Dimas dan Amel pulang kembali ke rumah bersama Nana."Nana, malam ini kamu tidur di kamar tamu ini, ya." Amel hanya membersihkan kamar itu dengan sederhana. Dia sama sekali tidak menduga akan terjadi peristiwa barusan."Oke. Kak Amel, Kak Dimas, kalian cepatlah beristirahat. Masalahku sudah terlalu merepotkan kalian," kata Nana dengan agak menyesal."Kalau begitu, kami tidur dulu. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku." Setelah berkata seperti itu, Amel pergi sambil memeluk lengan Dimas.Begitu masuk kamar, wajah Dimas langsung berubah. Dia menatap Amel dengan cemberut. "Ada begitu banyak hotel di luar sana. Kenapa kamu harus membawa orang lain ke rumah kita?""Bukankah aku khawatir kalau dia akan ketakutan karena sendirian di luar sana? Nana sudah begitu malang, sendirian di kota asing ini. Kita bantu saja dia sebisanya," kata Amel dengan penuh kasih sayang."Apa kamu berencana untuk menangani masalah ini sampai selesai?" tanya Dimas."Kita lihat saja nanti. Aku punya ide, Sayang." Tiba
"Terima kasih banyak, Kak Dimas dan Kak Amel." Nana bahkan tidak tahu lagi harus bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya.Semalam, Nana merasa makin malu pada Amel. Amel begitu baik padanya. Namun, dia malah berani menyukai Dimas."Sayang, kamu saja yang mengajak Nana ke sana. Pagi ini aku mau pulang ke rumah untuk menemui Ayah dan Ibu. Kemarin sore, aku mengobrol dengan Ibu. Ibu bilang Ayah sepertinya sedang nggak enak badan," kata Amel."Baiklah. Setelah selesai mengantar Nana, aku akan menyusulmu ke rumah.""Nggak usah. Ayah pasti baik-baik saja. Setelah mengantar Nana, kamu bisa langsung kembali bekerja.""Oke. Kalau keadaan Ayah memburuk, langsung beri tahu aku. Jadi, kita bisa membawanya secepatnya ke rumah sakit." Dimas mewanti-wanti Amel sebelum pergi."Oke, aku mengerti. Cepatlah pergi." Setelah mengantar Dimas dan Nana, Amel mengendarai sepeda listriknya untuk kembali ke rumah orang tuanya."Ayah, Ibu, aku pulang." Amel masuk ke dalam rumah sambil membawa semangka yang d
Pria yang menjual rumah itu takut jika Amel dan Lili tidak jadi membeli rumah di Amarilis, karena rumahnya tidak segera siap untuk dihuni."Sebenarnya nggak masalah kalau rumah itu siap huni saat akhir tahun nanti. Lagi pula, kami juga nggak terburu-buru untuk tinggal di sana." Lili sebenarnya lumayan puas dengan harganya."Lingkungan di sini sangat bagus. Penghijauan dan fasilitas untuk sarana rekreasi juga sangat bagus. Daerah di sekitar juga cukup ramai. Ada pasar swalayan yang besar. Yang paling penting, ada banyak sekolah di sekitar sini. Jadi, kalau membeli rumah di sini, anak-anak bisa langsung masuk SD nomor satu." Melihat kedua wanita itu tampak sangat tertarik, pria itu terus membujuk mereka dengan kata-kata yang manis."Lingkungan di sekitarnya memang bagus." Amel juga berniat untuk membeli rumah di Amarilis."Bagaimana kalau begini saja. Mari kita berteman di WhatsApp. Aku Jefri Ismawan, staf di kantor penjualan ini. Kalian bisa memanggilku Jefri. Kalau ada pertanyaan, kali
"Berapa banyak yang mereka pesan?""Mereka pesan tiga ratus porsi. Kak Clara dan aku sibuk bekerja sejak tadi. Sekarang, masih ada lima puluh porsi lagi yang harus dibuat, tapi buahnya nggak cukup. Jadi, Kak Clara keluar membeli buah.""Terima kasih atas kerja keras kalian berdua. Aku akan mentraktir kalian teh susu nanti!" kata Amel sambil mengenakan pakaian kerjanya.Baru saja Amel selesai berbicara, Clara sudah kembali membawa buah-buahan dengan susah payah.Setelah semua makanan penutup selesai dibuat, Amel melihat jam. Sekarang sudah pukul dua lebih sepuluh, waktu untuk mengirim makanan adalah pukul tiga."Sarah, kamu tinggal di sini dan jaga tokonya. Aku akan mengantarkan makanan dengan Clara.""Baiklah, Kak Amel. Kalian hati-hatilah di jalan."Amel naik taksi untuk pergi ke Grup Angkasa bersama Clara. Ketika mereka tiba di Grup Angkasa, jam kebetulan menunjukkan pukul tiga."Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis di meja depan dengan curiga ketika melihat keduanya datang s
"Hardi, apa kamu nggak merasa kamu sudah keterlaluan? Kalau kamu nggak memesan 300 porsi kue di toko kami, mana mungkin kami akan membuat begitu banyak? Awalnya, toko kami nggak menyediakan layanan pengiriman, tapi karena kalian memesan banyak, jadi aku mengirimkannya ke sini secara langsung. Sebagai seorang pria, bisakah kamu melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang pria?" Amel menatap Hardi dengan tajam sambil mengucapkan setiap kata dengan tegas."Makanan penutupmu nggak segar, kelihatannya juga nggak enak. Aku nggak menginginkannya lagi, memang nggak boleh? Aku sebagai pelanggan punya kebebasan untuk membeli atau nggak. Kalian nggak punya hak untuk ikut campur," cibir Hardi dengan sikap yang sangat kasar."Dasar nggak tahu malu. Sebagai seorang pria dewasa, kamu benar-benar nggak punya moral sama sekali. Untung saja aku nggak jadi kencan buta denganmu," kata Amel dengan sinis.Mendengar itu, Hardi tiba-tiba berubah muram. Dia menggertakkan giginya sembari berkata, "Apa m
"Kata-kata Pak Irfan benar. Aku akan mentransfer uangnya pada mereka sekarang juga," kata Hardi sambil tersenyum. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya untuk membayar makanan penutup itu."Pak Irfan, kalau begitu kami akan pergi dulu. Kami nggak akan mengganggumu lagi." Amel pergi dengan puas setelah mendapatkan uangnya.Untung saja mereka bertemu dengan Pak Irfan. Jika tidak, uang sekitar 10 juta ini mungkin akan terbuang percuma!"Kak Amel, pria tadi sangat menjijikkan. Bagaimana bisa kamu mengenal pria bajingan seperti itu?" Dalam perjalanan pulang, Clara tidak bisa menahan diri untuk mengeluh."Jangan ungkit lagi. Awalnya dia adalah pasangan kencan buta yang mau kerabatku perkenalkan padaku, tapi ternyata aku salah orang. Aku malah melakukan pernikahan kilat dengan suamiku yang sekarang. Tapi pria ini malah nggak mau membiarkannya berlalu, seolah-olah aku sudah melakukan kesalahan besar padanya.""Ternyata begitu. Sepertinya kamu dan Pak ... kamu dan Kak Dimas sudah ditakdirkan bers
"Baiklah, baiklah. Setidaknya itu bisa memberi tekanan padanya. Kamu mau beli rumah di mana? Aku akan minta Kelvin membantumu menanyakan apakah harganya bisa lebih murah lagi atau nggak.""Aku dan Amel pergi melihat-lihat rumah di Amarilis hari ini. Kami pikir tempat itu cukup bagus. Kami berencana membeli rumah di sana. Rumah itu akan diserahterimakan pada Tahun Baru nanti," kata Lili dengan jujur."Oh, kebetulan sekali. Aku juga sedang melihat-lihat rumah di sana. Aku dengar harga rumah di Amarilis sekarang sedang turun. Aku juga berencana membeli satu untuk mahar Lidya saat dia menikah nanti.""Kalau begitu, bagus sekali. Amel juga berencana membeli rumah di sana. Mungkin mereka bertiga bisa jadi tetangga."Lili menjadi makin mantap untuk membeli rumah di Amarilis.Sementara itu, di toko, Amel melakukan beberapa perhitungan. Dia menyadari bahwa uang di tangannya sudah cukup untuk membayar uang muka rumah. Meski dia sudah lama berencana membeli rumah, ketika saatnya tiba, dia masih m
"Nggak perlu, Kak Amel. Bagaimana bisa aku selalu mendapatkan kue gratis dari tokomu," tolak Nana berulang kali.Namun, Amel seakan tidak mendengarnya. Dia dengan cepat memasukkan sisa dua potong stroberi mousse ke dalam kotak."Ini untukmu, ambilah. Lagi pula, aku menjalankan toko makanan penutup di sini. Kalau kamu mau makan, datanglah ke sini," kata Amel sambil tersenyum dan menyerahkan stroberi mousse pada Nana.Nana merasakan perasaan campur aduk di hatinya. Jika dia tidak bertemu orang yang baik hati seperti Amel di kota ini, dia mungkin tidak akan bisa terus tinggal di kota ini."Kak Amel, kita baru saja menerima pesanan lain dari Grup Angkasa." Sarah tiba-tiba berlari ke arah Amel sambil berkata dengan penuh keterkejutan. Dia memegang informasi pesanan yang telah dicetak."Kenapa mereka lagi? Mungkinkah pria yang nggak sopan itu lagi?" tanya Clara dengan marah. Saat memikirkan kembali apa yang terjadi ketika mereka pergi untuk mengantarkan kue ke Grup Angkasa hari ini, dia lang