Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit lamanya, akhirnya si BD datang juga. Dua kali kerlipan lampu dari kendaraan yang ia bawa adalah kode jika ia sudah mengamankan barang dan itu artinya Angela pun harus menyerahkan uangnya. Tanpa membuang waktu lagi, Angela segera menghampiri dan meletakkan amplop cokelat di jok belakang. “Sekitar tiga puluh meter dari sini, lu belok kiri, nanti akan ada bambu melintang, ikuti arah bambu runcing dan ambil bungkusan yang tertimbun dedaunan kering,” ucap si BD tanpa menunggu jawaban dari Angela, dia pun berlalu. Bagi Angela, itu bukan hal yang aneh, memang seperti itu cara aman bertransaksi, no transfer and no hand to hand. Urusan mereka pun selesai. Keesokan harinya, Angela pulang ke apartemen, ia mendapati Adiaz sedang menunggunya. Wajahnya sangat kusut, pakaiannya juga acak-acakan. Kantung matanya lebar. “Ke mana saja kamu!?" bentak Adiaz marah. Masih tidak terima dengan perlakuan Angela kemarin. “Aku ada urusan penting, kenapa?" jawab
Sesampainya di apartemen, dia mengobrak-abrik isi tas milik Angela. Mengambil satu paket s*b* untuk ia konsumsi. “Hanya ini yang bisa mengerti keadaanku saat ini ....” gumamnya seraya menyiapkan alat-alat hisapnya. Entah sudah berapa banyak yang ia hisap, pikirannya yang sedang kalut seketika kosong, otaknya tak bisa digunakan untuk berpikir. Adiaz merasakan sensasi melayang yang sangat nikmat, giginya gemeretuk. Detakan suara jarum jam terdengar kencang. Laki-laki itu merasakan tubuhnya sedang berada di tempat lain. Banyak sekali kupu-kupu bercahaya terang, yang membawanya menuju sebuah tempat indah yang ditumbuhi banyak bunga. Jauh disana, kembali ia melihat Mentari. Langkah kakinya berlari cepat. Namun, semakin berusaha dia mendekati Mentari, gadis itu malah semakin menjauh. Senyuman lebar nan manis yang diberikan oleh Mentari padanya, membuat Adiaz semakin berusaha untuk menjangkaunya. Darah yang menetes dari kakinya, akibat menginjak duri-duri mawar tidak ia hiraukan sama s
Sesampainya di kantor, Adiaz langsung masuk ke ruangannya. Ia sudah bisa mengatasi kondisinya karena dibantu oleh dua kaleng susu yang ia beli tadi. Baru beberapa saat ia mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya, terdengar suara pengumuman bagi semua staf dan Admin untuk berkumpul di ruang rapat, segera ....Dalam waktu beberapa menit saja ruangan dipenuhi para staf, admin, dan beberapa orang penting di perusahaan itu. Pimpinan perusahaan telah duduk di kursi kebesarannya. “Ada banyak yang ingin saya sampaikan, tetapi saya rasa hanya beberapa poin saja yang berhak kalian semua ketahui," ucapnya serius.Semua saling pandang. Mereka merasa bahwa tidak melakukan kesalahan apa pun. “Beberapa hari yang lalu, saya keluar kota untuk mendapatkan investor … tapi, …" Kepalanya menunduk tampak ia menghela napas panjang dan berat. “Saga gagal mendapatkan investor itu …" Ucapannya sukses membuat semua karyawan menatap kecewa. Perusahaan ini sedang berada di ujung tanduk. Semua inve
TerdesakAmarah Adiaz mereda setelah Angela membisikkan sesuatu. Mereka duduk di sofa…“Jadi, apa rencanamu?" tanya Adiaz.Laki-laki itu tampak menyesal dengan semua situasi yang terjadi saat ini. Dia memang tidak bisa hidup dengan satu wanita saja, tapi juga tidak rela kehilangan segalanya karena kebodohannya sendiri. Padahal dulu ketika masih bersama Mentari, tak pernah yang namanya kekurangan uang ia rasakan. Sekarang malah harus mengirit untuk semua kebutuhan. Angela beringsut lebih mendekat lagi dan membisikkan sesuatu yang membuat Adiaz terlonjak kaget. “Aku sebenarnya mendekati pria tua itu bukan tanpa alasan. Dia itu––“ Angela mendekatkan wajahnya pada Adiaz, “Dia seorang BD besar." Adiaz menatap sinis. “Terus, apa hubungannya dengan masalah kita?"“Dengarkan aku dulu. Tenang," ucapnya, sambil mengelus-elus wajah Adiaz dan memberikan kecupan singkat di bibirnya. “Kita jual si Putih saja .…" “Hah!?" Adiaz bangkit dari posisinya. Menatap nyala
Angela menggeliat malas, lalu ia meraih tas hitam kecil yang tergeletak begitu saja lalu melemparkanya pada Adiaz. “Cuma ada sedikit, cari aja sendiri.”Angela memang agak jorok, ia bisa dengan santai membawa barang haram itu begitu saja, hanya diselipkan di dalam tas. Setelah mengacak isi tas Angela, akhirnya Adiaz menemukan sesuatu yang dibutuhkannya. Senyumnya mengembang dan ia segera berlalu ke kamar dengan meninggalkan tas beserta seluruh isinya yang ia keluarkan secara acak. Entah mengapa dia setuju pada ajakan Angela waktu itu, untuk menggunakan barang haram ini. Dia menjadi pecandu, dan menghisap s*b* adalah salah satu hal rutin yang harus ia lakukan. “Sial, aku semakin tidak bisa keluar dari hal kelam seperti ini," ujarnya pada diri sendiri. Pintu kamar terbuka, Angela melongokkan kepalanya. “Mau aku temani?" tanya Angela. “Terserah." “Oh, iya, kalau kamu jadi untuk jualan bilang saja, ya. Barangnya lumayan banyak …." “Dari orang tua itu?" “Iya, namanya Johan." “
Tatapan Adiaz berubah ganas. Mirip rentenir ketika menagih hutang. Anton bergidik ketakutan. Tangannya bergetar, meja di hadapannya tampak ikut bergerak, karena kakinya mengetuk-ngetuk tak henti. “Kenapa? Kamu punya masalah besar, ‘kan? Sudahlah, jangan terlalu pusingkan soal haram atau tidaknya. Yang penting masalah kamu bisa selesaikan?" Kedua tangan Adiaz mencengkeram erat bahu Anton. Pria itu mati kutu, tidak bisa beranjak dan melarikan diri. “Ta–tapi, Pak … saya tidak pernah pakai yang begituan. Saya tidak mau jadi pecandu. Kalau Bapak mau menggunakannya, silakan saja. Tapi jangan ajak-ajak saya," ucapnya ragu. “Lho, kenapa? ‘Kan saya hanya memberikan kamu solusi. Bukannya memaksa, tapi coba pikirkan baik-baik. Apa salahnya mencoba? Toh kamu tetap bekerja, tapi pikirkan kamu bisa jadi lebih plong dan masa bodoh." Kali ini Adiaz berkata seraya menyodorkan benda itu lebih dekat lagi pada Anton. Kedua tangan Adiaz dihempaskan secara kasar oleh Anton. Dia sudah tak dapat lagi untu
Pikirannya mengawang pada masa lalu. Di mana dia membunuh beberapa orang tanpa menyentuh mereka. Angela menyerang sesuatu yang paling rentan dari manusia … sisi psikologis mereka! ‘Aku tidak menyesal sudah membuat orang-orang menderita. Melihat wajah mereka yang menyedihkan membuat aku jijik.’ Di dalam hati ia berkata.Merebut pasangan orang lain, membuat mereka depresi, anak-anak kehilangan sosok ayah, menjadikan mereka pecandu, dan membuangnya setelah kere. Tak sedikit seorang istri yang mengalami depresi karena ditinggalkan pasangannya. Bukan, bukan penyakit jantung atau diabetes penyebab kematian terbesar, melainkan depresi berat yang berujung kematian. Dia menyalakan rokok kedua dengan pemantik yang diambilnya dari pelanggan tadi.“Entah bagaimana juga nasib anak haram yang aku tinggalkan begitu saja. Bukannya tidak punya hati, tapi mereka merepotkan. Aku ingin bebas dan banyak uang, bukan mengurus mereka yang hanya jadi beban saja." “Iya, aku sadar diriku ini hanyalah pelarian
“Kenapa merebut milik orang lain? Jika terjadi hal yang sama padamu, kamu bisa apa? Marah? Sadar diri sedikit. Baginya, kamu bukan apa-apa. Dia hanya tertarik sebentar, setelah itu, jika melihat yang lebih, maka dia akan pergi juga darimu, sama seperti yang aku alami sekarang. Nanti, kau akan paham, bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang kita cintai, hanya karena perempuan murahan sepertimu!" “Dia memilih aku karena aku lebih cantik, seksi, dan bisa membuatnya tergila-gila. Kalian sudah berhubungan selama delapan tahun, menurutmu, kenapa dia bisa dengan cepat pindah hati padaku? Itu karena dia tidak puas dengan wanita jelek sepertimu. Baginya, sekarang kau bukanlah siapa-siapa." “Kamu tahu bagaimana selama ini aku selalu berharap bertemu dengan Adiaz!? Aku seperti gila, hidupku tak karuan. Hanya karena wanita yang haus perhatian seperti kamu." “Ngomong apa, sih, lu!?" Tubuh Angela tiba-tiba kaku. Mentari mendorongnya hingga terduduk di bangku besi. “Kenapa Angela?! Tid