Shada mendelik melihat ponselnya sudah berada di tangan Demian. Meskipun tak membacanya dengan cermat, tapi sekilas ia sudah mampu menangkap siapa yang telah meneleponnya itu.
"Halo, Sayang. Aku sekarang sudah ada di depan rumahmu."Shada terpegun, lalu dengan cepat meraih ponselnya kembali, sebelum Demian menjawab teleponnya."Ha-halo, Max." jawab Shada dengan suara bergetar. Tidak bisa seperti ini, ia harus segera menyembunyikan kegugupan yang tengah ia rasakan. Ia pasti bisa."Sayang, kau mendengarku? Aku sudah berada di depan rumahmu. Bolehkah aku langsung masuk? Atau kau yang akan membukakan pintu untukku?" desak Max semakin membuat Shada buncah.Bagaimana ini? Pikirnya cepat. Sedangkan di dalam sini, di kamarnya, masih ada seorang pria yang tidak dikenalnya. Meskipun bukan manusia, pasti Max yang adalah pria normal, marah besar kepada Shada. Yang lebih beratnya lagi, hal ini tidak boleh sampai menggagalkan rencana pernikahan mereka. Ia lalu menatap Demian yang sudah merah padam."Tunggu sebentar, Max. Aku akan keluar," balas cepat Shada bingung apa yang akan ia lakukan dulu. Apakah ia harus mengusir Demian? Atau hanya menyembunyikannya sementara? Yang jelas kedua pilihan tersebut tetap membuat amarah Demian meledak. Bahkan, Shada belum tahu siapa sebenarnya sosok yang di hadapinya sekarang ini. Jangan-jangan ia dan Max langsung dibunuh oleh makhluk ini. Ia sangat khawatir."Kenapa? Kau sedang apa Shada malam-malam begini? Jangan lama-lama, di luar dingin." Max terkekeh di seberang teleponnya. Max sempat melirik ke arah balkon kamar Shada yang berada di samping rumahnya, terlihat jelas bahwa pintunya malam ini sedang dibuka.Shada bingung alasan apalagi yang akan dilontarkan pada Max, agar ia mempercayainya. Ia kesal dengan Max, yang ia pikir sengaja mengulur waktunya. Padahal Shada ingin segera menutup teleponnya, takut jika nanti Demian tak sengaja bersuara."Aku sedang akan berpakaian, Max. Aku baru saja selesai mandi," dustanya, ingin segera mengakhiri teleponnya.Max kembali terkekeh dibuatnya, "Justru dengan senang hati aku bisa masuk langsung ke rumah, Sayang," goda Max memunculkan semburat merah di pipi Shada."Ti-tidak, tunggu 5 menit. Ok? Aku akan mempercepatnya. Bye, Max." Shada lalu segera menutup teleponnya.Ia kemudian menatap Demian. Dilihatnya sekarang Demian melihat ke arahnya juga. Shada tak sengaja melihat kilatan amarah di mata hitam tajamnya. Ia lalu segera mengalihkan pandangannya, tak sanggup bertatapan mata dengan milik Demian lebih dalam."Demian, maafkan aku, bisakah kau pergi dari sini?" pinta Shada, sekarang ia sangat ketakutan. Ia belum siap mati ditikam oleh pria di depannya ini."Kau mengusirku?" suara berat Demian mengusik Shada.Shada bingung harus mengatakan apa. Sebisa mungkin, ia harus membereskan ini kurang dari 5 menit, karena Max telah menunggunya."Tidak. Bukan begitu, Demian. Kau tahu kan kalau kau tetap di sini-""Menurutmu aku semudah itu?" Demian memotong cepat uraian Shada dengan menyeringai.Kali ini Shada menatap wajah Demian lagi, menjelajahi guratan rasa kecewa di paras Demian. Shada merasa bersalah, namun ini sangat genting."Please, nanti malam kau bisa datang lagi. Ini sangat mendesak." Shada memohon, menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan Demian. Ia sangat takut dibunuh tiba-tiba. Jadi, bersujud di kakinya pun akan ia tempuh demi keamanan nyawanya."Lalu, kau pikir aku mau?" Demian terkekeh, ia tersenyum miring kembali.Melihat Demian yang seperti ini membuatnya bergidik ngeri. Ia terlihat tampan namun mengerikan. Sayang sekali, sekarang pun bukan waktu yang tepat untuk menanyai siapa sebenarnya Demian itu."Baiklah, aku pergi. Oh iya, pacarmu atau temanmu itu, atau apalah. Iya datang kesini hanya untuk memeriksamu," decit Demian dengan tatapan yang kembali menghunjam. Ia lalu berjalan sangat cepat, lebih dari kata cepat, seperti kekuatan super. Ia sampai di bibir pintu, lalu melompat lenyap bersama gelapnya malam.Shada mengerjapkan matanya. Iya tercengang dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata, Demian sama sekali tak berniat membunuhnya. Meskipun ia sangat ketakutan. Setelahnya, ia segera meraih outer rajut untuk menghangatkan tubuhnya, karena saat ini ia hanya memakai kaos ketat dan celana pendek.Ia berlari menuruni beberapa anak tangga, berderap ke depan dan membuka pintu bagi Max."Hai, Max," sapa Shada begitu melihat punggung kekar Max.Max menoleh lalu tersenyum menatap Shada. Ia mengenakan kaos polo navy, yang cocok dan menempel pada tubuh sixpacknya. Mata birunya menatap Shada."Hai, Sayang. Maaf, aku kesini karena sangat merindukanmu," ujar Max lalu meraih pinggang langsing Shada, memeluknya.Shada membalas pelukan Max yang pria lingkarkan itu. Ia tersenyum sambil menepuk pelan punggung Max."I miss you too, Babe," Shada sadar, betapa ia merindukan sosok Max selama ini. Meskipun mereka setiap hari bertemu, nyatanya Max selalu disibukkan oleh pekerjaannya. Sampai-sampai tak ada waktu khusus untuk Shada seperti ini. Shada sontak mengingat kata Demian tadi. Max ke sini untuk memeriksanya? Apa maksudnya itu? Muncul kerutan halus di dahinya, ia lalu melepas pelukannya."Max, kita bisa melanjutkan di dalam saja. Di luar udaranya dingin," Shada bergidik oleh angin yang menyapu lembut dirinya, ia memeluk dirinya sendiri agar dinginnya malam tak sampai masuk menembus rajutan outernya.Shada dan Max akhirnya masuk ke dalam ruang tamu yang membuat hangat kembali tubuh mereka. Max lalu mendudukkan dirinya di sofa, matanya dengan lamat menjelajahi tiap sudut ruangan Shada. Tetap seperti dulu, kesepian selalu menaungi tempat ini, tempat tinggal Shada. Batinnya.Max tersentak dan sadar, seharusnya ia memiliki waktu lebih untuk Shada. Ia tak mau wanitanya itu terlalu bergaul dengan sepi. Ia merasa sangat bersalah."Kau mau minum apa, Max?" tawar Shada, melepaskan outernya, lalu berdiri.Ia pun menuju ke dapur hendak melewati Max. Namun ketika berjalan dan tidak hati-hati, kaki Shada menyangkut pada salah satu sudut kaki meja.Shada terhuyun ke depan. Sedetik kemudian tangan tangkas Max menarik Shada ke pelukannya. Kejadian itu begitu cepat, hingga memacu detak jantung keduanya.Kini posisi Shada berada di atas Max, napasnya memburu seirama degup di dalam dadanya. Begitu juga Max, ia terlihat sedang berusaha mengatur napasnya."Temani saja, aku di sini. Jangan kemana-mana," pinta Max menatap wajah kekasihnya itu.Mata mereka saling berpendar satu dengan yang lain. Tubuh Shada bertumpu pada tubuh Max, ia menggelenyar aneh. Max mendekap lembut wajah Shada dan mencium bibir merah mudanya. Mereka saling berbalas dalam satu gairah yang sama.Ciuman mereka semakin dalam, napas keduanya terlihat bertambah memburu. Kedua tangan Max lalu dengan lembut menelusuri tubuh Shada.Ia menggerayangi mulai dari bokong Shada, lalu dengan pasti semakin membelai ke atas. Tangannya masuk ke dalam kaos ketat Shada, mengelus perlahan punggung polosnya.Tak berhenti di situ, tangannya kemudian dengan aktif berusaha menyentuh kedua dada Shada. Tiba-tiba Max ingin lebih. Maka, ia segera menggendong Shada menuju kamarnya.Hasrat dan gairah mereka menyatu hingga tak sadar sepasang mata tengah mengawasi mereka, mengepalkan tangannya kuat di sisi tubuhnya.- Bersambung..Max menggendong Shada di pelukannya. Ia lalu dengan perlahan mendaratkan tubuh Shada di tempat tidur yang didominasi oleh warna pastel itu. Ia membelai lembut wajah Shada. Ia pandangi wajah cantiknya kemudian mendorong bibirnya memagut bibir Shada. Mereka saling mengulum lembut, terlihat menikmati momen milik bersama.Dengan pelan, tangan Max menjelajahi tubuh Shada kembali. Ia mengeksplorasi tubuh halus yang ada di bawahnya. Kedua tangannya menelusuk ke dalam kaos Shada, menggerayangi kedua dada yang menggembung itu.Sedangkan Shada terlihat menikmati setiap sentuhan Max yang dilayangkan untuknya.Kini tangan Max sudah berada di balik bra, bermain-main di kulit polos Shada.Max sontak melepas ciumannya, dengan cepat segera melepaskan kaos ketat yang dipakai wanita tersebut. Dilihatnya pemandangan menggoda yang menyembul di balik bra berenda coklat yang sangat menawan.Ia tak sabar, segera ia singkap bra itu dan membebaskan pemandangan indah di dalamnya."So beautiful," kagum Max tetap
Kedua mata Ruth mengerjap tak percaya setelah mendengar apa yang baru saja Shada katakan. Ia tergagap dan terlihat kelimpungan."Apa maksudmu, Shada?" tanya Ruth meminta penjelasan kepada Shada. Kedua mata bronze terang Ruth semakin lama terlihat semakin gelap."Maksudku, aku sadar bahwa selama ini aku belum pernah mendengar tentang keluarga maupun kisah cintamu, Ruth," runtut Shada serius. Ia mengamati bagaimana reaksi sahabatnya itu. Juga kedua matanya.Sadar tengah diamati oleh Shada, Ruth segera menunduk membenamkan kedua wajahnya. Ia terlihat sedang mengendalikan dirinya saat ini. Beberapa detik kemudian, ia kembali menghadap Shada."Tentu, aku akan menceritakan kepadamu, Shada. Maafkan aku," ungkap Ruth seraya meraih kedua tangan Shada, dan menggenggamnya erat ke dalam jemarinya.Shada hanya mematung melihat sikap Ruth. Ia tetap menatap jauh ke dalam manik mata wanita itu yang kini berubah menjadi terang kembali."Sumpah, aku memang berencana untuk menceritakan semuanya kepadamu
Pria bermata perunggu terang itu dengan hati-hati meneliti wanita cantik yang ada di sampingnya. Setelah ia mengucapkan siapa sebenarnya dirinya, ia takut kalau Shada akan langsung menjauh. Ia tak mau itu terjadi.Pengakuan itu akhirnya terlontar bebas dari mulut Demian. Ia lega sekaligus kalut, tidak terlalu siap dengan bagaimana setelah ini wanita di sampingnya akan meresponnya.Sementara Shada hanya diam mematung. Wajahnya memucat. Ia tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja Demian ungkapkan.Vampir? Berarti dia seorang pembunuh? Batinnya meraung bertanya.Sekarang Shada tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah mendengarkan jawaban yang ditunggu, justru ia malah takut kalau reaksinya akan menyinggung Demian.Kaki Shada bergetar. Demian melirik kaki Shada sekilas lalu tertawa."Kau takut, Shada?" Demian bertanya selembut mungkin agar wanita di sebelahnya tidak mendadak berlari sambil berteriak."Kau pernah membunuh manusia?" ucap Shada setelah berhasil mengumpulkan kembali ke
Tiba-tiba dunia Shada berputar. Ia tidak salah dengar kan? Jadi, Max semalam berada di depan rumah? Bodoh kenapa dia tidak menyadarinya?! Rutuk Shada dalam hati.Shada menggigit bibirnya. Bingung harus menjawab apa. Detik ini, ia semakin gugup melihat Max yang sudah merah padam. Shada membuka mulutnya hendak berbicara ketika seorang wanita masuk ke dalam ruangan."Selamat pagi. Maaf saya karyawan baru di sini. Mohon bantuannya," sapa karyawan baru itu membuat Ruth langsung membuang muka dan mengalihkan pandangannya kembali ke meja kerja. Tidak seperti kebanyakan orang di ruangan itu yang justru hampir semua memperhatikannya.Wanita tersebut mengulas senyum manis. Tubuhnya tinggi semampai bak model yang terbiasa berlenggak-lenggok di atas karpet merah. Ia bermata coklat dengan kulit yang sangat eksotis. Rambut gelombang warna coklat peanut tergerai panjang. Sekarang ia mengenakan bodycon dress yang agak terbuka di bagian dadanya, melekat pas dan memamerkan dengan jelas lekuk tubuhnya. D
Air mata Shada terus mengalir menganak sungai. Shada terisak dan sesenggukan. Bahunya terlihat bergerak naik turun."Kenapa, Mom?" tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Setelah itu yang ia lakukan hanya menangis dan mendekap bibirnya dengan tangan, agar suara tangisannya tidak keluar.Ibunya yang ada di seberang telepon menjelaskan panjang lebar. Tapi Shada tak mendengar apapun, ini terlalu menyakitkan bagi dirinya. Selama ini ia sudah hidup sendiri, kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar negeri. Shada pikir selama di luar negeri keduanya terus menerus berhubungan dan menjalin komunikasi dengan baik. Nyatanya, mereka sama-sama tidak memedulikan satu sama lain, apalagi Shada. Mereka hanya mengejar kebahagiaannya sendiri."Jangan bicara denganku lagi, Mom! Selama ini aku sudah cukup hidup sendiri! Aku bisa hidup tanpa kalian! Jangan hubungi aku lagi!" teriaknya di tengah tangisnya.Shada memutus sambungan teleponnya sepihak. Tangannya mematikan telepon dengan cepat. Sebelum itu,
Max segera mengambil jasnya yang tersampir. Ia turun dan menuju tempat parkir. Mobilnya melesat cepat membelah jalanan besar Toronto. Ia mengemudi dengan menekan jidatnya yang terasa berdenyut-denyut, berpikir keras dimana keberadaan Shada sekarang. Sesekali mengedarkan pandang ke trotoar dan tepi jalan, berharap segera menangkap sosok Shada.Di ujung kefrustasiannya, Max melihat sekelebat wanita yang nyaris seperti Shada. Ia memelankan laju mobil seraya mengamatinya. Rambut pendek lurus berwarna coklat tua. Wanita itu mengenakan setelan blouse dan rok formal yang hari ini dikenakan oleh Shada.Di samping wanita tersebut berjalan seorang pria tinggi berkulit putih pucat, rambutnya cepak hitam legam. Dengan tangkas, Max meminggirkan mobil dan mengeremnya hingga berdecit panjang.Terlihat dua orang yang tengah diamati Max tersebut menoleh serempak namun hanya sekilas. Max menangkap bahwa itu Shada. Ia lalu segera turun dari mobil, menutup pintunya dengan keras dan menghampiri mereka."S
Mereka saling merasakan bagaimana candu bibirnya masing-masing. Tangan Demian dengan lihai mengelus paha putih Shada, perlahan bergerak mulai masuk ke dalam balutan handuk tipisnya. Tubuh Shada berdesir ketika tangan Demian bermain di sana. Ia mengerang pelan di tengah ciuman mereka.Shada mulai kehabisan napas. Kemudian ia melepaskan tautan bibirnya. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah lalu bicara."Demian, cukup," pinta Shada melihat wajah Demian yang sarat akan hasrat.Demian menatap Shada dalam, tangannya berhenti bermain di sana namun dengan pasti mulai merangkak naik, menelusuri tubuh polos Shada di balik handuknya.Shada menikmati setiap sentuhan lembut tangan kekar Demian yang ditujukan untuknya. Ia pandangi paras tampan di depannya sekarang, sangat menyenangkan baginya.Mula-mula tangan kokoh itu mengusap pelan perut Shada yang rata. Lalu naik menyapu kedua payudara Shada. Tangan Demian menangkup salah satu payudara kemudian meremasnya pelan, membuat Shada mengerang."Ka
"Siapa tadi? Ruth?" Kerutan halus di dahi Demian muncul. Setelah itu, ia bergerak resah.Shada menatap Demian. Ia sempat memperhatikan ekspresi Demian yang tersentak dan mengalihkan pandangan lurus sekarang, membubung jauh."Iya." Shada mengerjapkan kedua matanya. Ia penasaran kenapa Demian terlihat kaget."Siapa nama lengkapnya?" tanya Demian lagi. Pandangannya tetap terpaku pada langit-langit kamar Shada. Sepertinya, melihat ke atas lebih membuatnya tertarik."Ruth Allen," sahut Shada masih menilik ekspresi Demian. Demian terlihat buncah. Ia melipat kedua tangannya ke belakang kepala, menjadi tumpuan beban yang ada di benaknya."Kau tertarik padanya?" Shada mencoba menebak isi kepala vampir tampan yang ada di sampingnya ini. Namun, ada rasa takut jika ternyata Demian menyukainya. Ia belum siap jika malam-malam yang mereka nikmati akan berakhir. Padahal Shada cukup senang dengan kehadiran Demian yang menemani dan mampu menghilangkan rasa sepinya."Tidak. Lupakan." Demian berpaling unt
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa