Kedua mata Ruth mengerjap tak percaya setelah mendengar apa yang baru saja Shada katakan. Ia tergagap dan terlihat kelimpungan.
"Apa maksudmu, Shada?" tanya Ruth meminta penjelasan kepada Shada. Kedua mata bronze terang Ruth semakin lama terlihat semakin gelap."Maksudku, aku sadar bahwa selama ini aku belum pernah mendengar tentang keluarga maupun kisah cintamu, Ruth," runtut Shada serius. Ia mengamati bagaimana reaksi sahabatnya itu. Juga kedua matanya.Sadar tengah diamati oleh Shada, Ruth segera menunduk membenamkan kedua wajahnya. Ia terlihat sedang mengendalikan dirinya saat ini. Beberapa detik kemudian, ia kembali menghadap Shada."Tentu, aku akan menceritakan kepadamu, Shada. Maafkan aku," ungkap Ruth seraya meraih kedua tangan Shada, dan menggenggamnya erat ke dalam jemarinya.Shada hanya mematung melihat sikap Ruth. Ia tetap menatap jauh ke dalam manik mata wanita itu yang kini berubah menjadi terang kembali."Sumpah, aku memang berencana untuk menceritakan semuanya kepadamu kalau waktunya tepat. Untuk sekarang hidupku masih terlalu sensitif untuk diceritakan. Please, mengertilah.." Ruth memandang Shada dengan tatapan memohon, berharap kecurigaan wanita tersebut segera berakhir."Kau bisa memercayaiku, Ruth. Aku menunggu," sambung Shada melepas kedua genggaman Ruth lalu berderap ke mobil yang telah lama terparkir."Ayo, kita pulang. Hari sudah semakin sore," imbuhnya mengajak Ruth. Ruth segera berderap mengekor di belakangnya.Mobil mereka kembali menyusuri jalanan besar dengan suguhan semburat merah orange dan kuning keemasan yang membentang indah di horison.Shada sengaja memelankan laju mobil yang ia kendarai untuk menikmati kilauan senja yang selalu memukaunya. Tidak dengan Ruth, yang tidak peduli apapun di luar sana, jika ia sedang berada di dalam mobil, yang dibutuhkannya hanyalah tidur.Setelah memasuki kota, tujuan utama mereka adalah kembali ke kantornya terlebih dulu. Itu karena mereka harus mengembalikan mobil perusahaan serta melakukan check lock absensi kepulangan mereka. Sedangkan untuk dokumen yang sudah mereka kerjakan bisa disimpannya dahulu di tas, lalu akan mereka laporkan besok pagi.Situasi perusahaan sekarang sudah hampir lengang, sebagian besar karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Shada dan Ruth menuntun kakinya menuju ke kantor untuk melakukan absensi kepulangan mereka.Tadi Shada tak perlu repot membangunkan Ruth, karena temannya itu sudah bangun beberapa menit sebelum mencapai lokasi tujuan.Setelah selesai absen, tibalah mereka berpisah satu dengan yang lain."Bye, Shada.. sampai jumpa besok!" Ruth berjalan menghampiri mobilnya sambil melambaikan tangannya kepada Shada."Bye! Hati-hati di jalan, Ruth!" balas Shada sambil mengangkat kedua tangannya melambai tinggi agar terlihat jelas oleh Ruth yang berada cukup jauh dari posisi Shada. Lalu ia masuk ke dalam mobil, membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada Max bahwa ia telah tiba di kantor dan akan pulang secepat mungkin.Mobil Shada berderum meninggalkan kantor sore itu. Hanya butuh 20 menit saja untuk mencapai tempat tinggalnya. Setelah tiba di rumah, ia segera berhambur untuk membersihkan diri.Shada mengusap rambutnya yang masih basah ketika ponselnya berbunyi. Sontak ia melihat nama si penelepon sebentar, lantas mengangkatnya."Halo, Max," ucapnya setelah berhasil menempelkan ponselnya di telinga sebelah kanan."Sayang, kau sudah sampai rumah?" sahut Max di seberang teleponnya. Ia tampak mengkhawatirkan Shada, membuat senyuman Shada merekah seketika."Iya, Max. Aku barusan sampai. Kau ada dimana? Di jalan ya?" Shada mengerutkan dahi, sepertinya ia sedang mendengar kesibukan lalu lintas di sana."Aku memang sedang di jalan, Sayang. Ada pertemuan penting dengan kolega yang harus kuurus kerja samanya. Doakan berhasil ya," kata Max lalu melanjutkan, "Oh iya, lain kali aku akan mampir ke rumahmu lagi."Senyum Shada kembali terkembang tatkala mengingat Max semalam yang sampai menginap di rumahnya. Kedua pipinya sontak terasa panas dan merona."Tentu, Max. Aku selalu menunggu- Aaaaakh!" Shada kaget karena tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar. Hembusan angin langsung menyeruak bebas memenuhi kamarnya. Demian sudah berdiri anggun di bibir pintu tersebut."Suara apa itu?! Sayang, kau mendengarku?""Eh, kucing! Iya ada kucing. Teleponnya aku tutup dulu ya, Max. Aku ingin memastikan pintu kacaku. Bye," gumam Shada tergagap seraya menutup teleponnya dengan cepat."Shada.." suara berat Demian kembali mengalun lembut di pendengaran Shada."Aku sudah menunggumu. Masuklah," pinta Shada kepada Demian. Ia menatap Demian. Tampak Demian mengenakan kaos coklat yang melekat pas pada tubuh berototnya. Ia juga memakai celana jeans panjang, terlihat sangat kasual dan maskulin di mata Shada.Shada sempat melihat Demian menyeringai singkat, lalu dengan gerakan cepat mendekati Shada dan duduk di sampingnya. Bulu kuduk Shada kembali meremang, namun wajah dan tampilan Demian yang sangat tampan bisa mengalahkan ketakutannya.Ia mengamati wajah Demian. Ternyata semakin dekat, parasnya elok dan bersinar. Benar-benar ketampanan yang tidak nyata. Ia kembali terpesona. Ia juga melihat kedua matanya yang terang."Siapa sebenarnya kau?" tembak Shada langsung, namun seketika heran karena Demian hanya tertawa."Aku sudah menduganya. Kau tidak bisa ya basa-basi lebih dulu?" kekeh Demian memperhatikan Shada dengan kedua matanya yang tajam dan begitu kelam."Aku tidak bisa. Toh, kau juga bukan manusia. Apa tebakanku salah?" ungkap Shada berusaha membidik Demian. Ia was-was dan tetap mengawasinya.Demian semakin tergelak, lalu dengan lembut membelai wajah Shada dengan sebelah tangannya. Shada tercekat, kemudian menepisnya."Uh, kau galak sekali, Shada. Apa yang sedang kau inginkan? Tidur denganku lagi, hmm?" Kali ini seringaian Demian sangat menyebalkan bagi Shada."Cukup! Aku hanya ingin kau menceritakan tentang siapa dirimu." Shada berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang. Semua ini demi jawaban atas belasan pertanyaan yang selama ini selalu berputar di kepalanya."Tentu, aku akan menceritakannya. Motifmu sangat jelas dari tadi. Lain kali cobalah tidak mengumbar isi pikiranmu itu," sengit Demian sengaja menggoda Shada."Kau bisa membaca pikiranku?" Shada tersentak, namun juga merasa kagum. Hal itu semakin menguatkan dugaan Shada bahwa Demian adalah monster."Bisa," jawab Demian enteng."Lalu.. apa yang sekarang ada di pikiranku?" tanya Shada mengerjapkan kedua matanya cepat.Demian kembali terkekeh, "Mesum."Rasanya Demian ingin sekali bermain-main lebih lama lagi dengan wanita yang ada di dekatnya ini."Heh, aku serius! Mau kupukul?! Kau memang pantas babak belur di tanganku!" Shada nyaris berteriak. Baginya Demian ini, meskipun tampan sekaligus misterius, sangat menyebalkan. Tapi hal tersebut membuat penilaian Demian sebagai monster berkurang."Lalu, mau kucium?" goda Demian lagi. Di detik berikutnya, Shada sudah mendaratkan pukulannya tepat mengenai lengan kekar Demian.Setelah pukulannya mengenai lengan Demian, Shada tercengang. Ia lalu mencoba menyentuh pelan lengan kekar itu. Shada lalu mencubitnya, sementara Demian hanya tertawa geli melihat sikap Shada."Tekstur tubuhmu seperti manusia, bahkan tanganku tidak bisa menembus lenganmu. Siapa kau sebenarnya?" Shada heran. Ia menatap Demian dengan perasaan tak percaya.Kini rasa takut Shada semakin berkurang. Salah satu bukti yang menguatkan Shada adalah dirinya masih hidup dan bisa bernapas sampai sekarang. Pria tersebut tak melukainya sama sekali. Hal itu membuktikan setidaknya Demian bukanlah monster pembunuh.Shada memandang waspada ke arah Demian yang berada tepat di sampingnya. Begitu juga Demian yang hanya diam dan menatap lekat wanita itu. Ia lalu menjawab pertanyaan Shada dengan penuh penekanan."Vampir.. "- Bersambung..Pria bermata perunggu terang itu dengan hati-hati meneliti wanita cantik yang ada di sampingnya. Setelah ia mengucapkan siapa sebenarnya dirinya, ia takut kalau Shada akan langsung menjauh. Ia tak mau itu terjadi.Pengakuan itu akhirnya terlontar bebas dari mulut Demian. Ia lega sekaligus kalut, tidak terlalu siap dengan bagaimana setelah ini wanita di sampingnya akan meresponnya.Sementara Shada hanya diam mematung. Wajahnya memucat. Ia tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja Demian ungkapkan.Vampir? Berarti dia seorang pembunuh? Batinnya meraung bertanya.Sekarang Shada tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah mendengarkan jawaban yang ditunggu, justru ia malah takut kalau reaksinya akan menyinggung Demian.Kaki Shada bergetar. Demian melirik kaki Shada sekilas lalu tertawa."Kau takut, Shada?" Demian bertanya selembut mungkin agar wanita di sebelahnya tidak mendadak berlari sambil berteriak."Kau pernah membunuh manusia?" ucap Shada setelah berhasil mengumpulkan kembali ke
Tiba-tiba dunia Shada berputar. Ia tidak salah dengar kan? Jadi, Max semalam berada di depan rumah? Bodoh kenapa dia tidak menyadarinya?! Rutuk Shada dalam hati.Shada menggigit bibirnya. Bingung harus menjawab apa. Detik ini, ia semakin gugup melihat Max yang sudah merah padam. Shada membuka mulutnya hendak berbicara ketika seorang wanita masuk ke dalam ruangan."Selamat pagi. Maaf saya karyawan baru di sini. Mohon bantuannya," sapa karyawan baru itu membuat Ruth langsung membuang muka dan mengalihkan pandangannya kembali ke meja kerja. Tidak seperti kebanyakan orang di ruangan itu yang justru hampir semua memperhatikannya.Wanita tersebut mengulas senyum manis. Tubuhnya tinggi semampai bak model yang terbiasa berlenggak-lenggok di atas karpet merah. Ia bermata coklat dengan kulit yang sangat eksotis. Rambut gelombang warna coklat peanut tergerai panjang. Sekarang ia mengenakan bodycon dress yang agak terbuka di bagian dadanya, melekat pas dan memamerkan dengan jelas lekuk tubuhnya. D
Air mata Shada terus mengalir menganak sungai. Shada terisak dan sesenggukan. Bahunya terlihat bergerak naik turun."Kenapa, Mom?" tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Setelah itu yang ia lakukan hanya menangis dan mendekap bibirnya dengan tangan, agar suara tangisannya tidak keluar.Ibunya yang ada di seberang telepon menjelaskan panjang lebar. Tapi Shada tak mendengar apapun, ini terlalu menyakitkan bagi dirinya. Selama ini ia sudah hidup sendiri, kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar negeri. Shada pikir selama di luar negeri keduanya terus menerus berhubungan dan menjalin komunikasi dengan baik. Nyatanya, mereka sama-sama tidak memedulikan satu sama lain, apalagi Shada. Mereka hanya mengejar kebahagiaannya sendiri."Jangan bicara denganku lagi, Mom! Selama ini aku sudah cukup hidup sendiri! Aku bisa hidup tanpa kalian! Jangan hubungi aku lagi!" teriaknya di tengah tangisnya.Shada memutus sambungan teleponnya sepihak. Tangannya mematikan telepon dengan cepat. Sebelum itu,
Max segera mengambil jasnya yang tersampir. Ia turun dan menuju tempat parkir. Mobilnya melesat cepat membelah jalanan besar Toronto. Ia mengemudi dengan menekan jidatnya yang terasa berdenyut-denyut, berpikir keras dimana keberadaan Shada sekarang. Sesekali mengedarkan pandang ke trotoar dan tepi jalan, berharap segera menangkap sosok Shada.Di ujung kefrustasiannya, Max melihat sekelebat wanita yang nyaris seperti Shada. Ia memelankan laju mobil seraya mengamatinya. Rambut pendek lurus berwarna coklat tua. Wanita itu mengenakan setelan blouse dan rok formal yang hari ini dikenakan oleh Shada.Di samping wanita tersebut berjalan seorang pria tinggi berkulit putih pucat, rambutnya cepak hitam legam. Dengan tangkas, Max meminggirkan mobil dan mengeremnya hingga berdecit panjang.Terlihat dua orang yang tengah diamati Max tersebut menoleh serempak namun hanya sekilas. Max menangkap bahwa itu Shada. Ia lalu segera turun dari mobil, menutup pintunya dengan keras dan menghampiri mereka."S
Mereka saling merasakan bagaimana candu bibirnya masing-masing. Tangan Demian dengan lihai mengelus paha putih Shada, perlahan bergerak mulai masuk ke dalam balutan handuk tipisnya. Tubuh Shada berdesir ketika tangan Demian bermain di sana. Ia mengerang pelan di tengah ciuman mereka.Shada mulai kehabisan napas. Kemudian ia melepaskan tautan bibirnya. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah lalu bicara."Demian, cukup," pinta Shada melihat wajah Demian yang sarat akan hasrat.Demian menatap Shada dalam, tangannya berhenti bermain di sana namun dengan pasti mulai merangkak naik, menelusuri tubuh polos Shada di balik handuknya.Shada menikmati setiap sentuhan lembut tangan kekar Demian yang ditujukan untuknya. Ia pandangi paras tampan di depannya sekarang, sangat menyenangkan baginya.Mula-mula tangan kokoh itu mengusap pelan perut Shada yang rata. Lalu naik menyapu kedua payudara Shada. Tangan Demian menangkup salah satu payudara kemudian meremasnya pelan, membuat Shada mengerang."Ka
"Siapa tadi? Ruth?" Kerutan halus di dahi Demian muncul. Setelah itu, ia bergerak resah.Shada menatap Demian. Ia sempat memperhatikan ekspresi Demian yang tersentak dan mengalihkan pandangan lurus sekarang, membubung jauh."Iya." Shada mengerjapkan kedua matanya. Ia penasaran kenapa Demian terlihat kaget."Siapa nama lengkapnya?" tanya Demian lagi. Pandangannya tetap terpaku pada langit-langit kamar Shada. Sepertinya, melihat ke atas lebih membuatnya tertarik."Ruth Allen," sahut Shada masih menilik ekspresi Demian. Demian terlihat buncah. Ia melipat kedua tangannya ke belakang kepala, menjadi tumpuan beban yang ada di benaknya."Kau tertarik padanya?" Shada mencoba menebak isi kepala vampir tampan yang ada di sampingnya ini. Namun, ada rasa takut jika ternyata Demian menyukainya. Ia belum siap jika malam-malam yang mereka nikmati akan berakhir. Padahal Shada cukup senang dengan kehadiran Demian yang menemani dan mampu menghilangkan rasa sepinya."Tidak. Lupakan." Demian berpaling unt
Ponsel Max berbunyi ketika ia sedang fokus melakukan penelusuran berita yang memuat tentang kesuksesan Ell Food di laptopnya. Ia semakin frustasi karena perusahaan itu bisa mengalahkannya lagi. Bagaimanapun caranya nanti, Max harus dapat memenangkan persaingan ketat ini. Demi image dan kepercayaan kedua orang tua.Max melirik ponselnya yang menyala di atas meja. Tertera nama Shada di sana. Jari Max lincah mengetuk touch screen ponsel itu. Lantas sudut garis bibirnya tertarik ke atas ketika membaca chat dari kekasihnya."Tumben sekali dia mengajak makan malam," gumam Max pelan, tetap menyunggingkan senyumnya."Tunggu dulu. Jangan-jangan dia sudah menyadari pesonaku yang lebih dari pria selingkuhannya?" Max memasang wajah pongah. Rambutnya ia sisir rapi dengan jemari.Di tengah kesibukan pikirannya, Max mendengar suara ketukan pintu. Ia langsung mempersilahkan orang tersebut untuk masuk. Max heran kenapa Jennifer masuk ke ruangannya kembali.Max sangat kesal dengan sikap Jennifer barusa
"Kau ingin naik jabatan, Jennifer?" Kedua alis tebal Richard menyatu. Tangannya masih mengelus pelan paha yang menggoda itu."Siapa yang tidak ingin naik jabatan, Richard?" balas Jennifer dengan menengadahkan wajahnya ke atas menghadap Richard. Jarak antar wajah mereka sangat dekat hingga bisa merasakan hangatnya sentuhan napas masing-masing."Kau juga ingin kan?" kelitnya sambil mengusap lembut dada bidang milik Richard. Richard terlihat diam dan berpikir sejenak. Tiba-tiba ia mengulas senyumnya."Ayo kita kerja sama, Jennifer. Kita membentuk simbiosis mutualisme. Aku akan membantumu. Dan kau, juga akan menguntungkanku," cetus Richard dengan mata berbinar. Jennifer hanya menanggapi dengan setengah senyum. Ia merasa jika kerja sama akan membuatnya selalu dekat dengan Richard, ini di luar rencananya. Ia hanya ingin informasi saja, namun apa boleh buat? Richard harus bisa menguntungkan Jennifer secara maksimal. Batinnya mengintimidasi.Mendadak Richard menghadap ke Jennifer. Kedua tanga
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa