"Calon ...."
Mata Aisyah memandang Wanhan lekat lagi. Teringat dengan adik dari ayah Luna yang tiba-tiba mengajak ke jenjang pernikahan. Aisyah mulai tersenyum lebar, mengetahui sosok pelamar itu ternyata Wanhan. Lelaki yang dilihat sekilas pun sudah bisa ditebak berasal dari keluarga kaya. "Oh ya benar, kamu calon menantu ibu, kan?" Aisyah langsung mengakui Wanhan begitu cepat. Rasa percaya diri Wanhan yang semula sedikit, kini menggunung karena Aisyah sepertinya memberikan lampu hijau. Mata Arumi memandang tidak percaya ke arah ibunya yang malah menerima Wanhan. Padahal dulu sewaktu Luna hadir dan mengacaukan hidupnya, Aisyah orang pertama yang membenci Valdi dan keluarganya. "Benar, Ibu mertua," sahut Wanhan sembari tersenyum. "Saya ingin bicara dengan Bapak." Belum juga kepala Wanhan menoleh, tangan sudah ditarik oleh Arumi keluar ruangan. Wanhan sama sekali tidak menolak perbuatan mendadak dari Arumi. Meski, biasanya Wanhan sangat tidak suka disentuh oleh wanita. Berhadapan dengan Arumi, sepertinya Wanhan rela. "Nek," sebut Luna pelan. "Paman itu siapanya bunda?" Aisyah langsung tersenyum lebar. "Apa maksud Bapak mengakui saya sebagai calon istri? Bahkan di hadapan Luna dan ibu saya." Di depan ruangan rawat, Arumi mempertanyakan dengan suara yang pelan. Takut pasien di ruangan lain terganggu. Wanhan menatap Arumi yang nampak tidak senang. "Bukankah kita akan segera menikah?" "Saya tidak pernah bilang ingin menikah dengan Bapak." "Tapi, sepertinya ibu kamu sudah setuju," ujar Wanhan dengan penuh percaya diri. Arumi menarik napas. Sebenarnya, penolakan seperti apa lagi yang harus ia lakukan supaya Wanhan menyerah. Mata Arumi memandang perawat yang masuk dengan biasa saja. Namun, menyadari perawat itu bicara dengan ibunya. Arumi langsung masuk ke ruangan dengan terburu. "Katanya ibu mau pindah ruangan, Arumi," ujar Aisyah saat berhadapan dengannya. Dahi Arumi mengerut. "Kenapa harus pindah? Apa Ibu saya ada penyakit atau bagaimana?" Perawat menatap pada Wanhan. "Bapak ini meminta Ibu Aisyah dipindahkan ke ruangan lain." Arumi langsung menoleh pada Wanhan yang malah mendekati ibunya. Membantu perawat memindahkan Aisyah untuk duduk di kursi roda. "Aku tidak suka keramaian." Itulah yang Wanhan katakan saat Aisyah sudah dipindahkan ke kamar inap VIP, di mana hanya ada ibunya seorang pasien di ruangan ini. Arumi memandang Wanhan yang duduk santai di sofa tunggu. "Kalau memang Bapak tidak suka keramaian, kenapa tidak pulang saja?" celetuknya. "Arumi, jangan begitu dengan calon suami sendiri," komen ibunya. Arumi melirik Aisyah yang sedang memandang sekeliling ruangan sembari tersenyum. Perhatiannya mulai tertuju pada Luna yang perlahan mendekati Wanhan. "Ayah?" Wanhan tertegun dengan Luna yang tiba-tiba memanggil demikian. Namun, bibir mengulas senyum dan tangan terulur untuk menggapai Luna. "Kemarilah! Anak ayah." *** "Buka hatimu, Arumi. Wanhan itu pria yang baik." Arumi memandang ibunya yang selesai minum obat. Wanhan telah pergi sejak siang tadi, hanya menyisakan Arumi, Luna dan ibunya di ruangan ini. Hingga pukul 7 malam, Arumi dan ibunya masih mendebatkan hal yang sama. Sebab, Arumi belum mau menerima Wanhan. "Bukan hanya baik, dia juga dari keluarga kaya," sambung ibunya. "Yang Ibu pikirkan bukan sifatnya, kan? Tapi, hartanya." Aisyah menarik napas. "Ibu tidak munafik. Dengan kamu bersama pria kaya, hidup kamu akan lebih baik. Setidaknya kamu tidak akan menderita seperti ibu." "Tapi, aku tidak merasa menderita hidup di tangan Ibu." Aisyah meraih tangannya. "Kamu tidak mengerti, Arumi. Demi kamu dan kakakmu, ibu baru bisa bertahan dengan ayahmu." "Tanpa kalian berdua, ibu juga mungkin akan memilih pria kaya di luar sana." Apakah harta adalah hal utama yang menciptakan kebahagiaan? "Tapi, Bu. Status kami yang berbeda, tentu akan jadi permasalahan. Baik antar keluarga mau pun orang sekitar." Aisyah membisu sejenak mendengar penuturan Arumi. "Lalu, kapan kamu mau menikah?" Arumi menundukkan kepala. "Jarang lelaki yang memandang ibu satu anak tanpa adanya pernikahan sebelumnya, Bu." "Luna ...." Aisyah langsung berhenti bicara, ketika Luna yang semula menonton televisi mulai menoleh. Lantas, dengan ceria berjalan ke arah Arumi. "Bunda." Luna memeluk kakinya yang duduk di sebelah ibunya. Arumi mengelus kepala keponakan yang sudah ia anggap anak sendiri. "Kenapa, Sayang?" "Ayah kapan ke sini lagi?" Pertanyaan Luna membungkam bibir Arumi. Luna menaiki tubuh Arumi dan langsung dibantu olehnya. Sesekali Luna mengayunkan kedua kaki dengan ceria. "Akhirnya Luna punya ayah juga." Mata Arumi berkaca, sedari dulu Luna kerap menangis mencari keberadaan seorang ayah. Tapi, Arumi tidak bisa membayangkan seberapa kecewanya Luna kelak, jika tahu kalau Wanhan mau pun dirinya bukan orang tua kandung. Sementara itu, di kediaman Wanhan. Duduk Wanhan di kursi balkon, menikmati angin malam yang menerpa wajah. Dia mengambil segelas alkohol, menggoyangkan sejenak tanpa berniat meneguknya. "Bagaimana pun caranya, aku harus dapatkan Luna." Ekspresi Wanhan berubah suram. "Rasa bersalah ini harus ditebus, dengan Luna ada di sisiku mungkin aku bisa tidur nyenyak." Wanhan meneguk habis alkohol di tangan. Dia baru bisa tidur setelah dibuat mabuk oleh minuman ini. Ponsel yang berbunyi menyita perhatian Wanhan. Amat malas dia berdiri dari duduk, tujuannya memeriksa si penelpon yang kemungkinan sekretaris atau kolega bisnis. "Nomor baru." Wanhan menggumamkan nomor yang tidak dia simpan ini. Rasa malas semakin menjalar hingga Wanhan hanya mendiamkan dan telepon tidak terjawab. "Orang tidak ...." Mulut Wanhan berhenti bicara, padahal dia mengira hanya orang tidak berkepentingan. Ternyata pesan masuk setelah telepon tidak dijawab. "Saya Arumi, apakah tawaran Bapak masih berlaku?" Tanpa basa-basi, Wanhan langsung menghubungi nomor yang mengaku bernama Arumi ini. "Halo Pak Wanhan--" "Kamu di mana?" Wanhan langsung memotong pembicaraan sembari mengambil kunci mobil dan berjalan cepat, tepatnya setelah dia mendengar suara Arumi di telepon. "Saya masih di rumah sakit." "Tunggu aku di luar gedung." Belum sempat Arumi menjawab, Wanhan sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Dia bergegas menuju rumah sakit tempat ibu Arumi dirawat. Mengendarai mobil dengan cepat, Wanhan hanya butuh 15 menit untuk sampai di sana. Tanpa parkir, Wanhan keluar dari mobil dan menghampiri Arumi yang sudah bisa dilihat dari jauh. "Pak Wanhan," sebut Arumi. Mata Arumi terbelalak kaget ketika tubuhnya direngkuh oleh Wanhan. "Tawaran itu tidak ada batas kadaluarsa," ujar Wanhan. Namun, Arumi dibuat heran dengan mobil polisi yang berhenti di jalan dan nampak menghampiri mobil milik Wanhan. Dua polisi itu mencari keberadaan Wanhan selaku pemilik kendaraan. "Pak, apa Anda terlibat kecelakaan?"Wanhan tersadar akan satu hal. Dia yang memeluk Arumi perlahan mulai menjauhkan diri dan sepenuhnya melepas wanita ini. Sosok yang Wanhan harap membawa perubahan. "Pak." Mata Arumi yang bulat memandang dia lekat. Kepedulian sedang Arumi berikan, namun Wanhan sadari itu bukan karena adanya hubungan yang sebentar lagi terjalin. Melainkan, karena Wanhan selaku atasan di tempat kerja. Mulut Wanhan tertawa. "Aku tidak kecelakaan." "Lantas, kenapa Bapak membawa serta polisi ke rumah sakit?" Wanhan melirik polisi yang mulai berjalan mendekat. "Aku sepertinya ketahuan mengebut dalam kondisi mabuk." Pengakuan yang Wanhan berikan itu menimbulkan keterkejutan bagi Arumi. Sosok atasan yang dikenal sempurna ini, rupanya memiliki celah di malam hari. "Apakah Anda pemilik mobil itu?" Wanhan tersenyum dan memandang Arumi. "Tunggulah aku." Arumi hanya bisa diam dengan cemas, melihat Wanhan yang berjalan sempoyongan bersama polisi ke lain arah. Nampaknya identitas yang dimin
Pernikahan yang hanya dihadiri sedikit orang ini, membuat Aisyah memandang Arumi dengan cemas. Merasa kalau keluarga Wanhan yang kaya itu tidak menyetujui. Bahkan, tak ada banyak foto. Wanhan dan Arumi juga saling berjauhan meski sudah diarahkan berulang kali oleh fotografer. "Karena kami sudah menikah, aku berniat mengajak Arumi tinggal di rumahku, Bu." Wanhan langsung mengutarakan niat setelah acara pernikahan selesai. Aisyah sendiri tak perlu mempertimbangkan lama. "Tentu saja, Wanhan. Kamu sebagai suami berhak membawa Arumi serta Luna." Arumi hanya mendengarkan percakapan tersebut. Jika menolak, maka ia harus membawa Wanhan yang berasal dari keluarga kaya ini ke kontrakan. Tinggal bertiga saja sudah sempit, apalagi nanti ditambah Wanhan. Belum lagi, Wanhan yang terbiasa tidur di bawah AC justru harus menikmati kipas angin. *** Mata Arumi tersihir hingga mulut membisu, tepat setelah pintu rumah Wanhan terbuka. Perbedaan sangat jelas jika dibandingkan dengan kontraka
"Naiklah! Aku antar sampai samping kantor." Arumi hanya membisu karena tidak percaya dengan omongan Wanhan. Takutnya berhenti di depan kantor dan dilihat banyak karyawan. Mata Wanhan menyipit. "Kenapa tidak naik?" "Paling Bapak akan menjalankan mobil setelah saya mendekat." Pemikiran buruk itu membuat Wanhan menarik napas. "Apa aku selicik itu di matamu, Arumi?" Bukankah terbukti dari niatan Wanhan yang ingin menyeretnya paksa jika tidak setuju menikah? Arumi benar-benar ragu dan masih berdiam diri di tempatnya. "Masuk!" seru Wanhan. Wanhan yang kesal sampai membunyikan klakson beberapa kali. Pengendara banyak yang melirik membuat Arumi terpaksa memasuki mobil milik suaminya sendiri. "Kamu sungguh menguji kesabaran, Arumi," sindir Wanhan. Dari yang Arumi tahu, sifat Wanhan dan Valdi sangat jauh berbeda. Terbukti dari sosok Wanhan yang tingkat kesabarannya setipis tisu. "Bukankah saya sudah naik, Pak?" Wanhan mendelik, memang Arumi sejak dulu selalu membuat dia
“Pak,” sebut Arumi dengan mata terbelalak kaget. “Itu tidak perlu. Jika ingin belikan, lebih baik untuk Luna saja.” Wanhan tak mendengarkan dirinya sama sekali, tetap menyuruh pegawai dengan lirikan mata. “Mari, Bu. Ikut dengan saya untuk memilih!” pinta pegawai. “Tidak perlu,” Wanhan langsung menolak. “Kamu saja yang pilihkan.” Kalau Arumi sampai ikut, jangankan mencoba pakaian memilihnya saja pasti tidak akan dilakukan. Wanhan tidak bisa memasrahkan pakaian pada Arumi. “Baik, Pak.” Pegawai tersebut mulai meninggalkan mereka bertiga. Arumi memandang Wanhan sedikit kesal. “Apa? Diberikan hadiah harusnya kamu senang, bukannya tidak tahu terima kasih begini,” sindir Wanhan pelan, tentu takut Luna ikut dengar. Arumi menarik napas. “Jangan keluarkan uang Bapak, saya tidak sanggup menerimanya.” Tidak ingin meladeni Arumi, Wanhan lebih memilih berkeliling untuk mencarikan pakaian yang cocok untuk Luna. “Luna ke mari! Ikut dengan ayah memilih baju.” Amat ragu Luna
Tenaga Wanhan sedikit melemah, setelah dia menembus Arumi dengan paksa. Arumi yang kesal mulai memukuli suaminya amat keras, Wanhan sesekali menghindar namun tidak pernah membalas. "Bapak jahat sekali pada saya," adu Arumi masih menangis. Wanhan berusaha menenangkan Arumi, dia cium dahi sang istri cukup lama. "Arumi tenanglah! Aku tidak akan menyakiti kamu lagi." Tangisan Arumi mulai mereda, hingga meminta Wanhan untuk melepaskan dirinya. "Pak, lepaskan saya. Tolong, bangun dari tubuh saya!" pintanya. Bukannya menuruti, Wanhan justru mengangkat dagu Arumi dan mulai melayangkan beberapa kecupan di bibirnya. Arumi pun kaget dengan bagian bawah yang mulai digerakkan oleh suaminya. "Sebentar saja, Arumi," bisik Wanhan lembut. Arumi berusaha memberontak, namun Wanhan mencekal tangannya dan hasrat dia makin menggebu. Arumi yang belum merasakan kenikmatan hanya bisa meringis, menahan perih dan panas di bawah sana yang dijelajahi paksa. *** Wanhan menyugar rambut sembari
Desas-desus itu masih terdengar oleh telinga Arumi, namun Arumi tidak ingin meladeni mereka, sementara Dani hanya diam merasa kalau Arumi pantas mendapatkannya. "Ada apa pak Wanhan mencariku?" tanya Arumi. Dani mendelik dengan raut kesal. "Mana aku tahu kamu bisa tanya setelah tiba di sana. " Arumi memandang punggungan Dhani yang berjalan dengan cepat di hadapannya. Sebenarnya Arumi tidak ingin bertemu dengan Wanhan sekarang, teringat dengan kelakuan suaminya semalam. Namun, Arumi tidak bisa menunjukkan ketidaksenangan hatinya di hadapan banyak karyawan. Bagaimanapun pernikahan mereka berdua dirahasiakan, tidak boleh ada perasaan pribadi saat di kantor. Hanya butuh waktu 2 menit untuk sampai di depan ruangan kerja milik suaminya, Arumi mulai memasuki ruangan tersebut sendirian karena Dani meninggalkan dirinya setibanya di sana. “Kenapa Bapak mencari saya di tengah pekerjaan waktu bekerja?“ Wanhan yang semula telah menyiapkan beribu kata yang dia rangkai untuk mengkritik
“Dia karyawan tetap atau magang?” Bahkan saat makan malam, Wanhan yang masih penasaran mulai membahas kembali sosok Rehan. Arumi yang selesai menyuapi Luna sampai melirik. “Kenapa Bapak ingin tahu sekali?” Luna memandang kedua orang tua secara bergantian. “Iya, kenapa Bapak ingin tahu?” ulang Luna. Mata Wanhan dan Arumi menatap sang putri dengan raut kaget. Embel-embel “bapak” yang ditambahkan itu membuat Wanhan berkomentar. “Kenapa Luna berubah jadi panggil bapak? Kan Luna anak ayah.” Bibir Luna mengulas senyum. “Karena Bunda yang panggil, berarti Luna juga harus.” Begitu mendapat penjelasan, Wanhan langsung melirik pada Arumi yang menghindari tatapan suaminya. “Gara-gara kamu, Arumi. Luna jadi sembarangan panggil ayahnya sendiri,” keluh Wanhan. Arumi melirik, merasa tidak ingin disalahkan. Dirinya sama sekali tidak menyuruh Luna menyebut Wanhan demikian. “Mulai sekarang panggil aku lebih mesra di depan Luna,” ujar Wanhan menekankan. Namun, Arumi tidaklah meny
Wanhan berdehem sembari menghindari tatapan mata Arumi. “Luna main ke mana?” tanya Wanhan berusaha mengalihkan perhatian dia. “Dengan anak tetangga, di depan sana.” Mata Wanhan nampak melirik ke arah yang istri tunjuk, namun dia tidak menemukan siapa pun. “Luna di dalam, hari sore begini saya tidak bisa biarkan Luna berkeliaran di luar.” Soal itu, Wanhan sepertinya harus mengacungkan jempol pada Arumi karena telaten merawat Luna. “Ibu di rumah?” “Iya, Mas.” Mata Wanhan kembali meliriknya. Sebutan mas itu memang belum terbiasa terdengar di telinga, namun menurut Wanhan itu lebih baik ketimbang bapak. “Nanti langsung pulang?” Kepala Arumi menoleh sembari menemani suami berjalan ke arah rumah. “Memangnya mau ke mana lagi, Mas?” “Menginap,” sahut Wanhan cepat. Mendadak kaki Arumi berhenti melangkah, mata Wanhan melirik atas reaksi darinya. “Saya rasa itu tidak pantas.” Dahi dia mengerut, tidak pantas itu baru terucap jika Wanhan hanya orang lain. Sementara d
"Menurut kamu, wanita yang biasanya tidak pernah marah. Tiba-tiba dia bersikap selayaknya musuh." Wanhan langsung berhenti memainkan pena di jemari, dia tatap Dani yang sedang berdiri menunggu sang atasan menandatangani dokumen. "Apakah dia hanya sedang PMS saja atau memang lagi benci?" Setelah mendengarkan, Dani menggeleng dengan ragu. "Sedekat apa pun dengan wanita, saya tidak pernah tahu bagaimana wanita kalau lagi PMS." Wanhan diam sejenak, dia lupa kalau sang sekretaris selain bermulut tajam juga hampir tidak punya hati. Jadi, dekat dengan wanita pun mana mungkin mengerti. Dani memandang Wanhan dengan tertarik. "Apakah Bapak sedang dekat dengan wanita?" "Si Arumi," ujar Wanhan memberi tahu. "Dia hari ini sangat jutek padaku." Ekspresi Dani pun langsung berubah. Harapan lelaki tersebut, Wanhan bisa mengenal wanita lain dan menceraikan Arumi. "Saya merasa rugi, membuang waktu hanya untuk mendengarkan Bapak cerita di sini." "Tolong segera tanda tangani dokumennya, Pak," l
Arumi menoleh dengan menunjukkan raut wajah terkejut. Wanhan sedang bercanda dengannya, kan? Tak mungkin benar-benar menyuruhnya. Namun, sorot mata Wanhan membingkai tubuhnya dengan antusias. "Kenapa Mas melihat begitu?" Arumi terburu berpaling dari pandangan suaminya. "Aku sedang membayangkan, tubuhnya yang biasanya kulihat setengah telanjang. Memakai pakaian itu, bukan hanya setengah tapi hampir seluruh bagian nampak jelas." Mendengar ucapan tak senonoh dari mulut suami, membuat Arumi tak menyangka sama sekali. Lelaki berwibawa seperti Wanhan rupanya mengingat tubuhnya dengan baik. "Jadi, cobalah dan biarkan aku menilai pakaiannya," lanjut Wanhan. Bukan Arumi kalau langsung menuruti. Ia justru segera menyimpan pakaian tipis tersebut ke dalam lemari, membuat Wanhan memandang dengan ekspresi tidak senang. "Aku menyuruh kamu memakainya, bukan malah menyimpannya, Arumi," keluh Wanhan. "Ini masih sore, aku harus menemani Luna belajar." "Berarti kalau malam kamu bakal me
Aisyah membulatkan mata kemudian melirik pada Arumi yang menggelengkan kepala pelan. Wanhan juga menangkap ketidak setujuan sang istri. "Jangan pedulikan Arumi, Bu. Aku yang minta Ibu tinggal di sini," ujar Wanhan. Aisyah terkekeh. "Tidak perlu, Nak Wanhan." "Ibu tidak perlu merasa sungkan." "Ibu tidak terbiasa tinggal di rumah mewah," tolak Aisyah. Ibu mertua dia menolak tanpa bingung harus memberikan alasan. Berarti Aisyah memang tidak ada niat untuk tinggal dengan dia dan Arumi. Wanhan mengulas senyum. "Arumi terkadang merindukan Ibu, aku sebagai suami hanya ingin Arumi dekat dengan ibunya saja." Arumi segera melirik suaminya. Kapan ia kelihatan rindu pada ibunya? Padahal hampir tiap minggu dirinya berkunjung, terlebih jarak ke kontrakan ibunya tidaklah jauh. Wanhan membalas tatapannya dengan bibir yang masih mengulas senyum. Entah mengapa, dibalik keramahan suaminya sore ini seperti menyimpan sebuah rencana. "Ibu benar-benar tidak bisa tinggal dengan kalian," Ais
Arumi mengulas senyum dan mendadak bangun dari posisi duduknya. "Pak Wanhan, saya sebagai karyawan tentu sangatlah kenal," ujarnya. Wanhan justru tidak senang ekspresi Arumi yang masih bisa senyum, padahal hati dia sudah dongkol dan serasa ingin menjungkir balikkan meja resto. "Duduk duduk!" pinta Anggara sembari tertawa. Kali pertama Wanhan lihat sang kakek begitu gembira. Padahal Arumi yang dikenalkan pada dia tak lain istri sendiri. "Nah, berhubung makanan sudah dipesan. Kita makan bersama," ujar Anggara senang. "Aku sudah makan tadi." Namun, Wanhan yang terburu menolak membuat Anggara menoleh dan berdecak. "Kamu makan apa, sih? Orang Dani tidak keluar untuk beli makanan." "Aku bawa bekal!" Anggara makin tidak senang. "Bekal dari istri miskin kamu itu! Bisa keracunan kamu kalau memakannya." Mata Wanhan langsung melirik ke arah Arumi yang hanya menunduk dengan mulut terdiam. Mendengar kakek suaminya menduga ia menaruh racun di dalam bekal makanan. Anggara mendengkus. "Ap
Wanhan memasuki kamar dengan mata menemukan Arumi yang membeku. "Luna sudah bangun dan tadi bilang--" "Aku harus masak untuk bekal siang nanti." Selain memotong pembicaraan, Arumi juga bergegas meninggalkan kamar sang suami. Sampai Wanhan hanya bisa mengulas senyum melihat kelakuan istri yang dipastikan mendengar semua pembicaraan. "Jadi, dia dengar," ujar Wanhan masih dengan bibir tersenyum. "Itu artinya aku semakin bebas terhadapnya." Arumi berusaha bersikap seperti biasa, berdandan dan sempat memasak untuk bekal makan siangnya juga Wanhan. Namun, saat semuanya telah siap, Arumi justru mendengar suara mobil Wanhan yang menyala. "Masa harus lewat pak Dani lagi." Terburu Arumi berlari menuju depan rumah sembari menenteng bekal. Kapok rasanya menitipkan bekal lewat Dani, sudah tatapan lelaki itu memaki, mulut masih juga menyindir. Arumi bukanlah wanita dengan hati yang selalu sabar. "Mas bekalnya." Arumi langsung memberikan saat tiba di hadapan suami yang memasukkan Luna k
Ekspresi Airin menunjukkan tersinggung dengan ucapan dari Dani. Namun, setelah wanita tersebut mencerna, bibir langsung mengulas senyum. Kata rakyat jelata mendadak seperti pujian bagi Airin hingga terlihat senang. "Jadi, maksud kamu. Suami Arumi itu atasan kamu? Dia kaya raya begitu?" Dani mendengkus. Nampak tidak senang Airin menyebut Wanhan sebagai suami dari Arumi, wanita yang sangat tidak layak bersanding dengan sang atasan itu. "Karena tugas saya di sini sudah selesai, saya pamit pergi." Dani terburu bangun dari duduk dan meninggalkan Airin yang masih sibuk tersenyum. Membayangkan kehidupan yang lebih makmur lagi, setelah tahu punya adik ipar yang kaya raya. Setelah sadar dari lamunan, Airin mengambil ponsel dan mulai menghubungi Arumi. "Jam istirahat nanti ayo ketemu, ada yang ingin kakak bicarakan." Itulah pesan yang dikirim oleh Airin. Pada waktu istirahat, Arumi benar-benar menemui sang kakak karena ingin tahu apa yang dibicarakan, sebab Airin menyebutkan Wan
Melihat Wanhan yang tidak ada niatan untuk mengemudikan mobil itu, membuat Airin tersenyum sangat ceria pasalnya merasa ada kesempatan.Airin mendekat dengan langkah tak sabaran."Adik ipar, bisa kita bicara?"Wanhan sempat melirik jam di tangan."Tidak akan lama, kok." Airin langsung memberi tahu.Yakin kalau kakak Arumi ini hanya akan bicara sebentar, Wanhan pun membuka pintu dan turun dari mobil. Bagaimana pun wanita ini ialah kakak ipar bagi dia. Tak mungkin bertindak kurang ajar. Airin sendiri terkesima dengan ketampanan Wanhan ketika dilihat dari dekat. Wanita tersebut mendadak merasa kalau Wanhan mirip dengan seseorang."Apa yang ingin Kakak ipar katakan?" tagih Wanhan.Airin tersenyum. "Apa kamu punya uang?"Mata sempat melirik pada mobil Wanhan yang diketahui mahal, Airin makin yakin kalau Wanhan bukanlah pria kere. "Berapa yang Kakak ipar inginkan?" Wanhan langsung membuka transaksi tak menguntungkan.Airin sangat ceria begitu Wanhan menyuruh menyebut nominal. "Cuma 20 jut
Rasa heran menelusup ketika Arumi berjalan semakin memasuki cafe dan beneran menemukan Wanhan di sana. Sebelumnya Wanhan mengirimi dirinya pesan untuk bertemu."Pak Wanhan," sebut Arumi sembari mendekat.Dahi Wanhan mengerut, begitu embel-embel itu kembali dia dapatkan dari Arumi."Kenapa, Mas minta bertemu di sini?" bisik Arumi pelan.Tapi, begitu sudah berdiri di hadapan dia. Panggilan Arumi langsung berubah, rupanya sang istri sedang bersikap hati-hati karena dia mengajak bertemu di cafe samping kantor."Duduk," pinta Wanhan.Arumi menarik kursi dan mulai menempatkan tubuhnya di sana."Jadi, ada apa, Mas? Luna beneran di antar sampai sekolah, kan?" Suara Arumi makin pelan saja.Wanhan bukannya menjawab, malah balik memberi pertanyaan."Kamu selingkuh dariku?""Hah?"Arumi menunjukkan raut wajah yang heran. Wanhan mendekatkan tubuh ke arah Arumi yang hanya terhalang oleh meja. "Kamu ketawa-ketawa sama anak magang itu, kamu kira aku tidak tahu?" suara Wanhan pun ikut pelan.Arumi b
Arumi memandang kaget ke arah suaminya. Meski, untuk saat ini yang mendengar ucapan Wanhan hanya dirinya seorang. Wanhan sendiri melihat reaksinya langsung menoleh dengan dahi yang mengerut. Dia heran, Arumi sampai sekaget itu dan menimbulkan pertanyaan bagi dua pembantu yang menyaksikan. "Apa Ibu kelupaan sesuatu?" tanya salah satu pembantu. Setelah sadar, Arumi menggeleng sembari tersenyum. "Tidak ada." Namun, sorot mata sempat tertuju pada Wanhan yang kembali sibuk dengan kegiatan sendiri. Arumi pun memutuskan untuk kembali mengoleskan kecap. Sempat Wanhan melirik balik ke arah istri, perlahan bibir dia mengulas senyum, itu pun sangatlah tipis. Pada malam harinya. Luna benar-benar tidur di tenda, tentunya ditemani oleh Wanhan dan Arumi. Permasalahan pun datang setelah Luna tertidur lelap. "Kemari!" Wanhan memerintah dengan suara pelan. Namun, sorot mata begitu mengintimidasi Arumi yang hanya diam. Mereka berdua tidur dengan Luna sebagai penghalang. "Di sini ada Luna, Mas