Pria yang menjual rumah itu takut jika Amel dan Lili tidak jadi membeli rumah di Amarilis, karena rumahnya tidak segera siap untuk dihuni."Sebenarnya nggak masalah kalau rumah itu siap huni saat akhir tahun nanti. Lagi pula, kami juga nggak terburu-buru untuk tinggal di sana." Lili sebenarnya lumayan puas dengan harganya."Lingkungan di sini sangat bagus. Penghijauan dan fasilitas untuk sarana rekreasi juga sangat bagus. Daerah di sekitar juga cukup ramai. Ada pasar swalayan yang besar. Yang paling penting, ada banyak sekolah di sekitar sini. Jadi, kalau membeli rumah di sini, anak-anak bisa langsung masuk SD nomor satu." Melihat kedua wanita itu tampak sangat tertarik, pria itu terus membujuk mereka dengan kata-kata yang manis."Lingkungan di sekitarnya memang bagus." Amel juga berniat untuk membeli rumah di Amarilis."Bagaimana kalau begini saja. Mari kita berteman di WhatsApp. Aku Jefri Ismawan, staf di kantor penjualan ini. Kalian bisa memanggilku Jefri. Kalau ada pertanyaan, kali
"Berapa banyak yang mereka pesan?""Mereka pesan tiga ratus porsi. Kak Clara dan aku sibuk bekerja sejak tadi. Sekarang, masih ada lima puluh porsi lagi yang harus dibuat, tapi buahnya nggak cukup. Jadi, Kak Clara keluar membeli buah.""Terima kasih atas kerja keras kalian berdua. Aku akan mentraktir kalian teh susu nanti!" kata Amel sambil mengenakan pakaian kerjanya.Baru saja Amel selesai berbicara, Clara sudah kembali membawa buah-buahan dengan susah payah.Setelah semua makanan penutup selesai dibuat, Amel melihat jam. Sekarang sudah pukul dua lebih sepuluh, waktu untuk mengirim makanan adalah pukul tiga."Sarah, kamu tinggal di sini dan jaga tokonya. Aku akan mengantarkan makanan dengan Clara.""Baiklah, Kak Amel. Kalian hati-hatilah di jalan."Amel naik taksi untuk pergi ke Grup Angkasa bersama Clara. Ketika mereka tiba di Grup Angkasa, jam kebetulan menunjukkan pukul tiga."Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis di meja depan dengan curiga ketika melihat keduanya datang s
"Hardi, apa kamu nggak merasa kamu sudah keterlaluan? Kalau kamu nggak memesan 300 porsi kue di toko kami, mana mungkin kami akan membuat begitu banyak? Awalnya, toko kami nggak menyediakan layanan pengiriman, tapi karena kalian memesan banyak, jadi aku mengirimkannya ke sini secara langsung. Sebagai seorang pria, bisakah kamu melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang pria?" Amel menatap Hardi dengan tajam sambil mengucapkan setiap kata dengan tegas."Makanan penutupmu nggak segar, kelihatannya juga nggak enak. Aku nggak menginginkannya lagi, memang nggak boleh? Aku sebagai pelanggan punya kebebasan untuk membeli atau nggak. Kalian nggak punya hak untuk ikut campur," cibir Hardi dengan sikap yang sangat kasar."Dasar nggak tahu malu. Sebagai seorang pria dewasa, kamu benar-benar nggak punya moral sama sekali. Untung saja aku nggak jadi kencan buta denganmu," kata Amel dengan sinis.Mendengar itu, Hardi tiba-tiba berubah muram. Dia menggertakkan giginya sembari berkata, "Apa m
"Kata-kata Pak Irfan benar. Aku akan mentransfer uangnya pada mereka sekarang juga," kata Hardi sambil tersenyum. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya untuk membayar makanan penutup itu."Pak Irfan, kalau begitu kami akan pergi dulu. Kami nggak akan mengganggumu lagi." Amel pergi dengan puas setelah mendapatkan uangnya.Untung saja mereka bertemu dengan Pak Irfan. Jika tidak, uang sekitar 10 juta ini mungkin akan terbuang percuma!"Kak Amel, pria tadi sangat menjijikkan. Bagaimana bisa kamu mengenal pria bajingan seperti itu?" Dalam perjalanan pulang, Clara tidak bisa menahan diri untuk mengeluh."Jangan ungkit lagi. Awalnya dia adalah pasangan kencan buta yang mau kerabatku perkenalkan padaku, tapi ternyata aku salah orang. Aku malah melakukan pernikahan kilat dengan suamiku yang sekarang. Tapi pria ini malah nggak mau membiarkannya berlalu, seolah-olah aku sudah melakukan kesalahan besar padanya.""Ternyata begitu. Sepertinya kamu dan Pak ... kamu dan Kak Dimas sudah ditakdirkan bers
"Baiklah, baiklah. Setidaknya itu bisa memberi tekanan padanya. Kamu mau beli rumah di mana? Aku akan minta Kelvin membantumu menanyakan apakah harganya bisa lebih murah lagi atau nggak.""Aku dan Amel pergi melihat-lihat rumah di Amarilis hari ini. Kami pikir tempat itu cukup bagus. Kami berencana membeli rumah di sana. Rumah itu akan diserahterimakan pada Tahun Baru nanti," kata Lili dengan jujur."Oh, kebetulan sekali. Aku juga sedang melihat-lihat rumah di sana. Aku dengar harga rumah di Amarilis sekarang sedang turun. Aku juga berencana membeli satu untuk mahar Lidya saat dia menikah nanti.""Kalau begitu, bagus sekali. Amel juga berencana membeli rumah di sana. Mungkin mereka bertiga bisa jadi tetangga."Lili menjadi makin mantap untuk membeli rumah di Amarilis.Sementara itu, di toko, Amel melakukan beberapa perhitungan. Dia menyadari bahwa uang di tangannya sudah cukup untuk membayar uang muka rumah. Meski dia sudah lama berencana membeli rumah, ketika saatnya tiba, dia masih m
"Nggak perlu, Kak Amel. Bagaimana bisa aku selalu mendapatkan kue gratis dari tokomu," tolak Nana berulang kali.Namun, Amel seakan tidak mendengarnya. Dia dengan cepat memasukkan sisa dua potong stroberi mousse ke dalam kotak."Ini untukmu, ambilah. Lagi pula, aku menjalankan toko makanan penutup di sini. Kalau kamu mau makan, datanglah ke sini," kata Amel sambil tersenyum dan menyerahkan stroberi mousse pada Nana.Nana merasakan perasaan campur aduk di hatinya. Jika dia tidak bertemu orang yang baik hati seperti Amel di kota ini, dia mungkin tidak akan bisa terus tinggal di kota ini."Kak Amel, kita baru saja menerima pesanan lain dari Grup Angkasa." Sarah tiba-tiba berlari ke arah Amel sambil berkata dengan penuh keterkejutan. Dia memegang informasi pesanan yang telah dicetak."Kenapa mereka lagi? Mungkinkah pria yang nggak sopan itu lagi?" tanya Clara dengan marah. Saat memikirkan kembali apa yang terjadi ketika mereka pergi untuk mengantarkan kue ke Grup Angkasa hari ini, dia lang
"Aku nggak ada kerjaan siang ini, jadi aku datang ke toko untuk membantu Kak Amel," jelas Nana sambil tersenyum manis."Ternyata begitu." Dimas menarik bangku di sebelah jendela besar, lalu duduk."Baiklah, itu saja untuk hari ini. Masukkan barang-barang yang sudah kita buat ke dalam lemari es. Kita akan melanjutkannya besok pagi." Setelah mengatakan ini, Amel berjalan keluar dari dapur sambil memijat bahunya yang sakit.Setelah sibuk bekerja seharian ini, Amel merasa leher dan lengannya sangat sakit."Sayang, kenapa kamu ada di sini?" Saat Amel melihat Dimas, rasa lelah di wajahnya hilang tanpa bekas dalam sekejap."Aku menyelesaikan pekerjaanku lebih awal hari ini, jadi aku datang menjemputmu. Bukankah dua hari yang lalu, kamu bilang kamu mau makan barbeku? Aku akan mengajakmu makan barbeku malam ini!" kata Dimas dengan penuh kasih sayang."Baiklah. Tapi mereka sudah bekerja sangat keras dalam dua hari terakhir ini. Bagaimana kalau begini saja. Aku akan mentraktir kalian makan barbek
"Bagaimana kalau kamu coba menelepon pemilik restoran barbeku itu, lalu menanyakan apa kita bisa memesan tiga tempat lagi atau nggak? Clara dan yang lainnya selalu bekerja keras dan bertanggung jawab dalam pekerjaan mereka. Meski aku nggak ada di toko, mereka tetap menjaga toko dengan baik. Aku juga ingin mengajak mereka mencoba makanan di sana," kata Amel sambil tersenyum.Amel benar-benar bisa dianggap sebagai pemilik toko yang sangat baik, dia memperlakukan karyawan seperti keluarganya sendiri."Bukannya aku nggak mau menelepon untuk menanyakannya, tapi restoran ini sangat ramai setiap harinya. Saat aku memesan tempat, hanya dua tempat yang tersisa," kata Dimas dengan ekspresi tak berdaya. Dia tidak ingin selalu menggunakan identitasnya sebagai pimpinan Grup Angkasa, karena dengan begitu, identitasnya akan terungkap dengan mudah. Dia belum siap secara mental untuk mengakui segalanya pada Amel."Baiklah kalau begitu, kita batalkan saja tempat itu. Kita pergi ke restoran tempat aku da