"Oh ya, Sayang, tadi pagi ada pelanggan terhormat yang datang ke toko kita," kata Amel sambil berpura-pura bersikap antusias."Pelanggan terhormat? Pelanggan seperti apa?""Dia adalah wanita yang berusia sekitar 40 tahun. Dia mengenakan merek mewah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Harga pakaiannya mungkin cukup bagi kita untuk membeli rumah. Dari auranya, sepertinya dia istri orang kaya," kata Amel sambil memperhatikan wajah Dimas.Ekspresi Dimas tidak berubah. Amel merasa makin gelisah dalam hati. Dia sudah mengatakannya sampai sejauh ini. Mustahil jika Dimas tidak tahu siapa yang sedang dia bicarakan."Mungkin karena makanan penutup yang kamu buat sangat lezat. Jadi, bahkan istri orang kaya juga menyukainya," puji Dimas.Pada dasarnya, kue yang dimakan oleh keluarga dengan status sosial yang tinggi adalah kue yang dipesan khusus dari restoran bintang lima atau lebih. Hampir tidak pernah ada dari mereka yang pergi ke toko makanan penutup kecil seperti milik Amel untuk membeli kue.
Melihat Lili yang begitu bertekad, semua orang pun akhirnya mengalah."Oke. Karena kamu sudah mengambil keputusan, terserah padamu saja," kata Gibran dengan acuh tak acuh.Setelah makan malam, Amel dan Dimas menemani Lili mengobrol sebentar di sofa, kemudian bersiap untuk pulang."Bu, ini sudah malam. Bukankah Ibu masih harus bekerja besok? Cepatlah istirahat. Kami mau pulang dulu," kata Amel sambil berdiri."Tunggu sebentar, Amel. Setelah mengalami semua ini, aku nggak akan terburu-buru membelikan rumah untuk adikmu. Masih ada 100 juta di kartu ini. Apa kalian berdua mau mengambilnya?"Lili selalu merasa bersalah di dalam hati. Ditambah lagi, uang 600 juta itu bisa dia dapatkan kembali karena bantuan Dimas. Itu sebabnya Lili ingin memberikan 100 juta kepada Dimas dan Amel."Bu, kami nggak menginginkan uang ini. Simpan saja untuk Ayah dan Ibu." Sebelum Amel bisa mengatakan apa pun, Dimas sudah terlebih dahulu mendorong kembali kartu ATM itu."Kalian ambil saja uang ini. Terimalah agar
"Lili, sepertinya Lidya sedang pacaran." Mirna merendahkan suaranya dan berkata dengan ekspresi misterius di wajahnya."Benarkah? Bagaimana kamu bisa tahu? Apa Lidya yang memberitahumu?"Mirna menggelengkan kepalanya. "Beberapa hari yang lalu, aku nggak sengaja mendengar Lidya sedang mengobrol dengan pria itu di telepon. Kedengarannya mereka berdua sedang menjalin hubungan.""Sulit untuk menyimpulkan hal semacam itu. Kenapa kamu nggak tanya saja sama Lidya? Kalau dia benar-benar lagi pacaran, suruh dia membawa pacarnya itu ke rumah untuk bertemu dengan kita. Jadi, kita juga bisa menilainya."Lili tidak akan pernah menyangka jika kekasih Lidya itu adalah putra kesayangannya sendiri."Hari ini hari Sabtu. Lidya nggak kerja. Aku berencana pergi ke rumahnya untuk membawakannya beberapa sosis, sekalian mengorek-ngorek informasi darinya."Setelah mengantar Lili pulang, tanpa mampir dahulu ke rumah Lili, Mirna langsung pergi ke rumah Lidya.Sementara itu, Lidya yang sedang berada di rumah dan
Mirna berdiri di ambang pintu kamar tidur dan melihat sekeliling. Kemudian, dia menoleh dengan marah, menatap Lidya, lalu bertanya, "Apa kalian berdua tinggal bersama?"Di dalam lubuk hatinya, jantung Lidya berdegap kencang tak karuan. Dia begitu gugup, hingga tidak tahu harus berkata apa."Bibi Mirna, Bibi salah paham. Kami nggak tinggal bersama. Aku baru saja datang hari ini.""Sudahlah. Apa menurut kalian, aku ini bocah kecil yang baru berusia tiga tahun? Coba lihat. Siapa pun yang melihatnya pasti akan tahu kalau kalian berdua tinggal bersama." Mirna menunjuk baju tidur Andi yang ada di atas ranjang.Jika mereka berdua tidak tinggal bersama, kenapa baju tidur Andi bisa muncul di kamar tidur Lidya? Lidya dan Andi langsung tidak bisa berkata-kata.Mirna keluar dari kamar tidur dengan wajah murung, lalu duduk di sofa dengan marah. Suasana di ruang tamu menjadi sangat sunyi. Andi dan Lidya berdiri di depan Mirna dengan kepala tertunduk, layaknya dua anak kecil yang sudah melakukan kesa
"Memangnya apa lagi? Apa kalian ingin aku menyembunyikannya bersama kalian, lalu berpura-pura nggak ada yang terjadi ketika aku bertemu Lili?" tanya Mirna. Dia sama sekali tidak mungkin bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu berinteraksi dengan Lili seperti biasa.Mirna menghubungi nomor Lili tanpa ragu-ragu. Panggilan itu pun segera tersambung."Lili, aku minta maaf padamu. Tolong kamu segera datang ke tempat tinggal Lidya," kata Mirna dengan penuh kesedihan."Mirna, apa yang terjadi? Kamu tunggu, ya. Aku akan segera ke sana. Jangan khawatir." Lili mengira sesuatu telah terjadi pada Lidya. Dia pun buru-buru menutup telepon.Lili khawatir masalah ini akan membutuhkan banyak bantuan, jadi dia mengirim pesan kepada Amel dalam perjalanan."Cepat datang ke rumah Lidya. Sepertinya telah terjadi sesuatu. Aku juga sedang dalam perjalanan ke sana."Dimas baru saja menjemput Amel, lalu berkendara pulang saat Amel mendapat pesan itu."Sayang, cepat pergi ke rumah Lidya. Sepertinya sudah t
Lili menyerahkan selembar tisu pada Mirna dengan cemberut. Mirna menyeka air mata di wajahnya, lalu berbalik untuk menatap Lidya dengan marah sebelum berkata, "Katakan semua yang sudah kamu lakukan."Lidya menggigit bibirnya, merasa sulit untuk mengatakan tentang hal ini."Bu, sebenarnya aku sudah punya pacar. Aku dan Kak Lidya sedang menjalin hubungan." Andi tidak ingin melihat Lidya berada dalam kesulitan, jadi dia berbicara terlebih dahulu. Kemudian, dia memeluk Lidya erat-erat, memberi isyarat agar wanita itu jangan gugup.Lidya merasa hatinya tersentuh. Meskipun Andi masih muda, pria itu selalu menjaganya dengan penuh perhatian.Lili melihat keduanya menggenggam tangan satu sama lain. Otaknya berputar cepat, tapi untuk sejenak dia tidak bisa bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi.Sementara itu, Amel terbelalak. Dia menatap keduanya dengan tatapan tidak percaya dan rahang yang terbuka lebar."Kalian ... kalian pacaran?" tanya Amel dengan suara bergetar. Dia menegaskan semuanya
"Bibi Lili, kamu baik sekali. Terima kasih sudah menyetujui hubungan kami!" ucap Lidya sambil memeluk Lili dengan gembira."Sejak kapan kalian berdua menjalin hubungan? Kalian menyembunyikannya dengan sangat baik. Kami bahkan nggak mengetahuinya," kata Lili. Sebelumnya Lili sudah mendesak Andi untuk mencari pacar, tapi putranya itu tampak acuh tak acuh. Kemudian, setelah Andi lulus, ada masa di mana dia seperti selalu merasa depresi. Lili pikir putranya itu sedang putus cinta."Bibi Lili, sebenarnya kami berdua sudah pacaran sejak lama. Kami resmi pacaran saat Andi masih kuliah," kata Lidya dengan agak malu-malu."Kalau kalian sudah menjalin hubungan, kenapa nggak mengatakannya pada kami?""Aku takut kalian akan keberatan. Bibi Lili, kamu nggak tahu seperti apa ibuku tadi, dia seakan ingin memakanku. Mana mungkin aku berani mengatakannya?" Lidya masih merasa ketakutan ketika dia memikirkan tentang hal itu.Mendengar itu, Lili pun tertawa kecil. Suasana saat ini sudah jauh lebih baik da
Dimas duduk di samping, menatap mereka berdua seolah sedang menonton pertunjukan."Menurutmu, kenapa aku menatapmu seperti ini? Apa kamu sengaja mengatakan kamu nggak punya tempat tinggal setelah lulus, hanya karena ingin tinggal bersama Lidya?" tanya Amel sambil mendengus dingin.Amel cukup senang adiknya menjalin hubungan dengan sahabatnya, terlebih lagi hal ini bisa menambah kedekatan hubungan mereka semua. Namun, satu-satunya hal yang membuatnya marah adalah mereka berdua menyembunyikan hal ini darinya!"Kalian bahkan menyembunyikannya dariku. Kalian sama sekali nggak menganggapku serius. Sayang, ayo kita pergi." Amel berpura-pura marah, berdiri, lalu hendak pergi.Andi dan Lidya masing-masing memegangi tangan Amel."Amel, tolong jangan marah, ya? Kami juga nggak bermaksud menyembunyikan hal ini darimu," kata Lidya sambil menggoyangkan lengan Amel dengan manja."Nggak bermaksud? Aku rasa kalian memang melakukannya dengan sengaja. Kalian sudah berhubungan begitu lama, tapi masih bis