Mata Arumi memandang suami yang sedang menggotong Luna memasuki rumah, putri kecilnya itu tetap terlelap bahkan setelah tiba di rumah. "Luna sekarang lebih berat sedikit," komen Wanhan dengan suara pelan. Arumi mengikuti Wanhan menaiki tangga dari belakang. Hanya bisa memandang Wanhan yang begitu hati-hati membawa Luna. "Sudah ditimbang berapa berat badannya yang sekarang?" tanya Wanhan. Kepala Wanhan sempat menoleh padanya, meminta jawaban dari Arumi yang diam saja sejak tadi. "Tahun depan, ada bidan yang cek rutin di sekolah." Begitu selesai menaiki tangga, bukannya segera membuka pintu yang sudah ada di depan mata. Wanhan malah menghentikan langkah kaki hanya untuk memandangnya. "Apa saja yang biasanya dicek?" "Ukur tinggi badan, berat badan, penglihatan sampai tekanan darah. Kalau vaksinasi beda jadwal," sahutnya lancar. Wanhan bisa menyimpulkan kalau Arumi yang bekerja giat, ternyata tahu betul apa yang Luna dapatkan di sekolah. Berarti Luna yang selalu cerita d
Wanhan benar-benar mengunjungi sang kakek selepas pulang kerja. Lelaki tua itu bergegas melempar gelas kosong ke arah lantai, tepat di hadapan kaki yang Wanhan pijakkan. "Oh," ujar Wanhan santai. "Aku kira bakal terisi kopi panas atau setidaknya alkohol." "Rupanya hanya gelas kosong," lanjut Wanhan sembari mendekat dengan senyuman mengejek. Anggara hanya memelototi sang cucu dengan mulut membisu. "Kamu ke mana saja! Saat hidup dan mati kakekmu ini dipertaruhkan!" sewot Anggara kemudian. Wanhan mendudukkan diri di atas sofa yang bersebrangan dengan sang kakek. "Dari yang aku dengar, bukankah hanya ponsel saja yang dijambret. Kenapa nyawa bisa terancam?" Melihat Wanhan yang begitu tidak peduli, membuat Anggara emosi pun percuma. Lelaki tua tersebut hanya menarik napas panjang. "Andai aku punya cucu menantu yang baik hati, dia tidak akan membuat pria tua ini cemas." Wanhan berdecak. "Bukankah aku sudah menikah? Untuk apa berharap punya menantu lagi?" "Kayak punya cucu
Suara gemuruh itu mulai terdengar dari langit, menandakan malam sebentar lagi akan ditemani hujan. Namun, suara Arumi lebih mendominasi di dalam kamar ketimbang petir yang kerap menjalar di langit. Wanhan tersenyum setiap kali perbuatan dia berhasil membuat Arumi kewalahan. Wanhan mulai bergerak perlahan seolah menyudahi malam panas di antara mereka, sampai Arumi menarik napas lega. "Kenapa Arumi? Apa kamu berpikir sudah selesai?" Pandangan Arumi tertuju pada Wanhan masih dengan napas yang lelah. "Bukankah sudah?" tanya Arumi pelan. Bibir Wanhan mengulas senyum, tubuhnya ditarik oleh Wanhan, kini Arumi berada di atas pangkuan. Ketika ingin turun, Wanhan langsung mencekal kedua pantatnya. "Aku belum selesai," ujar Wanhan. Arumi tersentak ketika tangan Wanhan menuntun untuk melanjutkan kegiatan, pertemuan yang amat kencang di bawah sana membuat Arumi menggigit bibir. Bukankah rasanya sakit? Seperti terakhir kali. Kenapa bisa senikmat ini? Wanhan yang berharap Arumi
"Namanya Arumi, dia seorang janda. Dia karyawan kamu sendiri." Anggara kembali menjelaskan dengan raut wajah yang sangat antusias. "Kamu tidak ada rencana untuk memperistri dia?" Wanhan yang semula membisu, berusaha mencari nama Arumi lain yang bekerja di perusahaan dia. Ternyata hanya istri dia seorang yang bernama Arumi. "Aku sudah menikah," ujar Wanhan santai. Anggara berdecak. "Arumi ini lebih cantik dan baik ketimbang istri tidak jelasmu itu." Kalau saja Anggara tahu, Arumi yang sedang dibicarakan dengan sosok istri dia orang yang sama. Entah sang kakek akan tertawa senang atau justru berakhir dengan tidak menyukai keduanya. "Lagi pula, aku tidak kenal wanita bernama Arumi itu. Untuk apa juga menikahi wanita yang tidak dikenal," ujar Wanhan mengundang amarah bagi Anggara. "Makanya kenalan!" Wanhan memandang sang kakek lekat. Dia sedang berpikir, sebenarnya di mana Arumi dan Anggara pernah bertemu. Perihal apa yang terjadi, sampai sang kakek begitu menyukai istri
"Apa yang Ibu tangisi? Arumi sudah berumah tangga, kalau pun pengeluaran paling hanya untuk aku seorang.""Ibu keberatan, begitu?"Mulut Airin terus saja menyerocos, namun Aisyah hanya mendelik dengan hati mengelak. Bukan begitu, wanita tersebut menangis karena masa depan Arumi yang tergambar bahagia sekarang jadi abu-abu kembali.Airin melirik sekeliling ruang depan. "Nanti aku mau beli sofa.""Uang dari mana!" Aisyah langsung ngamuk."Minta sama Arumi."***Wanhan yang telah bersiap, menuruni anak tangga sembari membawa kunci mobil. Dia telah berjanji pada Arumi untuk mengantar ke rumah mertua. Namun, dahi Wanhan mengerut sebab dia melihat istri dan anak justru diam di hadapan televisi yang menyala."Bukannya minggu mau ke rumah ibu mertua? Kenapa kamu cuma pakai daster saja?"Arumi menoleh dan memperhatikan pakaiannya. Dress yang dibeli mahal, hanya dilabeli daster oleh suaminya sendiri."Ibu melarang aku main ke rumah, Mas.""Alasannya?"Wanhan mendekat, namun tidak segera duduk
"Mas berencana membunuhku?" Wanhan yang semula bangga telah mengutarakan bahwa dia memilih Arumi secara berani. Mendadak menoleh dengan raut tidak percaya setelah mendapat tuduhan dari istri sendiri. "Sebenarnya kamu mengerti yang aku bicarakan tidak, sih?" Nada suara Wanhan terdengar emosi. Arumi terkekeh, menertawai ekspresi marah dari suaminya yang tidak bisa disembunyikan. "Aku mengerti, Mas." Wanhan mendengkus dengan mata kembali melihat ke depan, Luna yang mulai dilayani oleh penjual nampak memandang antusias pada bakso yang diolesi kecap. "Mungkin aku brengsek, tapi tak sampai menyentuh nyawa," ujar Wanhan dengan suara pelan. Tangan dia diam-diam mengepal. Lebih tepatnya, hanya untuk terakhir kali dia pernah melakukannya. Dikelabui oleh kakek sendiri, Wanhan berakhir dengan mencelakai Valdi. *** Airin yang terus saja mengganggu Arumi lewat pesan dan telepon, amat terpaksa Arumi menemui wanita tersebut seorang diri di sebuah cafe. Pandangan Airin mendapati Arumi memar
Arumi memandang kaget ke arah suaminya. Meski, untuk saat ini yang mendengar ucapan Wanhan hanya dirinya seorang. Wanhan sendiri melihat reaksinya langsung menoleh dengan dahi yang mengerut. Dia heran, Arumi sampai sekaget itu dan menimbulkan pertanyaan bagi dua pembantu yang menyaksikan. "Apa Ibu kelupaan sesuatu?" tanya salah satu pembantu. Setelah sadar, Arumi menggeleng sembari tersenyum. "Tidak ada." Namun, sorot mata sempat tertuju pada Wanhan yang kembali sibuk dengan kegiatan sendiri. Arumi pun memutuskan untuk kembali mengoleskan kecap. Sempat Wanhan melirik balik ke arah istri, perlahan bibir dia mengulas senyum, itu pun sangatlah tipis. Pada malam harinya. Luna benar-benar tidur di tenda, tentunya ditemani oleh Wanhan dan Arumi. Permasalahan pun datang setelah Luna tertidur lelap. "Kemari!" Wanhan memerintah dengan suara pelan. Namun, sorot mata begitu mengintimidasi Arumi yang hanya diam. Mereka berdua tidur dengan Luna sebagai penghalang. "Di sini ada Luna, Mas
Rasa heran menelusup ketika Arumi berjalan semakin memasuki cafe dan beneran menemukan Wanhan di sana. Sebelumnya Wanhan mengirimi dirinya pesan untuk bertemu."Pak Wanhan," sebut Arumi sembari mendekat.Dahi Wanhan mengerut, begitu embel-embel itu kembali dia dapatkan dari Arumi."Kenapa, Mas minta bertemu di sini?" bisik Arumi pelan.Tapi, begitu sudah berdiri di hadapan dia. Panggilan Arumi langsung berubah, rupanya sang istri sedang bersikap hati-hati karena dia mengajak bertemu di cafe samping kantor."Duduk," pinta Wanhan.Arumi menarik kursi dan mulai menempatkan tubuhnya di sana."Jadi, ada apa, Mas? Luna beneran di antar sampai sekolah, kan?" Suara Arumi makin pelan saja.Wanhan bukannya menjawab, malah balik memberi pertanyaan."Kamu selingkuh dariku?""Hah?"Arumi menunjukkan raut wajah yang heran. Wanhan mendekatkan tubuh ke arah Arumi yang hanya terhalang oleh meja. "Kamu ketawa-ketawa sama anak magang itu, kamu kira aku tidak tahu?" suara Wanhan pun ikut pelan.Arumi b
Wanhan memandang mata Anggara dengan sedikit terkejut. "Maksud Kakek apa?"Anggara menghela napas kesal. "Kakek melihat dengan mata kepala sendiri! Arumi membicarakan kandungannya dengan lelaki lain."Wanhan mengernyitkan dahi. "Apakah dia tinggi dan pakaiannya kemeja motif?"Seingat Wanhan, lelaki yang sok baik dan akrab dengan Arumi hanya Rehan seorang. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Anggara terlihat kaget karena cucu sendiri malah tahu.Helaan napas Wanhan pun terdengar berat. Sudah dia duga, kalau hanya Rehan yang dekat dengan Arumi. Sementara Anggara justru terlihat makin marah."Kamu kenal lelaki itu, tapi kamu malah diam saja dan merelakan Arumi!"Wanhan hanya diam saja. Sekali pun tangan dia mengepal karena kesal, mendengar ada yang tahu soal kehamilan Arumi selain keluarga. Terlebih orangnya lelaki yang menyukai istri dia."Berhubung Kakek baik saja dan ditangani dokter, aku akan kembali pulang," Wanhan langsung pamit.Anggara kaget mendengar omongan dari cucu kesayangan."Eh!
"Jadi, Luna dijemput oleh kak Airin dan diajak pergi?"Setelah suasana tenang, Arumi duduk di ruang tengah dengan Luna di pelukannya. Wanhan yang duduk di depan mereka berdua mengangguk pelan.Arumi memandang sembari mengusap kepala Luna dengan lembut. "Luna dipaksa atau ikut sendiri?""Ikut sendiri," sahut Luna sembari bersembunyi di tubuhnya."Maaf ya, Bunda."Jemari Arumi masih mengusap. "Tidak apa. Tapi, lain kali harus tunggu bibi atau paman sopir kalau mau ikut sama tante, ya."Kepala Luna mengangguk pelan. Wanhan memandang padanya yang bisa dengan tenang saat bicara. "Ayah sudah minta maaf sama Luna? Begitu pun sebaliknya.""Sudah," sahut Luna dan Wanhan hampir bersamaan.Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Menurutnya Airin berhak jika ingin bertemu dengan Luna, toh wanita itu ibu kandung dari Luna. Bedanya Airin pasti ada tujuan tertentu sampai menemui Luna, seperti halnya menginginkan uang lebih banyak. Arumi paham kenapa Wanhan bisa sampai marah."Nah, sekarang Lun
Matahari yang mulai bersiap untuk tenggelam satu jam lagi, terlihat Arumi memasuki mobil milik Wanhan yang terparkir cukup jauh dari kantor.Namun, Arumi merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Biarpun Wanhan mulai mengemudikan mobil, suaminya ini terlihat diam membisu dengan raut wajah yang menahan amarah."Ada apa, Mas? Apa di kantor sedang ada masalah?" Arumi langsung bertanya.Wanhan menoleh. "Tidak ada."Jawaban singkat dan raut wajah yang masih belum berubah membuat Arumi yakin, kalau suaminya ini sedang kesal."Apa aku yang buat masalah?""Kamu tidak buat masalah apa pun."Arumi jadi heran. "Kalau bukan masalah di kantor, bukan karena aku juga. Terus kenapa Mas kelihatan kesal begini?"Wanhan pun melirik wajah sendiri di spion. Memang kemarahan dia tidak bisa disembunyikan. Wanhan menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri."Aku tidak kesal atau marah kok, Arumi."Kepala Arumi mengangguk. "Baiklah."Meski penasaran, tapi Arumi tidak mungkin terus mendesak Wanhan unt
"Ya?" Wanita tersebut berusaha mencerna ucapan dari Wanhan. "Maksud Bapak, Arumi bersuami dan sudah menikah?" Kepala Wanhan mengangguk membenarkan. Pandangan wanita tersebut tertuju pada Wanhan dengan pemikiran yang buruk. "Arumi sedang mengandung dan sudah bersuami, lalu Bapak masih mendekatinya?" Wanita tersebut bertanya dengan hati-hati. "Itu anakku." Pengakuan itu berhasil membuat ketua divisi Arumi menahan napas sejenak. Merasa dugaan yang buruk ternyata benar adanya. Arumi wanita yang murahan. Sudah tahu bersuami, tapi masih berselingkuh dengan atasan sendiri di kantor. Melihat karyawan dia yang hanya diam, tak memberikan reaksi terkejut membuat Wanhan berbicara lagi. "Sepertinya kamu masih belum paham ya." "Soal apa, Pak?" Wanhan menarik napas. "Aku suami Arumi itu, jadi sangat wajar kalau aku yang menghamilinya." Begitu mendengar pengakuan lagi, wanita tersebut barulah membulatkan mata dengan menunjukkan raut wajah yang terkejut luar biasa. Bahkan tangan sempa
"Bapak sudah tidak waras, ya?"Datang-datang Dani langsung mengeluhkan kelakuan Wanhan. Sampai Wanhan yang semula sibuk bekerja, terpaksa mengalihkan pandangan pada sang sekretaris."Kamu punya adab, kan? Sekali pun pintu terbuka, kamu wajib mengetuknya dahulu," protes Wanhan.Bukannya mendengarkan dan intropeksi, Dani justru menghela napas kemudian mengeluarkan ponsel."Bapak minta saya untuk bertemu lagi dengan kakaknya Arumi dan memberinya uang.""Bagaimana mungkin saya ingat untuk mengetuk pintu?"Wanhan sepenuhnya berhenti dari kegiatan dia membuka halaman demi halaman dokumen. "Aku hanya menyuruh kamu seperti biasanya, kenapa masih saja mengeluh?"Dani langsung menarik napas panjang. "Masalahnya, uang yang Bapak berikan itu besar. Hampir 200 juta, sebenarnya apa yang sudah dia lakukan sampai Bapak seloyal ini?" keluh Dani panjang lebar.Mulut Wanhan membisu sejenak. Dia tatap sekretaris yang mungkin seharusnya tahu."Dia sudah tahu soal hubunganku dengan kak Valdi," sahut Wanh
"Kalau bukan perumpamaan, sudah saya tambah beras supaya tidak jadi bubur," sahut Dani membuat Wanhan melirik. "Oh ya, hari ini jangan lupa ada jadwal makan dengan pak Anggara." Dani tiba-tiba saja mengingatkan hal yang ingin Wanhan lupakan. Wanhan menarik napas kesal. "Kenapa kamu harus mengatakannya sekarang sih?" Dani mengerutkan dahi, melihat atasan yang malah marah diingatkan. "Kalau saya tidak bicara sekarang, saat Bapak sibuk justru lebih tidak mendengarkan." Lirikan Wanhan menjadi tajam. Sekretaris dia benar-benar butuh pendamping yang memikat hati pria lain sekali pun hanya diam, supaya Dani ikut merasakan seperti apa kesalnya hati dia. ** Wanhan makan malam bersama sang kakek dengan mulut membisu, kalau ditanya baru sesekali jawab. "Sebenarnya kamu kenapa sih? Seperti wanita yang lagi haid saja," sindir Anggara saking herannya. Wanhan melirik sejenak, kemudian meletakkan alat makan karena sudah selesai. "Aku sedang sibuk-sibuknya di kantor, Kakek malah m
Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Berusaha ia cari kebohongan di mata suaminya, namun tak ditemukan olehnya. Hanya ada keseriusan yang Wanhan tunjukkan."Bu, aku rasa Arumi lelah," ujar Wanhan tiba-tiba setelah suasana hening."Aku akan bantu Arumi kembali ke kamar."Mendengar maksud dari sang menantu yang ingin bicara berdua dengan Arumi, membuat Aisyah langsung mengerti dan segera bangun dari tempat duduk."Tentu saja Nak Wanhan. Kalau begitu ibu melihat Luna dulu."Jemari Wanhan terulur ke arahnya. Mulanya Arumi merasa ragu, namun pada akhirnya ia mulai meraih suaminya dan bangun dibantu oleh Wanhan."Aku tidak lumpuh, Mas," ujarnya karena berjalan pun tangan masih dituntun oleh Wanhan."Diam."Arumi menurut dan langsung membisu. Namun, Wanhan yang menyadari ucapan dia sendiri telah salah, Wanhan langsung mengeratkan tangan yang menggandeng Arumi."Kamu tidak lumpuh, kok. Aku cuma mau gandeng kamu sampai kamar saja."Mata Arumi memandang pada suaminya yang terlihat damai h
Arumi membulatkan matanya. "Buat apa ke klinik, Mas?" Wanhan mengulurkan tangan untuk digapai olehnya. "Periksa, barangkali memang kamu lagi hamil," sahut Wanhan. Arumi meraih tangan suaminya dan dituntun untuk keluar dari area kamar mandi. Terlepas benar tidaknya Arumi mengandung, Wanhan hanya tidak ingin istri tergelincir karena lantai yang barangkali licin. "Aku tidak hamil, Mas. Hanya masuk angin saja, serius," ujar Arumi terdengar kekeh. "Apa salahnya periksa, Arumi?" Dorong ibunya. Sementara Luna sudah tersenyum senang semenjak tadi. Sangat berharap benar-benar memiliki seorang adik. Melihat Arumi yang hanya diam, terlihat tidak ingin pergi dan memeriksakan diri membuat Wanhan angkat bicara. "Kamu sudah telat Arumi, masih tidak mau periksa?" Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Dirinya sedikit terkejut karena suaminya ternyata tahu kapan tanggal datang bulannya. Memang tidak dipungkiri, Arumi sadar namun pemikirannya justru menganggap paling hanya te
Bibir Arumi mengulas senyum sedikit. Dirinya tahu, siapa orang yang dimaksudkan oleh Wanhan. Sosok yang membungkam para karyawan duluan sebelum diperintah. Tentu saja orangnya Dani, sosok yang sangat tidak ingin pernikahannya dengan Wanhan diketahui. "Jadi, kakakmu yang buat kamu basah saat makan siang?" Arumi sempat menjawab saat Wanhan bercerita di tengah hubungan badan mereka barusan. Kepala Arumi mengangguk mengiyakan. Wanhan menarik napas, merasa kalau kakak dari Arumi makin lama makin ngelunjak. "Aku akan menyuruh Dani untuk menemui kakakmu itu," putus Wanhan. Mata Arumi membulat. "Jangan, Mas!" Dirinya langsung saja melarang, tentu saja Arumi seperti ini bukan tanpa alasan. "Kalau Mas suruh pak Dani, maka ujungnya Mas bakal memberi uang," ujarnya. Wanhan mengerutkan dahi. "Lantas, menurut kamu aku harus bagaimana, Arumi?" Bibir Arumi langsung membisu, dirinya juga bingung harus menghadapi kakaknya dengan sikap seperti apa. Kalau menuruti kemauan Airin, maka Wanhan h