'Gawat sudah, sepertinya bonus bulan ini nggak akan keluar!' gumam Irfan. Dia diam-diam berspekulasi di dalam hatinya, karena dia sudah mengenal temperamen Dimas dengan sangat baik.Tidak jauh di luar toko makanan penutup Amel, terparkir sebuah mobil hitam."Nyonya, apakah kita masih perlu tinggal di sini?" tanya sang sopir dengan ragu."Ayo pergi saja," ucap wanita itu sambil mengalihkan pandangannya. Dia sudah merasa cukup puas dengan menantunya ini.Begitu Dimas masuk ke dalam mobil, dia segera mengeluarkan ponselnya dan menemukan nomor yang dikenalnya. Tidak lama kemudian, panggilannya segera tersambung."Bu, kenapa Ibu nggak bicara dulu kalau datang ke Kota Nataya?" tanya Dimas dengan nada mengeluh."Kenapa aku harus mendapat persetujuanmu dulu kalau mau melakukan sesuatu?" tanya Bela sambil mendengus dingin."Apa Ibu pergi mencari Amel?" tanya Dimas langsung pada intinya."Ya benar. Dasar bocah nakal, kamu benar-benar hebat, ya. Kamu bahkan nggak datang berkunjung setelah menerim
"Bukan berarti aku nggak mau pulang. Pertama, beri tahu Ibu kapan kamu berencana memberi cucu untuk kami?" tanya Bela dengan kilatan di matanya.Dimas menggerakkan sudut mulutnya, kemudian menyahut, "Secepat mungkin." Dia menggertakkan giginya."Baiklah, Ayah dan Ibu sudah membuat kesepakatan. Ketika kalian punya anak, kami berdua akan fokus membesarkan anak kalian. Tunggu sampai anak itu agak besar, kami akan membawanya bepergian," ujar Bela yang sudah mulai memikirkan hal-hal indah di masa mendatang."Bu, sekarang bukannya masih terlalu awal untuk memikirkan hal itu?" sahut Dimas. Dia tak bisa menahan diri untuk membuat ibunya menyadari kenyataan."Sama sekali nggak. Ayahmu sudah memesankan tiket pesawat untuk Ibu besok pagi. Ibu akan kembali besok pagi," jawab Bela. Dia menghentikan senyum di wajahnya dan menjadi serius.Dimas tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya, kemudian berkata, "Benarkah? Kalau begitu hati-hati di jalan!""Sepertinya kamu sangat berharap Ibu cepat p
Suara klakson yang keras terdengar dari belakang, Amel langsung bergidik ketakutan dan segera menarik diri dari pikirannya. Amel baru menyadari bahwa lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Dia pun dengan cepat menyalakan mesin dan bergegas pergi.Ketika kembali ke toko, Clara langsung mendatangi Amel dan berkata, "Kak Amel, hari ini penjualan toko kita cukup lumayan bagus.""Benarkah? Nanti kamu bisa membuat perhitungan untuk melihat makanan mana yang terbaik. Aku akan pergi membeli bahannya besok pagi," ujar Amel dengan sedikit linglung."Oke, nggak masalah. Kak Amel, sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu. Apa ada masalah?" tanya Clara dengan hati-hati.Amel menggelengkan kepalanya, kemudian menjawab, "Nggak apa-apa."Begitu selesai berbicara, ponsel Amel tiba-tiba berdering. Dia pun segera menjawabnya."Amel, nanti setelah pulang kerja, kamu dan Dimas pulang ke rumah untuk makan malam, ya!" ujar Lili. Suaranya terdengar sangat bahagia di telepon, tidak lagi tertekan seperti seb
"Oh ya, Sayang, tadi pagi ada pelanggan terhormat yang datang ke toko kita," kata Amel sambil berpura-pura bersikap antusias."Pelanggan terhormat? Pelanggan seperti apa?""Dia adalah wanita yang berusia sekitar 40 tahun. Dia mengenakan merek mewah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Harga pakaiannya mungkin cukup bagi kita untuk membeli rumah. Dari auranya, sepertinya dia istri orang kaya," kata Amel sambil memperhatikan wajah Dimas.Ekspresi Dimas tidak berubah. Amel merasa makin gelisah dalam hati. Dia sudah mengatakannya sampai sejauh ini. Mustahil jika Dimas tidak tahu siapa yang sedang dia bicarakan."Mungkin karena makanan penutup yang kamu buat sangat lezat. Jadi, bahkan istri orang kaya juga menyukainya," puji Dimas.Pada dasarnya, kue yang dimakan oleh keluarga dengan status sosial yang tinggi adalah kue yang dipesan khusus dari restoran bintang lima atau lebih. Hampir tidak pernah ada dari mereka yang pergi ke toko makanan penutup kecil seperti milik Amel untuk membeli kue.
Melihat Lili yang begitu bertekad, semua orang pun akhirnya mengalah."Oke. Karena kamu sudah mengambil keputusan, terserah padamu saja," kata Gibran dengan acuh tak acuh.Setelah makan malam, Amel dan Dimas menemani Lili mengobrol sebentar di sofa, kemudian bersiap untuk pulang."Bu, ini sudah malam. Bukankah Ibu masih harus bekerja besok? Cepatlah istirahat. Kami mau pulang dulu," kata Amel sambil berdiri."Tunggu sebentar, Amel. Setelah mengalami semua ini, aku nggak akan terburu-buru membelikan rumah untuk adikmu. Masih ada 100 juta di kartu ini. Apa kalian berdua mau mengambilnya?"Lili selalu merasa bersalah di dalam hati. Ditambah lagi, uang 600 juta itu bisa dia dapatkan kembali karena bantuan Dimas. Itu sebabnya Lili ingin memberikan 100 juta kepada Dimas dan Amel."Bu, kami nggak menginginkan uang ini. Simpan saja untuk Ayah dan Ibu." Sebelum Amel bisa mengatakan apa pun, Dimas sudah terlebih dahulu mendorong kembali kartu ATM itu."Kalian ambil saja uang ini. Terimalah agar
"Lili, sepertinya Lidya sedang pacaran." Mirna merendahkan suaranya dan berkata dengan ekspresi misterius di wajahnya."Benarkah? Bagaimana kamu bisa tahu? Apa Lidya yang memberitahumu?"Mirna menggelengkan kepalanya. "Beberapa hari yang lalu, aku nggak sengaja mendengar Lidya sedang mengobrol dengan pria itu di telepon. Kedengarannya mereka berdua sedang menjalin hubungan.""Sulit untuk menyimpulkan hal semacam itu. Kenapa kamu nggak tanya saja sama Lidya? Kalau dia benar-benar lagi pacaran, suruh dia membawa pacarnya itu ke rumah untuk bertemu dengan kita. Jadi, kita juga bisa menilainya."Lili tidak akan pernah menyangka jika kekasih Lidya itu adalah putra kesayangannya sendiri."Hari ini hari Sabtu. Lidya nggak kerja. Aku berencana pergi ke rumahnya untuk membawakannya beberapa sosis, sekalian mengorek-ngorek informasi darinya."Setelah mengantar Lili pulang, tanpa mampir dahulu ke rumah Lili, Mirna langsung pergi ke rumah Lidya.Sementara itu, Lidya yang sedang berada di rumah dan
Mirna berdiri di ambang pintu kamar tidur dan melihat sekeliling. Kemudian, dia menoleh dengan marah, menatap Lidya, lalu bertanya, "Apa kalian berdua tinggal bersama?"Di dalam lubuk hatinya, jantung Lidya berdegap kencang tak karuan. Dia begitu gugup, hingga tidak tahu harus berkata apa."Bibi Mirna, Bibi salah paham. Kami nggak tinggal bersama. Aku baru saja datang hari ini.""Sudahlah. Apa menurut kalian, aku ini bocah kecil yang baru berusia tiga tahun? Coba lihat. Siapa pun yang melihatnya pasti akan tahu kalau kalian berdua tinggal bersama." Mirna menunjuk baju tidur Andi yang ada di atas ranjang.Jika mereka berdua tidak tinggal bersama, kenapa baju tidur Andi bisa muncul di kamar tidur Lidya? Lidya dan Andi langsung tidak bisa berkata-kata.Mirna keluar dari kamar tidur dengan wajah murung, lalu duduk di sofa dengan marah. Suasana di ruang tamu menjadi sangat sunyi. Andi dan Lidya berdiri di depan Mirna dengan kepala tertunduk, layaknya dua anak kecil yang sudah melakukan kesa
"Memangnya apa lagi? Apa kalian ingin aku menyembunyikannya bersama kalian, lalu berpura-pura nggak ada yang terjadi ketika aku bertemu Lili?" tanya Mirna. Dia sama sekali tidak mungkin bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu berinteraksi dengan Lili seperti biasa.Mirna menghubungi nomor Lili tanpa ragu-ragu. Panggilan itu pun segera tersambung."Lili, aku minta maaf padamu. Tolong kamu segera datang ke tempat tinggal Lidya," kata Mirna dengan penuh kesedihan."Mirna, apa yang terjadi? Kamu tunggu, ya. Aku akan segera ke sana. Jangan khawatir." Lili mengira sesuatu telah terjadi pada Lidya. Dia pun buru-buru menutup telepon.Lili khawatir masalah ini akan membutuhkan banyak bantuan, jadi dia mengirim pesan kepada Amel dalam perjalanan."Cepat datang ke rumah Lidya. Sepertinya telah terjadi sesuatu. Aku juga sedang dalam perjalanan ke sana."Dimas baru saja menjemput Amel, lalu berkendara pulang saat Amel mendapat pesan itu."Sayang, cepat pergi ke rumah Lidya. Sepertinya sudah t