“Dia karyawan tetap atau magang?” Bahkan saat makan malam, Wanhan yang masih penasaran mulai membahas kembali sosok Rehan. Arumi yang selesai menyuapi Luna sampai melirik. “Kenapa Bapak ingin tahu sekali?” Luna memandang kedua orang tua secara bergantian. “Iya, kenapa Bapak ingin tahu?” ulang Luna. Mata Wanhan dan Arumi menatap sang putri dengan raut kaget. Embel-embel “bapak” yang ditambahkan itu membuat Wanhan berkomentar. “Kenapa Luna berubah jadi panggil bapak? Kan Luna anak ayah.” Bibir Luna mengulas senyum. “Karena Bunda yang panggil, berarti Luna juga harus.” Begitu mendapat penjelasan, Wanhan langsung melirik pada Arumi yang menghindari tatapan suaminya. “Gara-gara kamu, Arumi. Luna jadi sembarangan panggil ayahnya sendiri,” keluh Wanhan. Arumi melirik, merasa tidak ingin disalahkan. Dirinya sama sekali tidak menyuruh Luna menyebut Wanhan demikian. “Mulai sekarang panggil aku lebih mesra di depan Luna,” ujar Wanhan menekankan. Namun, Arumi tidaklah meny
Wanhan berdehem sembari menghindari tatapan mata Arumi. “Luna main ke mana?” tanya Wanhan berusaha mengalihkan perhatian dia. “Dengan anak tetangga, di depan sana.” Mata Wanhan nampak melirik ke arah yang istri tunjuk, namun dia tidak menemukan siapa pun. “Luna di dalam, hari sore begini saya tidak bisa biarkan Luna berkeliaran di luar.” Soal itu, Wanhan sepertinya harus mengacungkan jempol pada Arumi karena telaten merawat Luna. “Ibu di rumah?” “Iya, Mas.” Mata Wanhan kembali meliriknya. Sebutan mas itu memang belum terbiasa terdengar di telinga, namun menurut Wanhan itu lebih baik ketimbang bapak. “Nanti langsung pulang?” Kepala Arumi menoleh sembari menemani suami berjalan ke arah rumah. “Memangnya mau ke mana lagi, Mas?” “Menginap,” sahut Wanhan cepat. Mendadak kaki Arumi berhenti melangkah, mata Wanhan melirik atas reaksi darinya. “Saya rasa itu tidak pantas.” Dahi dia mengerut, tidak pantas itu baru terucap jika Wanhan hanya orang lain. Sementara d
Mata Arumi memandang suami yang sedang menggotong Luna memasuki rumah, putri kecilnya itu tetap terlelap bahkan setelah tiba di rumah. "Luna sekarang lebih berat sedikit," komen Wanhan dengan suara pelan. Arumi mengikuti Wanhan menaiki tangga dari belakang. Hanya bisa memandang Wanhan yang begitu hati-hati membawa Luna. "Sudah ditimbang berapa berat badannya yang sekarang?" tanya Wanhan. Kepala Wanhan sempat menoleh padanya, meminta jawaban dari Arumi yang diam saja sejak tadi. "Tahun depan, ada bidan yang cek rutin di sekolah." Begitu selesai menaiki tangga, bukannya segera membuka pintu yang sudah ada di depan mata. Wanhan malah menghentikan langkah kaki hanya untuk memandangnya. "Apa saja yang biasanya dicek?" "Ukur tinggi badan, berat badan, penglihatan sampai tekanan darah. Kalau vaksinasi beda jadwal," sahutnya lancar. Wanhan bisa menyimpulkan kalau Arumi yang bekerja giat, ternyata tahu betul apa yang Luna dapatkan di sekolah. Berarti Luna yang selalu cerita d
Wanhan benar-benar mengunjungi sang kakek selepas pulang kerja. Lelaki tua itu bergegas melempar gelas kosong ke arah lantai, tepat di hadapan kaki yang Wanhan pijakkan. "Oh," ujar Wanhan santai. "Aku kira bakal terisi kopi panas atau setidaknya alkohol." "Rupanya hanya gelas kosong," lanjut Wanhan sembari mendekat dengan senyuman mengejek. Anggara hanya memelototi sang cucu dengan mulut membisu. "Kamu ke mana saja! Saat hidup dan mati kakekmu ini dipertaruhkan!" sewot Anggara kemudian. Wanhan mendudukkan diri di atas sofa yang bersebrangan dengan sang kakek. "Dari yang aku dengar, bukankah hanya ponsel saja yang dijambret. Kenapa nyawa bisa terancam?" Melihat Wanhan yang begitu tidak peduli, membuat Anggara emosi pun percuma. Lelaki tua tersebut hanya menarik napas panjang. "Andai aku punya cucu menantu yang baik hati, dia tidak akan membuat pria tua ini cemas." Wanhan berdecak. "Bukankah aku sudah menikah? Untuk apa berharap punya menantu lagi?" "Kayak punya cucu
Suara gemuruh itu mulai terdengar dari langit, menandakan malam sebentar lagi akan ditemani hujan. Namun, suara Arumi lebih mendominasi di dalam kamar ketimbang petir yang kerap menjalar di langit. Wanhan tersenyum setiap kali perbuatan dia berhasil membuat Arumi kewalahan. Wanhan mulai bergerak perlahan seolah menyudahi malam panas di antara mereka, sampai Arumi menarik napas lega. "Kenapa Arumi? Apa kamu berpikir sudah selesai?" Pandangan Arumi tertuju pada Wanhan masih dengan napas yang lelah. "Bukankah sudah?" tanya Arumi pelan. Bibir Wanhan mengulas senyum, tubuhnya ditarik oleh Wanhan, kini Arumi berada di atas pangkuan. Ketika ingin turun, Wanhan langsung mencekal kedua pantatnya. "Aku belum selesai," ujar Wanhan. Arumi tersentak ketika tangan Wanhan menuntun untuk melanjutkan kegiatan, pertemuan yang amat kencang di bawah sana membuat Arumi menggigit bibir. Bukankah rasanya sakit? Seperti terakhir kali. Kenapa bisa senikmat ini? Wanhan yang berharap Arumi
"Namanya Arumi, dia seorang janda. Dia karyawan kamu sendiri." Anggara kembali menjelaskan dengan raut wajah yang sangat antusias. "Kamu tidak ada rencana untuk memperistri dia?" Wanhan yang semula membisu, berusaha mencari nama Arumi lain yang bekerja di perusahaan dia. Ternyata hanya istri dia seorang yang bernama Arumi. "Aku sudah menikah," ujar Wanhan santai. Anggara berdecak. "Arumi ini lebih cantik dan baik ketimbang istri tidak jelasmu itu." Kalau saja Anggara tahu, Arumi yang sedang dibicarakan dengan sosok istri dia orang yang sama. Entah sang kakek akan tertawa senang atau justru berakhir dengan tidak menyukai keduanya. "Lagi pula, aku tidak kenal wanita bernama Arumi itu. Untuk apa juga menikahi wanita yang tidak dikenal," ujar Wanhan mengundang amarah bagi Anggara. "Makanya kenalan!" Wanhan memandang sang kakek lekat. Dia sedang berpikir, sebenarnya di mana Arumi dan Anggara pernah bertemu. Perihal apa yang terjadi, sampai sang kakek begitu menyukai istri
"Apa yang Ibu tangisi? Arumi sudah berumah tangga, kalau pun pengeluaran paling hanya untuk aku seorang.""Ibu keberatan, begitu?"Mulut Airin terus saja menyerocos, namun Aisyah hanya mendelik dengan hati mengelak. Bukan begitu, wanita tersebut menangis karena masa depan Arumi yang tergambar bahagia sekarang jadi abu-abu kembali.Airin melirik sekeliling ruang depan. "Nanti aku mau beli sofa.""Uang dari mana!" Aisyah langsung ngamuk."Minta sama Arumi."***Wanhan yang telah bersiap, menuruni anak tangga sembari membawa kunci mobil. Dia telah berjanji pada Arumi untuk mengantar ke rumah mertua. Namun, dahi Wanhan mengerut sebab dia melihat istri dan anak justru diam di hadapan televisi yang menyala."Bukannya minggu mau ke rumah ibu mertua? Kenapa kamu cuma pakai daster saja?"Arumi menoleh dan memperhatikan pakaiannya. Dress yang dibeli mahal, hanya dilabeli daster oleh suaminya sendiri."Ibu melarang aku main ke rumah, Mas.""Alasannya?"Wanhan mendekat, namun tidak segera duduk
"Mas berencana membunuhku?" Wanhan yang semula bangga telah mengutarakan bahwa dia memilih Arumi secara berani. Mendadak menoleh dengan raut tidak percaya setelah mendapat tuduhan dari istri sendiri. "Sebenarnya kamu mengerti yang aku bicarakan tidak, sih?" Nada suara Wanhan terdengar emosi. Arumi terkekeh, menertawai ekspresi marah dari suaminya yang tidak bisa disembunyikan. "Aku mengerti, Mas." Wanhan mendengkus dengan mata kembali melihat ke depan, Luna yang mulai dilayani oleh penjual nampak memandang antusias pada bakso yang diolesi kecap. "Mungkin aku brengsek, tapi tak sampai menyentuh nyawa," ujar Wanhan dengan suara pelan. Tangan dia diam-diam mengepal. Lebih tepatnya, hanya untuk terakhir kali dia pernah melakukannya. Dikelabui oleh kakek sendiri, Wanhan berakhir dengan mencelakai Valdi. *** Airin yang terus saja mengganggu Arumi lewat pesan dan telepon, amat terpaksa Arumi menemui wanita tersebut seorang diri di sebuah cafe. Pandangan Airin mendapati Arumi memar
"Menurut kamu, wanita yang biasanya tidak pernah marah. Tiba-tiba dia bersikap selayaknya musuh." Wanhan langsung berhenti memainkan pena di jemari, dia tatap Dani yang sedang berdiri menunggu sang atasan menandatangani dokumen. "Apakah dia hanya sedang PMS saja atau memang lagi benci?" Setelah mendengarkan, Dani menggeleng dengan ragu. "Sedekat apa pun dengan wanita, saya tidak pernah tahu bagaimana wanita kalau lagi PMS." Wanhan diam sejenak, dia lupa kalau sang sekretaris selain bermulut tajam juga hampir tidak punya hati. Jadi, dekat dengan wanita pun mana mungkin mengerti. Dani memandang Wanhan dengan tertarik. "Apakah Bapak sedang dekat dengan wanita?" "Si Arumi," ujar Wanhan memberi tahu. "Dia hari ini sangat jutek padaku." Ekspresi Dani pun langsung berubah. Harapan lelaki tersebut, Wanhan bisa mengenal wanita lain dan menceraikan Arumi. "Saya merasa rugi, membuang waktu hanya untuk mendengarkan Bapak cerita di sini." "Tolong segera tanda tangani dokumennya, Pak," l
Arumi menoleh dengan menunjukkan raut wajah terkejut. Wanhan sedang bercanda dengannya, kan? Tak mungkin benar-benar menyuruhnya. Namun, sorot mata Wanhan membingkai tubuhnya dengan antusias. "Kenapa Mas melihat begitu?" Arumi terburu berpaling dari pandangan suaminya. "Aku sedang membayangkan, tubuhnya yang biasanya kulihat setengah telanjang. Memakai pakaian itu, bukan hanya setengah tapi hampir seluruh bagian nampak jelas." Mendengar ucapan tak senonoh dari mulut suami, membuat Arumi tak menyangka sama sekali. Lelaki berwibawa seperti Wanhan rupanya mengingat tubuhnya dengan baik. "Jadi, cobalah dan biarkan aku menilai pakaiannya," lanjut Wanhan. Bukan Arumi kalau langsung menuruti. Ia justru segera menyimpan pakaian tipis tersebut ke dalam lemari, membuat Wanhan memandang dengan ekspresi tidak senang. "Aku menyuruh kamu memakainya, bukan malah menyimpannya, Arumi," keluh Wanhan. "Ini masih sore, aku harus menemani Luna belajar." "Berarti kalau malam kamu bakal me
Aisyah membulatkan mata kemudian melirik pada Arumi yang menggelengkan kepala pelan. Wanhan juga menangkap ketidak setujuan sang istri. "Jangan pedulikan Arumi, Bu. Aku yang minta Ibu tinggal di sini," ujar Wanhan. Aisyah terkekeh. "Tidak perlu, Nak Wanhan." "Ibu tidak perlu merasa sungkan." "Ibu tidak terbiasa tinggal di rumah mewah," tolak Aisyah. Ibu mertua dia menolak tanpa bingung harus memberikan alasan. Berarti Aisyah memang tidak ada niat untuk tinggal dengan dia dan Arumi. Wanhan mengulas senyum. "Arumi terkadang merindukan Ibu, aku sebagai suami hanya ingin Arumi dekat dengan ibunya saja." Arumi segera melirik suaminya. Kapan ia kelihatan rindu pada ibunya? Padahal hampir tiap minggu dirinya berkunjung, terlebih jarak ke kontrakan ibunya tidaklah jauh. Wanhan membalas tatapannya dengan bibir yang masih mengulas senyum. Entah mengapa, dibalik keramahan suaminya sore ini seperti menyimpan sebuah rencana. "Ibu benar-benar tidak bisa tinggal dengan kalian," Ais
Arumi mengulas senyum dan mendadak bangun dari posisi duduknya. "Pak Wanhan, saya sebagai karyawan tentu sangatlah kenal," ujarnya. Wanhan justru tidak senang ekspresi Arumi yang masih bisa senyum, padahal hati dia sudah dongkol dan serasa ingin menjungkir balikkan meja resto. "Duduk duduk!" pinta Anggara sembari tertawa. Kali pertama Wanhan lihat sang kakek begitu gembira. Padahal Arumi yang dikenalkan pada dia tak lain istri sendiri. "Nah, berhubung makanan sudah dipesan. Kita makan bersama," ujar Anggara senang. "Aku sudah makan tadi." Namun, Wanhan yang terburu menolak membuat Anggara menoleh dan berdecak. "Kamu makan apa, sih? Orang Dani tidak keluar untuk beli makanan." "Aku bawa bekal!" Anggara makin tidak senang. "Bekal dari istri miskin kamu itu! Bisa keracunan kamu kalau memakannya." Mata Wanhan langsung melirik ke arah Arumi yang hanya menunduk dengan mulut terdiam. Mendengar kakek suaminya menduga ia menaruh racun di dalam bekal makanan. Anggara mendengkus. "Ap
Wanhan memasuki kamar dengan mata menemukan Arumi yang membeku. "Luna sudah bangun dan tadi bilang--" "Aku harus masak untuk bekal siang nanti." Selain memotong pembicaraan, Arumi juga bergegas meninggalkan kamar sang suami. Sampai Wanhan hanya bisa mengulas senyum melihat kelakuan istri yang dipastikan mendengar semua pembicaraan. "Jadi, dia dengar," ujar Wanhan masih dengan bibir tersenyum. "Itu artinya aku semakin bebas terhadapnya." Arumi berusaha bersikap seperti biasa, berdandan dan sempat memasak untuk bekal makan siangnya juga Wanhan. Namun, saat semuanya telah siap, Arumi justru mendengar suara mobil Wanhan yang menyala. "Masa harus lewat pak Dani lagi." Terburu Arumi berlari menuju depan rumah sembari menenteng bekal. Kapok rasanya menitipkan bekal lewat Dani, sudah tatapan lelaki itu memaki, mulut masih juga menyindir. Arumi bukanlah wanita dengan hati yang selalu sabar. "Mas bekalnya." Arumi langsung memberikan saat tiba di hadapan suami yang memasukkan Luna k
Ekspresi Airin menunjukkan tersinggung dengan ucapan dari Dani. Namun, setelah wanita tersebut mencerna, bibir langsung mengulas senyum. Kata rakyat jelata mendadak seperti pujian bagi Airin hingga terlihat senang. "Jadi, maksud kamu. Suami Arumi itu atasan kamu? Dia kaya raya begitu?" Dani mendengkus. Nampak tidak senang Airin menyebut Wanhan sebagai suami dari Arumi, wanita yang sangat tidak layak bersanding dengan sang atasan itu. "Karena tugas saya di sini sudah selesai, saya pamit pergi." Dani terburu bangun dari duduk dan meninggalkan Airin yang masih sibuk tersenyum. Membayangkan kehidupan yang lebih makmur lagi, setelah tahu punya adik ipar yang kaya raya. Setelah sadar dari lamunan, Airin mengambil ponsel dan mulai menghubungi Arumi. "Jam istirahat nanti ayo ketemu, ada yang ingin kakak bicarakan." Itulah pesan yang dikirim oleh Airin. Pada waktu istirahat, Arumi benar-benar menemui sang kakak karena ingin tahu apa yang dibicarakan, sebab Airin menyebutkan Wan
Melihat Wanhan yang tidak ada niatan untuk mengemudikan mobil itu, membuat Airin tersenyum sangat ceria pasalnya merasa ada kesempatan.Airin mendekat dengan langkah tak sabaran."Adik ipar, bisa kita bicara?"Wanhan sempat melirik jam di tangan."Tidak akan lama, kok." Airin langsung memberi tahu.Yakin kalau kakak Arumi ini hanya akan bicara sebentar, Wanhan pun membuka pintu dan turun dari mobil. Bagaimana pun wanita ini ialah kakak ipar bagi dia. Tak mungkin bertindak kurang ajar. Airin sendiri terkesima dengan ketampanan Wanhan ketika dilihat dari dekat. Wanita tersebut mendadak merasa kalau Wanhan mirip dengan seseorang."Apa yang ingin Kakak ipar katakan?" tagih Wanhan.Airin tersenyum. "Apa kamu punya uang?"Mata sempat melirik pada mobil Wanhan yang diketahui mahal, Airin makin yakin kalau Wanhan bukanlah pria kere. "Berapa yang Kakak ipar inginkan?" Wanhan langsung membuka transaksi tak menguntungkan.Airin sangat ceria begitu Wanhan menyuruh menyebut nominal. "Cuma 20 jut
Rasa heran menelusup ketika Arumi berjalan semakin memasuki cafe dan beneran menemukan Wanhan di sana. Sebelumnya Wanhan mengirimi dirinya pesan untuk bertemu."Pak Wanhan," sebut Arumi sembari mendekat.Dahi Wanhan mengerut, begitu embel-embel itu kembali dia dapatkan dari Arumi."Kenapa, Mas minta bertemu di sini?" bisik Arumi pelan.Tapi, begitu sudah berdiri di hadapan dia. Panggilan Arumi langsung berubah, rupanya sang istri sedang bersikap hati-hati karena dia mengajak bertemu di cafe samping kantor."Duduk," pinta Wanhan.Arumi menarik kursi dan mulai menempatkan tubuhnya di sana."Jadi, ada apa, Mas? Luna beneran di antar sampai sekolah, kan?" Suara Arumi makin pelan saja.Wanhan bukannya menjawab, malah balik memberi pertanyaan."Kamu selingkuh dariku?""Hah?"Arumi menunjukkan raut wajah yang heran. Wanhan mendekatkan tubuh ke arah Arumi yang hanya terhalang oleh meja. "Kamu ketawa-ketawa sama anak magang itu, kamu kira aku tidak tahu?" suara Wanhan pun ikut pelan.Arumi b
Arumi memandang kaget ke arah suaminya. Meski, untuk saat ini yang mendengar ucapan Wanhan hanya dirinya seorang. Wanhan sendiri melihat reaksinya langsung menoleh dengan dahi yang mengerut. Dia heran, Arumi sampai sekaget itu dan menimbulkan pertanyaan bagi dua pembantu yang menyaksikan. "Apa Ibu kelupaan sesuatu?" tanya salah satu pembantu. Setelah sadar, Arumi menggeleng sembari tersenyum. "Tidak ada." Namun, sorot mata sempat tertuju pada Wanhan yang kembali sibuk dengan kegiatan sendiri. Arumi pun memutuskan untuk kembali mengoleskan kecap. Sempat Wanhan melirik balik ke arah istri, perlahan bibir dia mengulas senyum, itu pun sangatlah tipis. Pada malam harinya. Luna benar-benar tidur di tenda, tentunya ditemani oleh Wanhan dan Arumi. Permasalahan pun datang setelah Luna tertidur lelap. "Kemari!" Wanhan memerintah dengan suara pelan. Namun, sorot mata begitu mengintimidasi Arumi yang hanya diam. Mereka berdua tidur dengan Luna sebagai penghalang. "Di sini ada Luna, Mas