Arumi membulatkan matanya. "Buat apa ke klinik, Mas?" Wanhan mengulurkan tangan untuk digapai olehnya. "Periksa, barangkali memang kamu lagi hamil," sahut Wanhan. Arumi meraih tangan suaminya dan dituntun untuk keluar dari area kamar mandi. Terlepas benar tidaknya Arumi mengandung, Wanhan hanya tidak ingin istri tergelincir karena lantai yang barangkali licin. "Aku tidak hamil, Mas. Hanya masuk angin saja, serius," ujar Arumi terdengar kekeh. "Apa salahnya periksa, Arumi?" Dorong ibunya. Sementara Luna sudah tersenyum senang semenjak tadi. Sangat berharap benar-benar memiliki seorang adik. Melihat Arumi yang hanya diam, terlihat tidak ingin pergi dan memeriksakan diri membuat Wanhan angkat bicara. "Kamu sudah telat Arumi, masih tidak mau periksa?" Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Dirinya sedikit terkejut karena suaminya ternyata tahu kapan tanggal datang bulannya. Memang tidak dipungkiri, Arumi sadar namun pemikirannya justru menganggap paling hanya te
"Aku bisa menjamin keasliannya." Mata Arumi akhirnya berhenti melihat setelah mengetahui hasilnya. Kertas tes DNA yang dibawa oleh lelaki di hadapannya ini mulai dilipat olehnya. "Apa Pak Wanhan datang untuk mengambil Luna dari saya?"Perlahan tangan Arumi meletakkan kertas tersebut di atas meja. Pandangan Wanhan sama sekali tidak melepaskan Arumi yang terlihat serius. Arumi akhirnya saling berpandangan dengan lelaki bernama Wahnan ini. Setahun lalu, mereka berdua dipertemukan sebagai pelamar dan ketua divisi. Sekarang, Arumi dan Wanhan berhadapan di meja cafe sebagai keluarga yang saling menginginkan hak asuh atas Luna. "Luna tidak bisa jauh dari kamu." Wanhan mengakui itu, meski pun sudah berpuluh kali membujuk Arumi untuk menyerahkan Luna. Semua orang hanya tahu, Arumi wanita lajang yang melahirkan Luna di luar nikah. Namun, Wanhan tahu itu sebuah kebohongan. Demi menikahi lelaki kaya, kakaknya meninggalkan Luna yang masih bayi dan menuduh Arumi mengandung anak haram
"Calon ...." Mata Aisyah memandang Wanhan lekat lagi. Teringat dengan adik dari ayah Luna yang tiba-tiba mengajak ke jenjang pernikahan. Aisyah mulai tersenyum lebar, mengetahui sosok pelamar itu ternyata Wanhan.Lelaki yang dilihat sekilas pun sudah bisa ditebak berasal dari keluarga kaya. "Oh ya benar, kamu calon menantu ibu, kan?" Aisyah langsung mengakui Wanhan begitu cepat. Rasa percaya diri Wanhan yang semula sedikit, kini menggunung karena Aisyah sepertinya memberikan lampu hijau.Mata Arumi memandang tidak percaya ke arah ibunya yang malah menerima Wanhan. Padahal dulu sewaktu Luna hadir dan mengacaukan hidupnya, Aisyah orang pertama yang membenci Valdi dan keluarganya. "Benar, Ibu mertua," sahut Wanhan sembari tersenyum. "Saya ingin bicara dengan Bapak." Belum juga kepala Wanhan menoleh, tangan sudah ditarik oleh Arumi keluar ruangan. Wanhan sama sekali tidak menolak perbuatan mendadak dari Arumi.Meski, biasanya Wanhan sangat tidak suka disentuh oleh wanita. Berh
Wanhan tersadar akan satu hal. Dia yang memeluk Arumi perlahan mulai menjauhkan diri dan sepenuhnya melepas wanita ini. Sosok yang Wanhan harap membawa perubahan. "Pak." Mata Arumi yang bulat memandang dia lekat. Kepedulian sedang Arumi berikan, namun Wanhan sadari itu bukan karena adanya hubungan yang sebentar lagi terjalin. Melainkan, karena Wanhan selaku atasan di tempat kerja. Mulut Wanhan tertawa. "Aku tidak kecelakaan." "Lantas, kenapa Bapak membawa serta polisi ke rumah sakit?" Wanhan melirik polisi yang mulai berjalan mendekat. "Aku sepertinya ketahuan mengebut dalam kondisi mabuk." Pengakuan yang Wanhan berikan itu menimbulkan keterkejutan bagi Arumi. Sosok atasan yang dikenal sempurna ini, rupanya memiliki celah di malam hari. "Apakah Anda pemilik mobil itu?" Wanhan tersenyum dan memandang Arumi. "Tunggulah aku." Arumi hanya bisa diam dengan cemas, melihat Wanhan yang berjalan sempoyongan bersama polisi ke lain arah. Nampaknya identitas yang dimin
Pernikahan yang hanya dihadiri sedikit orang ini, membuat Aisyah memandang Arumi dengan cemas. Merasa kalau keluarga Wanhan yang kaya itu tidak menyetujui. Bahkan, tak ada banyak foto. Wanhan dan Arumi juga saling berjauhan meski sudah diarahkan berulang kali oleh fotografer. "Karena kami sudah menikah, aku berniat mengajak Arumi tinggal di rumahku, Bu." Wanhan langsung mengutarakan niat setelah acara pernikahan selesai. Aisyah sendiri tak perlu mempertimbangkan lama. "Tentu saja, Wanhan. Kamu sebagai suami berhak membawa Arumi serta Luna." Arumi hanya mendengarkan percakapan tersebut. Jika menolak, maka ia harus membawa Wanhan yang berasal dari keluarga kaya ini ke kontrakan. Tinggal bertiga saja sudah sempit, apalagi nanti ditambah Wanhan. Belum lagi, Wanhan yang terbiasa tidur di bawah AC justru harus menikmati kipas angin. *** Mata Arumi tersihir hingga mulut membisu, tepat setelah pintu rumah Wanhan terbuka. Perbedaan sangat jelas jika dibandingkan dengan kontraka
"Naiklah! Aku antar sampai samping kantor." Arumi hanya membisu karena tidak percaya dengan omongan Wanhan. Takutnya berhenti di depan kantor dan dilihat banyak karyawan. Mata Wanhan menyipit. "Kenapa tidak naik?" "Paling Bapak akan menjalankan mobil setelah saya mendekat." Pemikiran buruk itu membuat Wanhan menarik napas. "Apa aku selicik itu di matamu, Arumi?" Bukankah terbukti dari niatan Wanhan yang ingin menyeretnya paksa jika tidak setuju menikah? Arumi benar-benar ragu dan masih berdiam diri di tempatnya. "Masuk!" seru Wanhan. Wanhan yang kesal sampai membunyikan klakson beberapa kali. Pengendara banyak yang melirik membuat Arumi terpaksa memasuki mobil milik suaminya sendiri. "Kamu sungguh menguji kesabaran, Arumi," sindir Wanhan. Dari yang Arumi tahu, sifat Wanhan dan Valdi sangat jauh berbeda. Terbukti dari sosok Wanhan yang tingkat kesabarannya setipis tisu. "Bukankah saya sudah naik, Pak?" Wanhan mendelik, memang Arumi sejak dulu selalu membuat dia
“Pak,” sebut Arumi dengan mata terbelalak kaget. “Itu tidak perlu. Jika ingin belikan, lebih baik untuk Luna saja.” Wanhan tak mendengarkan dirinya sama sekali, tetap menyuruh pegawai dengan lirikan mata. “Mari, Bu. Ikut dengan saya untuk memilih!” pinta pegawai. “Tidak perlu,” Wanhan langsung menolak. “Kamu saja yang pilihkan.” Kalau Arumi sampai ikut, jangankan mencoba pakaian memilihnya saja pasti tidak akan dilakukan. Wanhan tidak bisa memasrahkan pakaian pada Arumi. “Baik, Pak.” Pegawai tersebut mulai meninggalkan mereka bertiga. Arumi memandang Wanhan sedikit kesal. “Apa? Diberikan hadiah harusnya kamu senang, bukannya tidak tahu terima kasih begini,” sindir Wanhan pelan, tentu takut Luna ikut dengar. Arumi menarik napas. “Jangan keluarkan uang Bapak, saya tidak sanggup menerimanya.” Tidak ingin meladeni Arumi, Wanhan lebih memilih berkeliling untuk mencarikan pakaian yang cocok untuk Luna. “Luna ke mari! Ikut dengan ayah memilih baju.” Amat ragu Luna
Tenaga Wanhan sedikit melemah, setelah dia menembus Arumi dengan paksa. Arumi yang kesal mulai memukuli suaminya amat keras, Wanhan sesekali menghindar namun tidak pernah membalas. "Bapak jahat sekali pada saya," adu Arumi masih menangis. Wanhan berusaha menenangkan Arumi, dia cium dahi sang istri cukup lama. "Arumi tenanglah! Aku tidak akan menyakiti kamu lagi." Tangisan Arumi mulai mereda, hingga meminta Wanhan untuk melepaskan dirinya. "Pak, lepaskan saya. Tolong, bangun dari tubuh saya!" pintanya. Bukannya menuruti, Wanhan justru mengangkat dagu Arumi dan mulai melayangkan beberapa kecupan di bibirnya. Arumi pun kaget dengan bagian bawah yang mulai digerakkan oleh suaminya. "Sebentar saja, Arumi," bisik Wanhan lembut. Arumi berusaha memberontak, namun Wanhan mencekal tangannya dan hasrat dia makin menggebu. Arumi yang belum merasakan kenikmatan hanya bisa meringis, menahan perih dan panas di bawah sana yang dijelajahi paksa. *** Wanhan menyugar rambut sembari
Arumi membulatkan matanya. "Buat apa ke klinik, Mas?" Wanhan mengulurkan tangan untuk digapai olehnya. "Periksa, barangkali memang kamu lagi hamil," sahut Wanhan. Arumi meraih tangan suaminya dan dituntun untuk keluar dari area kamar mandi. Terlepas benar tidaknya Arumi mengandung, Wanhan hanya tidak ingin istri tergelincir karena lantai yang barangkali licin. "Aku tidak hamil, Mas. Hanya masuk angin saja, serius," ujar Arumi terdengar kekeh. "Apa salahnya periksa, Arumi?" Dorong ibunya. Sementara Luna sudah tersenyum senang semenjak tadi. Sangat berharap benar-benar memiliki seorang adik. Melihat Arumi yang hanya diam, terlihat tidak ingin pergi dan memeriksakan diri membuat Wanhan angkat bicara. "Kamu sudah telat Arumi, masih tidak mau periksa?" Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Dirinya sedikit terkejut karena suaminya ternyata tahu kapan tanggal datang bulannya. Memang tidak dipungkiri, Arumi sadar namun pemikirannya justru menganggap paling hanya te
Bibir Arumi mengulas senyum sedikit. Dirinya tahu, siapa orang yang dimaksudkan oleh Wanhan. Sosok yang membungkam para karyawan duluan sebelum diperintah. Tentu saja orangnya Dani, sosok yang sangat tidak ingin pernikahannya dengan Wanhan diketahui. "Jadi, kakakmu yang buat kamu basah saat makan siang?" Arumi sempat menjawab saat Wanhan bercerita di tengah hubungan badan mereka barusan. Kepala Arumi mengangguk mengiyakan. Wanhan menarik napas, merasa kalau kakak dari Arumi makin lama makin ngelunjak. "Aku akan menyuruh Dani untuk menemui kakakmu itu," putus Wanhan. Mata Arumi membulat. "Jangan, Mas!" Dirinya langsung saja melarang, tentu saja Arumi seperti ini bukan tanpa alasan. "Kalau Mas suruh pak Dani, maka ujungnya Mas bakal memberi uang," ujarnya. Wanhan mengerutkan dahi. "Lantas, menurut kamu aku harus bagaimana, Arumi?" Bibir Arumi langsung membisu, dirinya juga bingung harus menghadapi kakaknya dengan sikap seperti apa. Kalau menuruti kemauan Airin, maka Wanhan h
Arumi kaget dengan rasa dingin yang datang karena kelakuan kakaknya. Terburu Arumi berdiri dari duduk dan terpaksa menyudahi makan siangnya."Apa yang Kakak lakukan!"Airin memandang Arumi sengit, sama sekali tidak ada rasa bersalah."Kamu lupa, dulu sewaktu kecil siapa yang mengurus saat ibu bapak kerja? Orang ini, Arumi!""Kamu jadi orang sangat tidak tahu terima kasih!"Mulut Arumi membisu dengan mata melirik sekeliling. Mereka berdua telah jadi pusat perhatian, namun Airin sama sekali tidak terlihat malu.Setelah berdebat sebentar dan berujung membuat Airin marah. Arumi terlihat memasuki gedung kantor dengan langkah cepat."Arumi."Kepalanya menoleh dan menemukan Rehan berjalan mendekat dengan menunjukkan raut heran."Ada apa dengan rambut dan pakaianmu?"Padahal Arumi sudah mengeringkan diri di toilet cafe, namun Rehan masih saja menyadarinya. Arumi mengulas senyum dengan kepala menggeleng."Tidak sengaja membuat kekacauan di cafe."Rehan memandang Arumi dengan rasa tidak percaya
"Menurut kamu, wanita yang biasanya tidak pernah marah. Tiba-tiba dia bersikap selayaknya musuh." Wanhan langsung berhenti memainkan pena di jemari, dia tatap Dani yang sedang berdiri menunggu sang atasan menandatangani dokumen. "Apakah dia hanya sedang PMS saja atau memang lagi benci?" Setelah mendengarkan, Dani menggeleng dengan ragu. "Sedekat apa pun dengan wanita, saya tidak pernah tahu bagaimana wanita kalau lagi PMS." Wanhan diam sejenak, dia lupa kalau sang sekretaris selain bermulut tajam juga hampir tidak punya hati. Jadi, dekat dengan wanita pun mana mungkin mengerti. Dani memandang Wanhan dengan tertarik. "Apakah Bapak sedang dekat dengan wanita?" "Si Arumi," ujar Wanhan memberi tahu. "Dia hari ini sangat jutek padaku." Ekspresi Dani pun langsung berubah. Harapan lelaki tersebut, Wanhan bisa mengenal wanita lain dan menceraikan Arumi. "Saya merasa rugi, membuang waktu hanya untuk mendengarkan Bapak cerita di sini." "Tolong segera tanda tangani dokumennya, Pak," l
Arumi menoleh dengan menunjukkan raut wajah terkejut. Wanhan sedang bercanda dengannya, kan? Tak mungkin benar-benar menyuruhnya. Namun, sorot mata Wanhan membingkai tubuhnya dengan antusias. "Kenapa Mas melihat begitu?" Arumi terburu berpaling dari pandangan suaminya. "Aku sedang membayangkan, tubuhnya yang biasanya kulihat setengah telanjang. Memakai pakaian itu, bukan hanya setengah tapi hampir seluruh bagian nampak jelas." Mendengar ucapan tak senonoh dari mulut suami, membuat Arumi tak menyangka sama sekali. Lelaki berwibawa seperti Wanhan rupanya mengingat tubuhnya dengan baik. "Jadi, cobalah dan biarkan aku menilai pakaiannya," lanjut Wanhan. Bukan Arumi kalau langsung menuruti. Ia justru segera menyimpan pakaian tipis tersebut ke dalam lemari, membuat Wanhan memandang dengan ekspresi tidak senang. "Aku menyuruh kamu memakainya, bukan malah menyimpannya, Arumi," keluh Wanhan. "Ini masih sore, aku harus menemani Luna belajar." "Berarti kalau malam kamu bakal me
Aisyah membulatkan mata kemudian melirik pada Arumi yang menggelengkan kepala pelan. Wanhan juga menangkap ketidak setujuan sang istri. "Jangan pedulikan Arumi, Bu. Aku yang minta Ibu tinggal di sini," ujar Wanhan. Aisyah terkekeh. "Tidak perlu, Nak Wanhan." "Ibu tidak perlu merasa sungkan." "Ibu tidak terbiasa tinggal di rumah mewah," tolak Aisyah. Ibu mertua dia menolak tanpa bingung harus memberikan alasan. Berarti Aisyah memang tidak ada niat untuk tinggal dengan dia dan Arumi. Wanhan mengulas senyum. "Arumi terkadang merindukan Ibu, aku sebagai suami hanya ingin Arumi dekat dengan ibunya saja." Arumi segera melirik suaminya. Kapan ia kelihatan rindu pada ibunya? Padahal hampir tiap minggu dirinya berkunjung, terlebih jarak ke kontrakan ibunya tidaklah jauh. Wanhan membalas tatapannya dengan bibir yang masih mengulas senyum. Entah mengapa, dibalik keramahan suaminya sore ini seperti menyimpan sebuah rencana. "Ibu benar-benar tidak bisa tinggal dengan kalian," Ais
Arumi mengulas senyum dan mendadak bangun dari posisi duduknya. "Pak Wanhan, saya sebagai karyawan tentu sangatlah kenal," ujarnya. Wanhan justru tidak senang ekspresi Arumi yang masih bisa senyum, padahal hati dia sudah dongkol dan serasa ingin menjungkir balikkan meja resto. "Duduk duduk!" pinta Anggara sembari tertawa. Kali pertama Wanhan lihat sang kakek begitu gembira. Padahal Arumi yang dikenalkan pada dia tak lain istri sendiri. "Nah, berhubung makanan sudah dipesan. Kita makan bersama," ujar Anggara senang. "Aku sudah makan tadi." Namun, Wanhan yang terburu menolak membuat Anggara menoleh dan berdecak. "Kamu makan apa, sih? Orang Dani tidak keluar untuk beli makanan." "Aku bawa bekal!" Anggara makin tidak senang. "Bekal dari istri miskin kamu itu! Bisa keracunan kamu kalau memakannya." Mata Wanhan langsung melirik ke arah Arumi yang hanya menunduk dengan mulut terdiam. Mendengar kakek suaminya menduga ia menaruh racun di dalam bekal makanan. Anggara mendengkus. "Ap
Wanhan memasuki kamar dengan mata menemukan Arumi yang membeku. "Luna sudah bangun dan tadi bilang--" "Aku harus masak untuk bekal siang nanti." Selain memotong pembicaraan, Arumi juga bergegas meninggalkan kamar sang suami. Sampai Wanhan hanya bisa mengulas senyum melihat kelakuan istri yang dipastikan mendengar semua pembicaraan. "Jadi, dia dengar," ujar Wanhan masih dengan bibir tersenyum. "Itu artinya aku semakin bebas terhadapnya." Arumi berusaha bersikap seperti biasa, berdandan dan sempat memasak untuk bekal makan siangnya juga Wanhan. Namun, saat semuanya telah siap, Arumi justru mendengar suara mobil Wanhan yang menyala. "Masa harus lewat pak Dani lagi." Terburu Arumi berlari menuju depan rumah sembari menenteng bekal. Kapok rasanya menitipkan bekal lewat Dani, sudah tatapan lelaki itu memaki, mulut masih juga menyindir. Arumi bukanlah wanita dengan hati yang selalu sabar. "Mas bekalnya." Arumi langsung memberikan saat tiba di hadapan suami yang memasukkan Luna k
Ekspresi Airin menunjukkan tersinggung dengan ucapan dari Dani. Namun, setelah wanita tersebut mencerna, bibir langsung mengulas senyum. Kata rakyat jelata mendadak seperti pujian bagi Airin hingga terlihat senang. "Jadi, maksud kamu. Suami Arumi itu atasan kamu? Dia kaya raya begitu?" Dani mendengkus. Nampak tidak senang Airin menyebut Wanhan sebagai suami dari Arumi, wanita yang sangat tidak layak bersanding dengan sang atasan itu. "Karena tugas saya di sini sudah selesai, saya pamit pergi." Dani terburu bangun dari duduk dan meninggalkan Airin yang masih sibuk tersenyum. Membayangkan kehidupan yang lebih makmur lagi, setelah tahu punya adik ipar yang kaya raya. Setelah sadar dari lamunan, Airin mengambil ponsel dan mulai menghubungi Arumi. "Jam istirahat nanti ayo ketemu, ada yang ingin kakak bicarakan." Itulah pesan yang dikirim oleh Airin. Pada waktu istirahat, Arumi benar-benar menemui sang kakak karena ingin tahu apa yang dibicarakan, sebab Airin menyebutkan Wan