Delapan bulan telah berlalu. Waktu berjalan dengan begitu sangat cepatnya. Banyak hal terjadi dalam kehidupan Sintia selama itu, bersama ibu yang tidak pernah bisa sembuh. Ia yang tidak mau ada campur tangan Novi, ada rasa tidak suka padanya hingga kini karena perlakuan ibunya berbeda antara dirinya dan Novi. Selama itu, ia dan Bi Mun sudah mengoptimalkan untuk membawa Miranti berobat ke mana-mana. Bukan hanya berobat medis saja, tapi juga ke paranormal. Namun, dari semuanya itu sama sekali tidak bisa membawanya pada kesembuhan. Dari sekian bulan berjalan membersamai ibunya yang tak kunjung sembuh, Sintia akhirnya tiba pada titik jemu. Ia sudah lelah jika harus ke mana-mana lagi untuk mencari obat. Pada titik inilah, ia sudah pasrah apapun keadaannya. Jika ditanya kenapa Sintia tidak membawa Miranti sang ibu ke RSJ? Jawabannya hanya satu, ia masih ingin merawatnya di rumah. Dengan begitu, ia jelas tahu apapun yang terjadi pada ibunya dan bisa memantausetiap saat ketika sedang di r
“Ibu!” Novi langsung menubruk ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang dengan disertai tangis, kesedihan,kecemasan sekaligus kekecewaan begitu tiba di rumah itu setelah menempuh perjalanan hampir satu jam di kondisi jalan ramai dan padat merayap karena jam pulang kerja. “Ibu…, kenapa bisa begini?” tanyanya membelai tangan ibunya saat ia sudah lebih tenang. Novi nelangsa melihat perubahan raga ibunya yang sangat signifikan dibandingkan sepuluh bulan lalu saat ia meninggalkan dirinya untuk ikut Hendrik. Kesedihan Novi semakin menjadi saat Miranti sama sekali tidak terpengaruh dengan sentuhan, dan elusan-elusan yang ia berikan. Ia menjadi tersedu-sedu, mengira jika ibunya benar-benar sudah tidak bisa lagi diajaknya bicara. “Ibu, bangun, Bu! Aku Novi, Bu. Apa gak kangen sama aku, Bu?” tanyanya di sela tangisnya sembari menggoyang-goyang tubuh Ibunya. Jelas saja Miranti tidak akan meresponnya, sebab pengaruh obat tidur yang saat ini sedang melakukan tugasnya.Tangis Novi terdengar
Benar saja, Hendrik pagi harinya pergi ke rumah mertuanya menggunakan taksi online sebab mobilnya sudah berada di sana sejak kemarin sore di bawa oleh Novi. “Sakit tinggal sakit, kenapa pakai menyusahkan sih? Kalau gak ada mobil gini aku pakai apa coba? Naik taksi? Ish, mana level?” gerutunya pagi-pagi seraya bergidik. “Sial! Ngapain sih pake bawa mobilku segala!” umpatnya kesal sembari mengotak-atik HP. Meskipun sempat mencela salah satu moda transportasi umum itu karena dalam pikirannya pasti dipakai oleh banyak orang dan ia tidak bisa mentolerir itu, Hendrik tetap saja memakainya. ****Mendengar ada mobil yang berhenti di depan rumah ibunya, Novi mengintip dari balik jendela. Melihat siapa yang datang, ia pun membuka pintu dan menyambutnya. Namun, bukannya keramah tamahan yang ia dapatkan. “Ada apa panggil aku suruh ke sini?” Tanpa basa-basi sedikitpun atau menanyakan keadaan Miranti, Hendrik langsung menodong pertanyaan pada Novi dengan marah-marah. “Ibu sakit karena kamu,
Pagi hari telah datang, menggantikan malam yang berlalu. Semangat baru pun berkobar dalam diri setiap insan untuk menjalankan aktivitasnya masing-masing, baik baru akan dilaksanakan ataupun yang tinggal melanjutkan. Wajah mereka pun berseri-seri karena sudah diistirahatkan semalaman, meskipun hari itu beban pekerjaan berat menanti. Hal serupa juga dialami oleh mereka, keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai, terutama Farah dan Reno. Meskipun hari itu tergolong santai, tapi wajah keduanya penuh ketegangan dalam menghadapi prosesi ijab kabul beberapa jam ke depan. Padahal, jika berbicara ketegangan dalam menghadapi situasi apapun adalah sudah seperti makanan sehari-hari bagi kedua manusia yang akan dipersatukan secara sakral dalam ikatan pernikahan sah itu. Kendati demikian, tetap saja mereka gugup, grogi, cemas, bahkan takut salah ucap. Tentu, karena hal itu sama sekali belum pernah mereka alami. Sehingga membuat salah satunya, yaitu Reno harus berlatih mengucapkan kabul.“
Suasana meriah, mewah dan elegan di acara resepsi pernikahan Reno dan Farah sungguh meliputi setiap sudut pandang dan dengar bagi siapa saja yang hadir malam itu. Sarah dan Sabrina yang duduk berdampingan tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur pada Allah atas sahabatnya, Farah di ujung sana karena sudah berbahagia dengan pasangannya dalam ikatan suci. “Kok aku jadi pengen nyusul, ya?” gumam Sabrina yang masih bisa didengar oleh Sarah meskipun musik mengalun keras menyebabkan orang mengobrol harus berbisik-bisik. Sarah hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat Sabrina yang mengawang-awang dengan wajah berseri-seri. “Makanya nikah, dong! Masa belum belum ada calonnya?” ledek Sarah tepat di telinga Sabrina. “Ada, sih. Tenang, ada saatnya aku akan nikah, Mbak!” sahutnya menyeringai, seperti sedang merencanakan hal jah*t.Mendengar hal itu, Sarah mengernyitkan dahinya. Pasalnya selama ia tinggal bersama Sabrina, tak sekalipun melihat membawa atau mengenalkan laki-lak
Teriakan histeris Sintia terdengar hingga seluruh rumah bisa mendengarnya, termasuk Novi yang terbangun karena itu. “Itu kenapa sih Mbak Sintia masih pagi gini sudah membuat keributan? Gak ngerti apa kalau aku masih ngantuk banget!” gumam Novi seraya tubuhnya menggeliat disertai mulut yang menguap sesaat setelah terbangun. Teriakan demi teriakan yang terus terdengar bahkan semakin menyayat hati, mau tak mau membuat Novi akhirnya turun dari ranjang dan menemui Sintia untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi walaupun bagaimana pun ia dan Sintia adalah saudara kandung. Dengan rambut awut-awutan serta bekas iler menempel di pipi dan sesekali menutup mulutnya yang tak henti-hentinya menguap, Novi melangkahkan kaki menuju kamar Miranti. Perasaan biasa saja saat Novi berhasil melongokkan kepala dan matanya menangkap tindakan Sintia yang berjongkok dan meraung-raung memeluk tubuh kaku ibunya. “Ada apa ini?” tanyanya polos, berhasil menghentikan tangisan Sintia. Sontak, Sintia memba
Tak butuh lama sejak diputuskannya dirinya memilih untuk melayat dibandingkan bekerja, Hendrik langsung bergegas menuju ke kediaman yang sepuluh bulan lalu menjadi saksi bisu dipersatukannya dengan Novi. Meskipun sebelumnya seperti ogah-ogahan, tapi kali ini ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang disertai mulutnya bersenandung dan bersiul-siulan. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan dukacita karena salah satu anggota keluarganya baru saja meninggal. Sementara itu di tempat, proses sudah berjalan pada pemandian jenazah. Saat jenazah diangkat menuju halaman belakang yang tersedia semua perlengkapan, Sintia dan Novi kembali meraung-raung. Para tetangga yang sebelumnya tak acuh karena kelakuan Novi semasa sebelum menikah dan diketahui sebagai sumber penyebab ibunya depresi, kini menjadi iba dan kasihan sebab kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan dengan saudarinya, Sintia. “Yang sabar, ya, Mbak!” Seorang ibu-ibu mendekati Novi, lalu mengelus pundaknya secara lembut sebag
“Oke, jika itu maumu. Tapi, aku beri kesempatan sekali lagi. Pulang sekarang, atau hubungan kita selesai sampai di sini?” tekan Hendrik. Novi pada awalnya sudah berpikiran jika keputusannya akan diterima baik oleh Hendrik, sangat begitu terkejut dengan pilihan sulit yang diberikan oleh Hendrik. Ia dan Sintia membelalakkan matanya dengan keputusan Hendrik yang tak masuk akal tersebut. “Maksudmu ngomong kayak gitu apa, hah? Kamu pikir pernikahan itu sebuah permainan? Hanya gegara Novi masih pengen di sini, kamu berani-beraninya ngancem dia? Kamu pikir hebat bisa ngomong kayak tadi, hah? Jawab!” pekik Sintia. Ia sama sekali tidak terima dengan orang egois yang apa-apa ancamannya adalah pisah. Padahal, bisa dibicarakan dengan baik-baik. “Entah atas dosa apa ibu dulu sangat begitu ngebet sekali nikahin kalian berdua? Entah sudah dibayar berapa, kok ngizinin kalian berdua. Tapi, aku bersyukur sekali! Ibu mendapatkan karma dari tindakan gegabahnya yaitu menikahkan kalian,” lanjutnya denga