Dio tahu bahwa Irfan adalah tangan kanan Dimas. Jika Irfan bersedia membantunya, dia tidak perlu mengkhawatirkan lagi masalah uang.Melihat hal ini, Irfan menunjukkan sedikit rasa sungkan di wajahnya, kemudian berkata, "Pak Dio, masalah ini terlalu sulit bagiku. Aku cuma asisten biasa dan nggak punya kekuatan sebesar itu. Selain itu, sekali berurusan dengan departemen keuangan perusahaan, meskipun aku nggak mengatakannya, Pak Dimas pasti akan langsung mengetahuinya."Mendengar jawaban Irfan, Dio mengerutkan keningnya sambil menyahut, "Pak Irfan, aku tahu masalah ini agak sulit bagimu, tapi coba lihat dulu apa kamu bisa memikirkan solusinya?"Dio berkata seraya menyelipkan sebuah kartu bank ke tangan Irfan. Irfan sontak menggelengkan kepalanya, berpura-pura bersikap sungkan."Pak Dio, bukan ini masalahnya. Kalau masalah ini ketahuan, kita berdua akan masuk penjara," sahut Irfan. Dia berpura-pura takut sambil menggelengkan kepalanya.Melihat itu, Dio menjadi muram. Ternyata Irfan tidak b
Amel terlihat kecewa. Amel bukannya menolak untuk berhubungan dengan orang tua Dimas, tetapi dia selalu merasa bahwa Dimas tidak terlalu ingin dirinya bertemu dengan keluarga pria itu."Sayang, kalau begitu selesaikan pekerjaanmu dulu. Aku nggak akan mengganggumu lagi," sahut Amel. Setelah berkata demikian, dia segera berbalik dan keluar dari ruang kerja."Lidya, aku nggak tahu kenapa, tapi Dimas sepertinya nggak mau membiarkanku berhubungan dengan keluarganya. Dia dan aku sudah lama menikah, tapi kami belum pernah mengunjungi orang tuanya. Dia juga nggak pernah berinisiatif untuk membawaku berkunjung ke rumah orang tuanya."Amel menekan rasa tidak nyaman di hatinya dan mengirim pesan teks pada Lidya untuk mengeluh. Tidak lama kemudian, Lidya membalas pesannya."Seharusnya kalian mengunjungi orang tuanya pada hari kedua setelah menerima akta nikah, tapi sepertinya Dimas nggak pernah membahas masalah ini. Mungkin saja demi harga dirinya atau mungkin keluarga dan orang tuanya nggak menja
Lili selesai dari shift malam, lalu meninggalkan rumah sakit dengan lelah.Setelah turun dari bus, Lili berjalan menuju pintu masuk perumahan."Bibi!" panggil Jefri sambil berlari ke arah Lili dan tersenyum penuh perhatian.Lili yang awalnya mengantuk, langsung kembali energik saat melihat Jefri. Kemudian, keterkejutan di wajahnya berubah menjadi kemarahan."Ternyata kamu, beraninya kamu datang kemari?" sahut Lili sambil meraih lengan Jefri begitu tersadar. Dia takut Jefri akan melarikan diri.Jefri terlihat agak takut, kemudian dia segera membela diri, "Bibi, jangan terlalu bersemangat dulu. Hari ini aku di sini untuk mengembalikan uangmu."Jefri menjelaskan tujuan kedatangannya dengan cepat, karena jika tidak Lili mungkin ingin akan memakannya hidup-hidup.Mendengar itu, Lili langsung senang. Kemudian, dia bertanya untuk memastikan, "Apa katamu?""Bibi, kubilang aku di sini untuk mengembalikan uangmu," sahut Jefri yang tidak punya pilihan selain menjelaskannya lagi.Pada saat itu, Li
Sorot mata Gibran tampak kebingungan. Dia bahkan berpikir bahwa Lili sudah terlalu emosional hingga memiliki masalah mental."Kenapa bisa begitu?""Hari ini setelah aku pulang kerja dan masuk ke gerbang perumahan, anak laki-laki yang menipu uangku itu tiba-tiba muncul dan bilang mau mengembalikan uangnya kembali. Jadi, sekarang uang 600 juta itu sudah kembali!" seru Lili dengan kegembiraan yang tertahan di wajahnya. Dia tidak bisa tidur nyenyak dalam beberapa hari terakhir setelah kejadian tersebut. Namun, sekarang dia akhirnya bisa merasa tenang."Ada hal baik seperti ini?""Ya, menurutku alasan bisa begitu, mungkin karena bantuan dari Dimas, menantu kita yang baik itu," sahut Lili. Dia sudah menduga bahwa Dimas-lah yang membantu."Aku akan tidur dulu baru beli sayur nanti, kemudian mengundang mereka ke sini untuk makan dan merayakannya," sambung Lili dengan penuh semangat."Baiklah," sahut Gibran sambil mengangguk."Halo, selamat datang!" sambut Amel dengan penuh antusias dan senyum
'Gawat sudah, sepertinya bonus bulan ini nggak akan keluar!' gumam Irfan. Dia diam-diam berspekulasi di dalam hatinya, karena dia sudah mengenal temperamen Dimas dengan sangat baik.Tidak jauh di luar toko makanan penutup Amel, terparkir sebuah mobil hitam."Nyonya, apakah kita masih perlu tinggal di sini?" tanya sang sopir dengan ragu."Ayo pergi saja," ucap wanita itu sambil mengalihkan pandangannya. Dia sudah merasa cukup puas dengan menantunya ini.Begitu Dimas masuk ke dalam mobil, dia segera mengeluarkan ponselnya dan menemukan nomor yang dikenalnya. Tidak lama kemudian, panggilannya segera tersambung."Bu, kenapa Ibu nggak bicara dulu kalau datang ke Kota Nataya?" tanya Dimas dengan nada mengeluh."Kenapa aku harus mendapat persetujuanmu dulu kalau mau melakukan sesuatu?" tanya Bela sambil mendengus dingin."Apa Ibu pergi mencari Amel?" tanya Dimas langsung pada intinya."Ya benar. Dasar bocah nakal, kamu benar-benar hebat, ya. Kamu bahkan nggak datang berkunjung setelah menerim
"Bukan berarti aku nggak mau pulang. Pertama, beri tahu Ibu kapan kamu berencana memberi cucu untuk kami?" tanya Bela dengan kilatan di matanya.Dimas menggerakkan sudut mulutnya, kemudian menyahut, "Secepat mungkin." Dia menggertakkan giginya."Baiklah, Ayah dan Ibu sudah membuat kesepakatan. Ketika kalian punya anak, kami berdua akan fokus membesarkan anak kalian. Tunggu sampai anak itu agak besar, kami akan membawanya bepergian," ujar Bela yang sudah mulai memikirkan hal-hal indah di masa mendatang."Bu, sekarang bukannya masih terlalu awal untuk memikirkan hal itu?" sahut Dimas. Dia tak bisa menahan diri untuk membuat ibunya menyadari kenyataan."Sama sekali nggak. Ayahmu sudah memesankan tiket pesawat untuk Ibu besok pagi. Ibu akan kembali besok pagi," jawab Bela. Dia menghentikan senyum di wajahnya dan menjadi serius.Dimas tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya, kemudian berkata, "Benarkah? Kalau begitu hati-hati di jalan!""Sepertinya kamu sangat berharap Ibu cepat p
Suara klakson yang keras terdengar dari belakang, Amel langsung bergidik ketakutan dan segera menarik diri dari pikirannya. Amel baru menyadari bahwa lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Dia pun dengan cepat menyalakan mesin dan bergegas pergi.Ketika kembali ke toko, Clara langsung mendatangi Amel dan berkata, "Kak Amel, hari ini penjualan toko kita cukup lumayan bagus.""Benarkah? Nanti kamu bisa membuat perhitungan untuk melihat makanan mana yang terbaik. Aku akan pergi membeli bahannya besok pagi," ujar Amel dengan sedikit linglung."Oke, nggak masalah. Kak Amel, sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu. Apa ada masalah?" tanya Clara dengan hati-hati.Amel menggelengkan kepalanya, kemudian menjawab, "Nggak apa-apa."Begitu selesai berbicara, ponsel Amel tiba-tiba berdering. Dia pun segera menjawabnya."Amel, nanti setelah pulang kerja, kamu dan Dimas pulang ke rumah untuk makan malam, ya!" ujar Lili. Suaranya terdengar sangat bahagia di telepon, tidak lagi tertekan seperti seb
"Oh ya, Sayang, tadi pagi ada pelanggan terhormat yang datang ke toko kita," kata Amel sambil berpura-pura bersikap antusias."Pelanggan terhormat? Pelanggan seperti apa?""Dia adalah wanita yang berusia sekitar 40 tahun. Dia mengenakan merek mewah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Harga pakaiannya mungkin cukup bagi kita untuk membeli rumah. Dari auranya, sepertinya dia istri orang kaya," kata Amel sambil memperhatikan wajah Dimas.Ekspresi Dimas tidak berubah. Amel merasa makin gelisah dalam hati. Dia sudah mengatakannya sampai sejauh ini. Mustahil jika Dimas tidak tahu siapa yang sedang dia bicarakan."Mungkin karena makanan penutup yang kamu buat sangat lezat. Jadi, bahkan istri orang kaya juga menyukainya," puji Dimas.Pada dasarnya, kue yang dimakan oleh keluarga dengan status sosial yang tinggi adalah kue yang dipesan khusus dari restoran bintang lima atau lebih. Hampir tidak pernah ada dari mereka yang pergi ke toko makanan penutup kecil seperti milik Amel untuk membeli kue.