"Ambil saja, Mbak! Kesempatan tidak pernah datang dua kali. Jikalau ada yang sama menghampiri, dapat dipastikan itu berbeda. Mungkin saja lebih baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan malah lebih buruk dari ini. Tenang saja, payung hukum akan jelas berada di belakang Mbak Sarah jika dikemudian hari merugikan. Mungkin ini adalah pengkabulan dari doa-doa yang Mbak Sarah panjatkan juga rezeki untuk Emir ke depannya. Percayalah, In Syaa Allah ini yang terbaik." Panjang lebar Farah menyakinkan dan menyuruh Sarah untuk menyetujui kesepakatan bisnis yang disodorkan oleh Pak Budi dan Bu Siti. Sarah terlihat berpikir sejenak, lalu menghela nafas panjang sebelum memutuskan sebuah keputusan yang akan diambilnya untuk kehidupannya dan Emir ke depan. "Bismillaah, aku setuju dan siap untuk menjalankannya. Seperti yang sudah saya katakan tadi sama Bapak dan Ibu yaitu silakan dicoba dan diicip terlebih dahulu seperti apa hasil masakan saya sebelum sah dan resmi bekerja sama, nah makanan apa yang i
Setelah terjadinya kesepakatan kerja sama antara pihak Sarah dan Pak Budi yang disahkan di mata hukum oleh Farah beberapa hari lalu, aktivitas di outlet kembali normal seperti biasa. Bahkan sejak hari itu, dari hari ke hari semakin banyak saja pesanan, baik secara offline maupun online. Sembari menunggu renovasi toko menjadi cafe dan resto, hari ini semua peralatan memasak dikirim oleh Pak Budi dan diturunkan ke rumah Sabrina. Pak Budi melakukan itu semua karena dalam beberapa hari ke depan EO miliknya full penyewa. Tentu hal itu Sarah akan sibuk ke depannya. Selain keadaan outlet yang semakin sibuk, kesibukan juga mulai terjadi di rumah Sabrina. Para ibu-ibu profesional yang sudah terbiasa memasak enak di sebuah hajatan direkrut oleh Sarah untuk menjadi timnya dalam menyajikan sajian lezat di EO milik Pak Budi. Meskipun mempunyai kesibukan tersendiri di rumah, hal itu tidak berarti membuat Sarah melupakan kewajibannya untuk mengontrol jalannya produksi di outlet. Setelah memast
Didesak secara terus menerus dan tidak punya pilihan lain, membuat Hendrik pada akhirnya pasrah. “Oke, oke, cukup! Beri saya waktu untuk membayarnya!” Hendrik mengangkat tangannya. “Jangan lama-lama! Kami beri waktu dua hari dari hari ini. Jangan sampai kabur!” seru investor yang tampak senior. Setelah berbicara, ia langsung berbalik badan dan memberikan kode kepada semuanya agar segera meninggalkan kantor Hendrik. Sepeninggal delapan orang tersebut, Hendrik menyugar rambutnya dengan gusar. Ia kemudian mondar-mandir , tampak gelisah memikirkan dari mana uang untuk mengembalikan modal para investor sedangkan perusahaannya juga merasakan kerugian yang tidak sedikit. Selain itu, seluruh modal yang diterimanya dari kedelepan investor tersebut sudah digelontorkan dalam proyeknya kali ini. Waktu yang diberikan oleh investor tidaklah banyak. Mau tidak mau, Hendrik harus memutar otak dan memeras keringat agar bisa melunasi sebelum waktunya.Tak ingin waktu terbuang sia-sia, ia pun segera
Kenyataan demi kenyataan sudah di depan mata, membuat Hendrik harus memutuskan dengan cepat langkah yang akan diambil agar masalah segera selesai. “Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus membalas perbuatan mereka yang telah membuat kita rugi. Cepat cari tahu siapa saja mereka dan jebloskan ke penjara!” titahnya pada staff yang hadir. Dikuasai amarah membuatnya langsung meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban staff dan membiarkan rapat tanpa adanya penutup. Bukannya memberikan solusi , Hendrik malah memberikan beban pada bawahannya. Tentu itu sangat membuat para staff merasakan terbebani. Sepeninggal Hendrik, para staff saling berbisik. Mereka menyayangkan sikap Hendrik yang semena-mena pada bawahannya, tak sedikitpun memberikan waktu untuk para staff dalam memberikan sanggahan atas perintah tersebut. “Bagaimana ini? Mencari tahu para penjahat jelas butuh waktu banyak. Belum lagi kita harus ngerjain kerjaan yang kita tinggal untuk cari tahu mereka ditambah kerjaan baru, sudah p
Saat pria tersebut sedang tenang dalam misinya menjalankan kejahatannya yang entah keberapa, seorang pengawal masuk tanpa diminta juga tanpa permisi dan tergesa-gesa. “Gawat, Bos!” teriak pengawal mengagetkan pria tersebut. “Heh, kamu! Sudah berapa kali dibilang kalau masuk ke ruangan saya ketuk pintunya dulu. Apakah kamu sudah pikun?” hardik pria tersebut tidak terima karena konsentrasinya terganggu. “Maaf, Bos! Tapi, di luar ada polisi yang mencarimu, Bos!” Pengawal menyampaikannya dengan gugup. “Polisi? Kenapa mencariku?” Pria tersebut berusaha setenang mungkin agar menyembunyikan ketakutan dan kegelisahannya. Namun, belum sempat pria dan pengawalnya keluar dari ruangan tersebut, polisi sudah lebih dulu menemukan mereka setelah sebelumnya berpencar ke seluruh ruangan guna mencari pria itu. “Angkat tangan, jangan bergerak!” Ada banyak polisi yang masuk menggeruduk, membuat pria itu semakin kalut. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti instruksi tersebut.
Saat Polisi mengatakan bahwa harta hasil curian yang dilakukan oleh Edo telah disita sebagai barang bukti dan tidak bisa diambil, Hendrik sama sekali tidak menyerah dan kehilangan akal serta pasrah begitu saja. “Oh, begitu ya, Pak? Baiklah!” timpalnya dengan remeh. Hendrik sama sekali tidak peduli atas jawaban yang baru saja ia dengar. Namun, karena ada hartanya di dalamnya, ia tak lintas akan merelakan. Untuk itu, ia menghubungi salah satu investor yang dua hari lalu ikut menuntutnya. Melihat Hendrik yang sama sekali tak beranjak dari hadapannya dalam keadaaan mengotak-atik HP, sang Polisi pun seperti curiga. “Pak, silakan keluar jika sudah tidak ada urusan lagi!” Polisi menunjukkan jalan keluar kepada Hendrik menggunakan tangan terbuka ke arah pintu. “Bentar, numpang duduk!” jawabnya santai dengan HP berada di telinga. “Halo! Kalian mau uang kalian kembali tidak? Bawa teman-teman kalian dan masing-masing dari kalian siapkan pengacara. Datang saja ke kantor polisi XX!” titahnya
Hingga malam tiba, Hendrik masih saja mengitari komplek juga keluar masuk gang guna mencari keberadaan Cantika. Saat bertanya kepada warga, ia sudah lebih sopan tidak seperti sebelumnya. Ketika bertemu orang di jalan, ia berhenti lalu keluar dari mobilnya sembari menunjukkan foto Cantika yang ia dapatkan dari foto profil aplikasi chat, persis seperti aslinya. Hendrik berpura-pura untuk sopan karena tidak ingin waktunya terbuang sia-sia jika sampai ada yang marah seperti sore tadi. “Permisi, Bu! Numpang tanya, ibu kenal sama orang ini tidak?” Sang ibu hanya menggelengkan kepala setelah beberapa detik mengamati foto di HP yang disodorkan oleh Hendrik. “Yakin ibu gak kenal?” Sang ibu mengangguk pelan. “Kalau rumahnya kira-kira tahu tidak, Bu?” Hendrik masih berusaha untuk terlihat sabar ketika jawabannya sudah pasti bisa ditebak, “Tidak tahu!”“Ya sudah, terima kasih, Bu!” Ini adalah kesepuluh kalinya ia tidak mendapatkan jawaban sesuai yang diinginkannya. Merasa sia-sia usahany
Di saat Sarah sedang memandangi para tamu yang terus berdatangan di seluruh penjuru, Sabrina datang untuk memberikan selamat juga menenangkannya agar ketika potong pita dan memberikan sambutan sama sekali tidak gugup. “Gemeteran ya, Mbak?” Sarah mengangguk dengan sorot mata berkaca-kaca, sementara tangannya tiba-tiba menjadi dingin. Siapapun orangnya jika dalam menghadapi keadaan di luar dugaan dapat dipastikan akan mengalami hal yang sama. Hal itu yang kemudian dimaklumi oleh Sabrina dan menjadi alasannya memberikan ketenangan dan semangat untuk Sarah. “Hal itu wajar, Mbak! Sekarang baca bismillah, berdzikir dan tarik napas dalam-dalam lalu buang pelan-pelan. Ulangi terus menerus, In syaa Allah ntar menjadi rileks dengan sendirinya.” Setelah kalimat demi kalimat Sabrina selesai terucap, Sarah langsung mempraktekkannya. Benar saja setelah mencoba beberapa kali, ia berhasil menenangkan dan mengembalikan detak jantungnya menjadi normal. “Gimana, udah oke?” Sabrina yang sejak kedat