah menatap tajam Sabrina. Mendapatkan tatapan tak mengenakkan, Sabrina hanya menyengir. “Nah, sebagai ungkapan terima kasih untuk semua ini, kita doakan untuk mereka semua. Sekarang angkat tangannya, dengarkan baik-baik Bunda dan aminkan….” Satu per satu anak-anak mulai mengangkat tangannya dengan penuh k
Suasana sahur di pagi menjelang subuh itu tidak hanya moment pertama bagi Sarah. Di rumah milih Farah, sahur kali ini baginya dan suami adalah momen sahur pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Di rumah yang dibeli dari hasil kerja kerasnya dalam membersamai orang-orang butuh bantuannya dalam bidang hukum, Farah dan Reno bahu membahu membuat sajian untuk disantap sebelum subuh berkumandang. Meskipun menggunakan tenaga asisten rumah tangga, tetap saja pasangan itu memanfaatkan waktu sahur yang penuh berkah itu dengan menginginkan masak sendiri daripada dimasakkan.Dengan kehadiran sang suami di sampingnya, Farah sangat bersyukur sekali karena sudah dipertemukan dengannya dan sudah menikah sebelum berpuasa. Sehingga momen puasa seperti tahun-tahun sebelumnya sudah tidak lagi dirasakannya. “Terima kasih ya, Mas! Sudah mencintai dan menjadikanku istrimu dengan segala kekurangan ini.” Farah menghentikan aktivitas menumisnya. Reno yang sedang mempersiapkan lainnya tersenyum lalu m