Sekitar lima menit kemudian, Amel akhirnya melihat keluarga pamannya itu."Paman, Bibi!" panggil Amel. Dia menyembunyikan ketidakpuasannya dengan baik dan melambai kepada mereka dengan antusias."Amel!" sahut Erna yang juga menanggapi dengan senang. Mereka bertiga berjalan mendekati Amel."Paman, Bibi, kalian pasti sudah kelelahan selama perjalanan," kata Amel dengan sopan seraya mengambil barang-barang dari tangan mereka."Nggak apa-apa, nggak terlalu capek. Amel, ini pasti Dimas, ya?" tanya Ilyas Santoso sambil menatap Dimas."Halo, Paman Ilyas dan Bibi Erna. Perkenalkan aku Dimas, suaminya Amel," sapa Dimas dengan sopan."Anak ini dilihat sekilas sepertinya cukup baik dan jujur," sambung Erna sambil menatap Dimas dengan mata cerah. Wanita itu tampak sangat menyukai Dimas, tetapi sayang sekali Dimas bukan menantunya."Amel, kamu sangat beruntung," sahut sepupu Amel yang bernama Yeri Santoso dengan nada yang aneh. Begitu mendengar perkataan Yeri, Amel tiba-tiba mendapat firasat buruk.
"Bibi, aku lulusan S3. Saat ini, aku bekerja sebagai manajer departemen teknik di sebuah lokasi konstruksi. Keluargaku menjalankan bisnis kecil-kecilan dan aku punya satu saudara laki-laki," jawab Dimas."Kamu punya gelar pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang cukup bagus. Kalau kamu mau bekerja keras, kamu pasti bisa mengerjakan proyekmu sendiri," sambung Ilyas yang merasa cukup puas dengan Dimas."Lebih bagus lagi dia adalah penduduk sini," kata Erna dengan sengaja.Kriteria Dimas relatif bagus untuk masyarakat pedesaan seperti mereka."Amel, aku dengar dari Kakek dan Nenek kalau kamu membuka toko makanan penutup. Bagaimana bisnisnya? Nggak merugi, 'kan?" tanya Erna yang memutar topik pembicaraan ke arah Amel."Bibi, toko makanan penutupku mendapat untung yang cukup besar. Aku berencana membuka cabang sebentar lagi."Erna menunjukkan kilatan ketidakpuasan di matanya. Sebagai seorang yang lebih tua, wanita ini sepertinya tidak ingin mereka menjalani kehidupan yang baik."Apa gunany
Begitu mereka turun dari mobil, Gibran dan Lili langsung keluar untuk menyambut mereka."Kak Ilyas, Kak Erna, akhirnya kalian datang juga!" sapa Lili sambil berjalan maju dengan antusias, lalu meraih lengan Erna."Lili, kamu kelihatan lebih muda dari sebelumnya, sama sekali nggak kelihatan tua," sahut Erna sambil menyembunyikan ekspresi iri di wajahnya.Erna tinggal di pedesaan sepanjang tahun dan sering pergi ke ladang untuk bertani. Meskipun usianya hampir sama dengan Lili, Erna terlihat jelas jauh lebih tua dari Lili."Kak Erna, tolong jangan berkata seperti itu. Lihatlah kerutan di wajahku," ucap Lili yang merasa agak malu setelah diberi tahu hal ini."Kita jangan terus berdiri di sini, ayo cepat masuk. Ayah dan Ibu sudah menunggu di dalam," ajak Gibran.Kakek dan nenek Amel sudah duduk di kursi utama, semua orang saling menyapa sebentar sebelum duduk."Eh, kenapa aku nggak melihat Andi?" tanya Erna setelah melihat sekeliling dan tidak menemukan sosok Andi."Bibi, Andi masih sibuk
Mendengar itu, Andi tampak tidak senang. Alasan Andi menyapa mereka sebenarnya demi kakek dan neneknya. Jika bukan karena kakek dan neneknya yang berada di sini, dia tidak akan memperhatikan keluarga paman dan bibinya itu."Sekarang semua orang sudah ada di sini, ayo kita mulai makan," ajak Gibran mengganti topik pembicaraan.Untuk menyambut keluarga kakak laki-lakinya dengan baik, Gibran memesan banyak hidangan terkenal di restoran. Ketika hidangan lobster disajikan, mata Erna mulai bersinar terang. Dia menatap lobster itu dengan saksama, khawatir jika tidak terus diperhatikan, lobster itu akan menghilang dari pandangannya."Kakek, Nenek, cobalah ini. Daging lobster Australia ini sangat empuk," ucap Andi saat memperhatikan tatapan serakah Erna. Dia mulai memimpin untuk mengambil sepotong daging untuk kakek dan neneknya satu per satu."Ayah, Ibu, kalian harus mencobanya juga!" sahut Dimas. Setelah melihat gerakan Andi, Dimas segera mengambilkan makanan pada Gibran dan Lili."Oh, ini pe
"Kalau Ibu dan Ayah ingin pergi, pergi saja dulu. Kita bertiga nggak terburu-buru untuk kembali. Selain itu, kenapa merasa nggak nyaman? Kita semua adalah keluarga," jawab Erna tanpa menganggap dirinya sebagai orang luar."Nenek, aku datang ke sini kali ini untuk mencari pekerjaan yang cocok di kota," timpal Yeri yang sedang berkonsentrasi untuk makan. Dia akhirnya meletakkan sendoknya dan berkata dengan serius.Awalnya Yeri mendapatkan pekerjaan sebagai agen penjual rumah di kampung halamannya. Namun, karena terlalu malas dan hanya menerima gaji pokok sebanyak 4 juta sebulan, Yeri bahkan hampir tidak mampu membayar biaya sewa. Oleh karena itu, Yeri mendapat ide untuk mencari nafkah di kota besar.Setelah mendengar itu, Amel tiba-tiba mendapat firasat buruk. Benar saja, tak lama kemudian, Yeri menatap ke arahnya."Amel, bukankah kamu membuka toko makanan penutup? Bagaimana kalau aku membantu di tokomu? Kamu nggak perlu memberiku gaji yang tinggi, cukup memberiku gaji 12 juta saja sebul
Lili takut Amel akan marah pada keluarga Ilyas. Itu sebabnya, dia mengirimkan pesan secara khusus kepada Amel untuk memperingatkan putrinya itu."Jangan khawatir, Bu. Selama mereka nggak berlebihan, aku juga nggak akan mempermasalahkannya."Mobil Dimas memasuki area vila. Ilyas, Erna dan Yeri yang duduk di kursi belakang pun tercengang. Mereka tidak menyangka jika Amel dan Dimas akan tinggal di tempat yang begitu mewah."Dimas, rumah di sini pasti sangat mahal, 'kan?" tanya Erna dengan iri sambil menelan ludah."Lumayan.""Amel, kamu benar-benar mendapatkan suami yang kaya. Aku nggak menyangka kalian akan tinggal di rumah yang begitu mewah. Kamu benar-benar seperti seorang gadis desa yang berubah menjadi tuan putri." Kata-kata Erna terdengar agak kasar, membuat Amel merasa seolah-olah dirinya tidak berharga."Bibi berpikiran terlalu jauh. Kami punya uang dari mana untuk membeli rumah semahal ini? Kami menyewa rumah ini dari teman Dimas yang lebih banyak tinggal di luar negeri. Itu seba
Erna mengedarkan pandangannya dengan mata berbinar."Rumah ini memang bagus." Ilyas juga sangat menyukai rumah ini. Mereka tidak pernah tinggal di rumah sebesar ini saat tinggal di desa."Paman dan Bibi, silakan duduk dulu di sofa. Aku akan membuatkan teh hangat untuk kalian." Amel berdiri, lalu pergi ke dapur. Tak lama kemudian, dia kembali sambil membawa satu teko teh panas.Amel mengeluarkan gelas untuk mereka bertiga, lalu menuangkan teh ke gelas masing-masing."Paman, Bibi, kami pindah kemari dengan agak tergesa-gesa. Jadi, hanya ada satu tempat tidur di rumah ini. Malam ini, kalian berdua bisa tidur di kamarku dan Dimas. Tapi, harus menyusahkan Kak Yeri, karena dia hanya bisa tidur di lantai." Amel menjelaskan situasinya terlebih dahulu kepada mereka agar mereka tidak merasa kecewa karena Yeri tidur di lantai."Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Tidur di lantai juga nggak masalah," kata Yeri dengan bijak."Amel, rumah ini sangat besar. Apa kalian nggak merasa hampa hanya tinggal berdu
"Pantas saja kakek dan nenekmu bilang kalau pernikahan kalian rasanya terlalu terburu-buru. Kamu ini gadis yang punya nyali besar. Baru pertama kali bertemu saja sudah berani menikah dengan orang itu," kata Erna sambil mendecakkan lidahnya dan merasa agak aneh."Waktu itu aku juga nggak membencinya. Mungkin, kami berdua saling merasa cocok. Ditambah lagi, Ibu selalu mendesakku agar segera menikah. Itu sebabnya, aku memutuskan untuk segera menikah dengan Dimas.""Yeri, pamanmu adalah seorang profesor di kampus. Dia pasti mengenal banyak orang. Bagaimana kalau kamu meminta pamanmu untuk memperkenalkanmu pada seseorang? Alangkah bagusnya kalau kamu bisa tinggal di sini nantinya," usul Erna sambil menatap putrinya dengan sungguh-sungguh.Erna juga sangat berharap putrinya bisa menemukan pria seperti Dimas. Dimas bukan hanya tampan, tetapi juga pandai menghasilkan uang."Bu, apa yang Ibu bicarakan? Bukankah Ibu sudah bilang kalau Ibu nggak akan memaksaku untuk menikah?" tanya Yeri dengan ke