Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk kesekian kalinya dalam hidup Sarah. Setelah menunggu dalam perjalanan selama sebulan lebih sejak disewanya outlet, akhirnya hari ini pembukaan atau grand opening outlet Ada Kue Enak dilaksanakan. Sejak kemarin sore Saarah berserta Yuni yang selalu berada di samping Emir sudah berada di outlet. Mereka tidur di ruangan dengan fasilitas lengkap yang sengaja diperuntukkan jika sewaktu-waktu menginap di sana. Sarah sengaja melakukan itu agar tidak ketinggalan dalam memulai menyiapkan acara tidak telat dan sepagi mungkin. Hal itu juga diikuti oleh orang-orang yang akan menyiapkan acara tersebut. Mereka ikut menginap mengikuti sang bos, tidur di ruangan seadanya. "Kenapa pake nginep di sana, sih, Mbak? Kan aku jadi kesepian!" Sabrina merasa keberatan sore itu kala Sarah sedang mempersiapkan hal-hal yang akan dibawa menginap di outlet. "Halah! Sebelum ada aku, kamu juga sendiri gitu, lho. Lagian aku kan, gak seterusnya di sono. Paling b
"Gimana kabarnya, Sabrina?" Reza hanya menanyakan kabar Sabrina saja, padahal ada Sarah juga di sampingnya. Ia tidak mengulurkan tangan karena di pertemuan sebelumnya kedua wanita yang masih tanpa suami tersebut tidak membalasnya. "Cie!" Sarah sama sekali tidak tersinggung saat Reza tak menanyainya. Ia justru meledek Sabrina. "Oh iya, silakan duduk, Mas!" Sarah menyuruh Reza untuk duduk di kursi untuk pengunjung, sama seperti yang diduduki dirinya juga Sabrina. "Apa sih, Mbak?" Sabrina terlihat risih diperlakukan seperti itu oleh Reza maupun Sarah. Reza tidak menyapa Sarah, tidak membuat Sabrina merasa menjadi spesial. Melainkan ia menjadi ilfeel. Dalam benaknya, "Kenapa hanya aku saja yang diajak bicara, padahal kan ada Mbak Sarah juga?" Namun, ia tidak berani mengutarakan, takut Reza tersinggung. Melihat reaksi Sabrina seperti itu, Reza menjadi kikuk. "Hehe, sorry! Maksudnya tadi setelah menyapa Sabrina, aku akan menyapa Sarah. Begitu," elaknya Reza agar tidak dipandang tida
Saat Sabrina, Sarah, Bu Mona dan Bu Saronah berjalan menuju mushola untuk melaksanakan sholat dhuhur, tak sengaja mata Sarah menangkap sebuah pemandangan langka yang belum pernah ia lihat sebelumnya, yaitu Farah dan Reza yang sedang saling menatap dalam diam. Tak ingin ia memergoki sendirian, Sarah pun memberikan kode kepada Sabrina untuk melihat mereka juga. "Wah, Na!" bisik Sarah dengan menyenggol bahu Sabrina. "Eh, iya. Ngomong-ngomong, mereka serasi lho. Semoga jodoh, ya?" ucapnya dengan tak melepaskan pandangan terhadap mereka berdua. "Iya, aamiin. Udah, yuk solat! Keburu mereka menunggu kita." Sarah dan Sabrina pun bergegas menuju mushola, takut jika Bu Mona dan Bu Saronah menunggu mereka untuk melangsungkan jamaah dhuhur. Sementara itu Sarah dan Sabrina menuju mushola, Farah dan Reza masih saja saling menatap dan berusaha untuk menekan jantung masing-masing yang terus menerus berdegup kencang. "Mbaknya sendiri?" Reza berusaha mengalihkan dan menyudahi salah tingkahnya ke
Setelah melaksanakan sholat dhuhur, mereka kembali ke ruang utama. Setibanya di sana, Sarah dan Sabrina masih melihat jika Farah dan Reza semakin menunjukkan kedekatannya dari jarak jauh."Wah, mereka semakin dekat ya, Mbak?" komentar Sabrina dengan mata tak lepas dari Farah dan Reza. "Udah, biarin saja. Makanya kamu buruan cari pendamping, biar bisa kek gitu!" Bukannya ikut apa maunya Sabrina, Sarah justru meledaknya. "Kok larinya ke situ? Gak seru Mbak Sarah, ih!" Sabrina pura-pura memajukan bibirnya."Haha! Gitu aja ngambek." Sarah hanya menanggapi dengan tertawa saja. ****Hari telah berganti hari sejak grand opening saat itu. Hari ini tepat pada hari Minggu, Sarah sengaja meliburkan para pegawainya di outlet. Ia melakukan itu setelah semalam sebelumnya merenungkan dan merundingkan lama-lama akan keputusannya tersebut bersama Sarah. Meskipun hari Minggu adalah hari yang sangat menguntungkan untuk berniaga karena super ramai dibanding hari lainnya dan ditentang oleh Sabrina se
"Mas Hendrik gak mau kasih nafkah untuk anakmu itu sampai kapan pun, kenapa kamu masih di sini? Sana pergi!" usir Novi dengan garangnya. Ia ikut-ikutan melakukan itu karena minggu paginya terganggu, juga agar suaminya tidak goyah akan permintaan Sarah. "Oh iya, kenapa baru sekarang mintanya? Kamu udah gak kuat ngidupin Emir sehingga ngemis-ngemis sama suami tercintaku, atau jangan—""Jadi, kamu benar-benar tidak ingin memberi nafkah untuk Emir, Drik?" tanyanya sekali lagi memastikan tanpa mempedulikan ocehan dan tuduhan dari Novi sebelum benar-benar pergi dari rumah yang selalu memberikan rasa sakit tersebut. "Tentu! Apakah dari tadi kamu tidak mendengar?" jelasnya dengan begitu dingin, pongah, dan tak punya hati. "Oke! Jika itu keputusan dan kemauanmu, maka jangan pernah cari aku atau pun Emir suatu saat nanti. Karena sampai kapan pun aku akan memisahkan kamu dan Emir. Dia sudahlah bukan anakmu lagi sejak delapan bulan lalu hingga sampai kapan pun. Camkan!"Tak ingin mendengar apa
Apa yang terjadi di dunia ini tidak ada namanya kebetulan. Semuanya, mulai dari urusan manusia satu sampai manusia lainnya, dari urusan terkecil sampai terbesar, dari kebahagiaan sampai kesedihan di setiap manusianya sudah diatur oleh Sang Maha Pemilik Kehidupan tanpa sedikit keliru apalagi tertukar. Pengaturan mutlak oleh Tuhan atas manusia juga berlaku pada rombongan Sarah dan Farah. Antar keduanya baik dari rombongan Sarah maupun Farah sama sekali tidak ada yang menyangka jika akan bertemu di mall."Ck, kita ketemu lagi sama mereka, Mbak. Yuk, samperin!" Sabrina menoleh pada Sarah dengan binarnya memandang kedua orang di depan. Sabrina pun bersemangat untuk meledek Farah dan Reza yang sedang memilah dan memilih baju. Sarah hanya ikut saja tanpa membuka suara, namun wajahnya tersirat rasa senang. "Dunia sempit sekali sih, Mbak? Gak di sana, gak di sini ketemu kalian lagi! Bosen, tahu!" Bukannya mengucap salam saat bertemu dengan sesamanya, Sabrina malah setengah berteriak untuk b
Segala sesuatu jika dikerjakan secara ramai bersama orang-orang yang kita sayangi dan satu rasa juga pemikiran tidak akan memberikan rasa lelah sedikitpun, karena rasa senang dan kebahagiaan mendominasi perasaan jiwa sehingga bisa menutupi bahkan menghilangkan rasa lelah di raga. Itulah yang dirasakan oleh rombongan Farah dan Sarah. Meskipun mereka telah berkeliling-keliling dari satu outlet ke outlet lainnya dengan jarak tidaklah dekat dan masing-masing tangan tidak ada yang kosong, tidak ada satupun orang merasa kelelahan. Setelah hari semakin meninggi menuju senja juga telah puas menghabiskan banyak waktu bersama, baik rombongan Sarah maupun Farah masing-masing saling berpamitan. "Udah mau sore aja, kita udahan dulu ya? Besok kapan-kapan kita ketemu lagi," ucap Sabrina sambil melihat jam di pergelangan, lalu bersiap-siap untuk berdiri. "Eh, iya. Ya udah pulang, yuk! Kita sambung kapan-kapan lagi." Farah setuju, ia pun segera memasukkan barang-barang ke dalam tas yang sempat ia
"Ambil saja, Mbak! Kesempatan tidak pernah datang dua kali. Jikalau ada yang sama menghampiri, dapat dipastikan itu berbeda. Mungkin saja lebih baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan malah lebih buruk dari ini. Tenang saja, payung hukum akan jelas berada di belakang Mbak Sarah jika dikemudian hari merugikan. Mungkin ini adalah pengkabulan dari doa-doa yang Mbak Sarah panjatkan juga rezeki untuk Emir ke depannya. Percayalah, In Syaa Allah ini yang terbaik." Panjang lebar Farah menyakinkan dan menyuruh Sarah untuk menyetujui kesepakatan bisnis yang disodorkan oleh Pak Budi dan Bu Siti. Sarah terlihat berpikir sejenak, lalu menghela nafas panjang sebelum memutuskan sebuah keputusan yang akan diambilnya untuk kehidupannya dan Emir ke depan. "Bismillaah, aku setuju dan siap untuk menjalankannya. Seperti yang sudah saya katakan tadi sama Bapak dan Ibu yaitu silakan dicoba dan diicip terlebih dahulu seperti apa hasil masakan saya sebelum sah dan resmi bekerja sama, nah makanan apa yang i