Pagi adalah waktu yang tepat untuk beraktivitas secara normal bagi pekerja, pelajar, ibu rumah tangga dan lainnya. Hal itu dialami oleh siapapun tak terkecuali Sarah yang sedang mengurus Emir, Sabrina di kandang ayamnya dan Reza hendak pergi ke kantornya,tapi mampir terlebih dahulu ke rumah adik dari ibunya, Bu Mona. Setelah bersiap-siap meninggalkan rumah, tiba-tiba sang ibu menghentikan langkahnya. "Bentar, Za! Ini nanti sambil jalan, tolong kasihkan ke Tante Mona, ya?" Sang ibu mengangsurkan sebuah bingkisan pada putra satu-satunya itu. "Iya, Ma! Ya udah, aku jalan dulu." Reza menerimanya lalu berpamitan. Sesampainya di rumah Bu Mona, Reza sebenarnya hanya sebentar saja. Begitu diterima titipan tersebut, ia berniat langsung menuju kantor. Tapi…."Za, boleh ngobrol bentar? Ada yang mau Tante tanyain. "Mau ngobrolin apa, Tant?" Karena tidak enak pada tantenya itu, Reza mau tidak mau yang awalnya hanya berdiri di depan pintu, pada akhirnya duduk di bangku di teras disusul Bu Mon
Tak seperti biasa ketika pergi ke mall akan berlama-lama, Hendrik yang ingat jika di dalam perut istri sirinya itu ada jabang bayi, ia meminta Novi untuk pulang lebih awal. "Udah ya belanjanya? Besok lagi. Sekarang kita pulang dulu. Kasihan bayinya kalau diajak pulang malam-malam," ajak Hendrik menyudahi aktivitas Novi yang sedang memilih-milih di outlet sepatu. "Ih, mas! Aku kan lagi milih-milih sepatu, tanggung tahu!" tolaknya dengan memajukan bibirnya. "Bisa besok lagi. Sekarang kita pulang dulu, udah malam. Besok kita periksa ke dokter, ya? Aku ingin kamu dan bayi kita sehat-sehat. Setelah periksa, kamu boleh belanja sepuasnya. Tapi ingat, jangan sampai kamu kecapekan. Yuk!" komando Hendrik. Novi pun akhirnya mengekor karena dijanjikan belanja sepuasnya besok hari. "Oh iya, besok aku ambil cuti. Aku akan antarkan dan temani kamu periksa," ucapnya lagi ketika sudah berada di dalam mobil membelah jalanan menuju pulang ke rumahnya. ****Seperti biasa, Hendrik pagi ini sudah rapi
Bab 26 Gimana? "Di sini sama sekali tidak ada tanda-tanda kehamilan. Bisa jadi apa yang Bu Novi alami kemarin adalah gejala masuk angin saja. Bapak dan ibu bisa melihat di monitor ini," jelasnya sembari menunjuk-nunjuk layar monitor di samping brankar tempat Novi berbaring. Novi dan Hendrik tampak tidak terima terhadap hasil yang sebenarnya. Mereka berdua kecewa karena merasa di-prank oleh keadaan. Usai di-USG, Novi dan kembali untuk duduk berhadapan dengan dokter Rosa. Namun, kali ini kekecewaan itu sangat kentara sekali. Selain dari raut wajah Novi dan Hendrik yang tidak sedap dipandang, mereka berdua pun sama sekali tidak menyahut setiap pertanyaan atau saran dari dokter Rosa. Jangankan menyahut, mendengar pun tidak. Tak sampai di situ saja. Sebagai bentuk kekecewaan, Novi dan Hendrik meninggalkan ruang praktek dokter Rosa di saat sang dokter sedang menjelaskan. Mereka keluar begitu saja tanpa berpamitan karena merasa sudah tidak ada gunanya jika berlama-lama. Sesampainya di
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk kesekian kalinya dalam hidup Sarah. Setelah menunggu dalam perjalanan selama sebulan lebih sejak disewanya outlet, akhirnya hari ini pembukaan atau grand opening outlet Ada Kue Enak dilaksanakan. Sejak kemarin sore Saarah berserta Yuni yang selalu berada di samping Emir sudah berada di outlet. Mereka tidur di ruangan dengan fasilitas lengkap yang sengaja diperuntukkan jika sewaktu-waktu menginap di sana. Sarah sengaja melakukan itu agar tidak ketinggalan dalam memulai menyiapkan acara tidak telat dan sepagi mungkin. Hal itu juga diikuti oleh orang-orang yang akan menyiapkan acara tersebut. Mereka ikut menginap mengikuti sang bos, tidur di ruangan seadanya. "Kenapa pake nginep di sana, sih, Mbak? Kan aku jadi kesepian!" Sabrina merasa keberatan sore itu kala Sarah sedang mempersiapkan hal-hal yang akan dibawa menginap di outlet. "Halah! Sebelum ada aku, kamu juga sendiri gitu, lho. Lagian aku kan, gak seterusnya di sono. Paling b
"Gimana kabarnya, Sabrina?" Reza hanya menanyakan kabar Sabrina saja, padahal ada Sarah juga di sampingnya. Ia tidak mengulurkan tangan karena di pertemuan sebelumnya kedua wanita yang masih tanpa suami tersebut tidak membalasnya. "Cie!" Sarah sama sekali tidak tersinggung saat Reza tak menanyainya. Ia justru meledek Sabrina. "Oh iya, silakan duduk, Mas!" Sarah menyuruh Reza untuk duduk di kursi untuk pengunjung, sama seperti yang diduduki dirinya juga Sabrina. "Apa sih, Mbak?" Sabrina terlihat risih diperlakukan seperti itu oleh Reza maupun Sarah. Reza tidak menyapa Sarah, tidak membuat Sabrina merasa menjadi spesial. Melainkan ia menjadi ilfeel. Dalam benaknya, "Kenapa hanya aku saja yang diajak bicara, padahal kan ada Mbak Sarah juga?" Namun, ia tidak berani mengutarakan, takut Reza tersinggung. Melihat reaksi Sabrina seperti itu, Reza menjadi kikuk. "Hehe, sorry! Maksudnya tadi setelah menyapa Sabrina, aku akan menyapa Sarah. Begitu," elaknya Reza agar tidak dipandang tida
Saat Sabrina, Sarah, Bu Mona dan Bu Saronah berjalan menuju mushola untuk melaksanakan sholat dhuhur, tak sengaja mata Sarah menangkap sebuah pemandangan langka yang belum pernah ia lihat sebelumnya, yaitu Farah dan Reza yang sedang saling menatap dalam diam. Tak ingin ia memergoki sendirian, Sarah pun memberikan kode kepada Sabrina untuk melihat mereka juga. "Wah, Na!" bisik Sarah dengan menyenggol bahu Sabrina. "Eh, iya. Ngomong-ngomong, mereka serasi lho. Semoga jodoh, ya?" ucapnya dengan tak melepaskan pandangan terhadap mereka berdua. "Iya, aamiin. Udah, yuk solat! Keburu mereka menunggu kita." Sarah dan Sabrina pun bergegas menuju mushola, takut jika Bu Mona dan Bu Saronah menunggu mereka untuk melangsungkan jamaah dhuhur. Sementara itu Sarah dan Sabrina menuju mushola, Farah dan Reza masih saja saling menatap dan berusaha untuk menekan jantung masing-masing yang terus menerus berdegup kencang. "Mbaknya sendiri?" Reza berusaha mengalihkan dan menyudahi salah tingkahnya ke
Setelah melaksanakan sholat dhuhur, mereka kembali ke ruang utama. Setibanya di sana, Sarah dan Sabrina masih melihat jika Farah dan Reza semakin menunjukkan kedekatannya dari jarak jauh."Wah, mereka semakin dekat ya, Mbak?" komentar Sabrina dengan mata tak lepas dari Farah dan Reza. "Udah, biarin saja. Makanya kamu buruan cari pendamping, biar bisa kek gitu!" Bukannya ikut apa maunya Sabrina, Sarah justru meledaknya. "Kok larinya ke situ? Gak seru Mbak Sarah, ih!" Sabrina pura-pura memajukan bibirnya."Haha! Gitu aja ngambek." Sarah hanya menanggapi dengan tertawa saja. ****Hari telah berganti hari sejak grand opening saat itu. Hari ini tepat pada hari Minggu, Sarah sengaja meliburkan para pegawainya di outlet. Ia melakukan itu setelah semalam sebelumnya merenungkan dan merundingkan lama-lama akan keputusannya tersebut bersama Sarah. Meskipun hari Minggu adalah hari yang sangat menguntungkan untuk berniaga karena super ramai dibanding hari lainnya dan ditentang oleh Sabrina se
"Mas Hendrik gak mau kasih nafkah untuk anakmu itu sampai kapan pun, kenapa kamu masih di sini? Sana pergi!" usir Novi dengan garangnya. Ia ikut-ikutan melakukan itu karena minggu paginya terganggu, juga agar suaminya tidak goyah akan permintaan Sarah. "Oh iya, kenapa baru sekarang mintanya? Kamu udah gak kuat ngidupin Emir sehingga ngemis-ngemis sama suami tercintaku, atau jangan—""Jadi, kamu benar-benar tidak ingin memberi nafkah untuk Emir, Drik?" tanyanya sekali lagi memastikan tanpa mempedulikan ocehan dan tuduhan dari Novi sebelum benar-benar pergi dari rumah yang selalu memberikan rasa sakit tersebut. "Tentu! Apakah dari tadi kamu tidak mendengar?" jelasnya dengan begitu dingin, pongah, dan tak punya hati. "Oke! Jika itu keputusan dan kemauanmu, maka jangan pernah cari aku atau pun Emir suatu saat nanti. Karena sampai kapan pun aku akan memisahkan kamu dan Emir. Dia sudahlah bukan anakmu lagi sejak delapan bulan lalu hingga sampai kapan pun. Camkan!"Tak ingin mendengar apa
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua