"Kak, terima kasih. Terima kasih karena sudah menyelamatkanku," ucap gadis itu dengan mata merah. Suaranya terdengar bergetar."Kamu adalah seorang gadis. Sebaiknya kamu nggak datang ke tempat seperti ini selarut ini," kata Dimas dengan wajah dingin. Dia berbalik, lalu berjalan menuju mobil. Jika bukan karena gadis ini terlihat agak mirip dengan istrinya, Dimas tidak akan pernah mau ikut campur dalam urusan orang lain."Kakak, tunggu sebentar." Gadis itu menghentikannya, lalu berjalan cepat ke arah Dimas.Dimas mengangkat alisnya, menatap gadis itu dengan curiga."Kak, aku bukan gadis nakal. Alasan kenapa aku datang ke tempat seperti ini pada malam hari adalah karena guru kelas adikku menelepon. Dia mengatakan kalau adikku membolos untuk datang ke bar bersama teman-temannya. Jadi, aku datang untuk mencarinya." Mungkin gadis itu tidak ingin orang lain berpikiran buruk tentangnya, jadi dia menjelaskan alasan dia datang ke bar di tengah malam."Kebetulan sekali, aku juga datang ke bar unt
"Jangan khawatir, Sayang. Aku akan menyetujui persyaratanmu nggak peduli apa pun yang kamu inginkan." Dimas bersumpah setelah berhasil mendapatkan keinginannya."Kamu lihat, Andi bau alkohol, dia juga muntah tadi. Bagaimana kalau kamu membantu memandikannya dulu agar dia bisa tidur lebih nyenyak?"Ketika Dimas mendengar ini, dia merasa dunianya menjadi suram. Sebagai seorang pria berusia 30-an, dia harus membantu seorang bocah berusia awal 20-an untuk mandi. Hal ini ... sungguh menyusahkan."Kenapa? Kalau kamu nggak mau, lupakan saja. Aku sudah memberimu kesempatan, tapi sepertinya kamu nggak mau memanfaatkan kesempatan ini dengan baik." Amel mengangkat bahu, seolah-olah mengatakan kalau Dimas tidak mau, dia juga nggak mau.Dimas akhirnya menyetujui dengan enggan, "Oke, oke, aku akan membantu memandikannya. Kamu juga harus mandi. Basuh dirimu dengan wewangian, lalu tunggu aku di tempat tidur.""Nggak bisa, aku harus membuatkan sup untuk mengurangi mabuknya terlebih dulu, lalu membersih
Setelah malam yang indah, Amel membuka matanya dengan linglung. Benar saja, seluruh tubuhnya terasa sakit. Dia melirik pelaku yang sedang tidur di sampingnya. Dimas tiba-tiba membuka matanya, membuat Amel terkejut."Kenapa kamu menatapku? Apakah kamu terpesona dengan wajah tampanku?" tanya Dimas sambil tersenyum cerah.Amarah Amel langsung hilang dalam sekejap. Dia harus mengakui bahwa Dimas memang sangat tampan. Suaminya ini tidak kalah dengan beberapa artis yang populer saat ini, bahkan lebih tampan dari mereka."Ya, ya, aku terpesona dengan wajah tampanmu. Ini semua salahmu, pinggangku rasanya seperti mau patah." Amel memukul pinggangnya yang terasa sakit sambil bergumam tidak puas.Amel tidak keberatan dengan keintiman di antara mereka. Namun, dia keberatan dengan tindakan Dimas yang melakukan hal itu sampai larut malam. Semua ini membuatnya merasa sangat lelah."Kakak, kelak tolong jangan ganggu aku sampai terlalu malam lagi, oke? Lihatlah lingkaran hitam di bawah mataku." Amel me
Amel membuat sarapan sederhana. Setelah mereka bertiga selesai makan, Andi tahu bahwa dia tidak bisa tinggal lebih lama lagi, jadi dia bergegas pergi.Amel hendak keluar ketika dia menerima telepon dari Lidya."Amel, apa kamu ada waktu siang ini?""Aku harus pergi ke rumah sakit sore ini. Ibuku sudah tinggal di rumah sakit sepanjang hari kemarin. Pagi ini aku sudah meminta Andi untuk menggantikannya, tapi kemarin malam, si nakal Andi itu malah pergi ke bar untuk minum-minum. Aku khawatir dia nggak bisa bertahan sampai sore ini. Aku juga nggak tahu masalah emosional apa yang dia hadapi sampai minum-minum di bar. Untung saja Dimas membawanya pulang," keluh Amel di telepon."Apa suasana hatinya sedang nggak baik akhir-akhir ini?" tanya Lidya dengan sedikit ragu. Ketika Amel membicarakan tentang Andi, hatinya tanpa bisa ditahan merasa tersentuh."Ya, aku merasa sepertinya dia sedang putus cinta, tapi dia menolak mengatakan apa pun saat ditanya," kata Amel dengan tidak berdaya."Karena suas
Ketika Amel hendak meninggalkan toko, teleponnya tiba-tiba berdering. Dia melihat bahwa panggilan itu dari neneknya."Amel, apa kamu punya waktu nanti?""Ada apa memangnya, Nek?" tanya Amel dengan ragu."Paman dan bibimu akan datang ke kota bersama sepupumu. Kalau kamu punya waktu, pergilah ke stasiun untuk menjemput mereka," kata nenek Amel dari ujung lain telepon.Mendengar itu, Amel menyetujui dengan nada tidak berdaya, "Baiklah. Mereka sampai jam berapa? Aku akan menjemput mereka.""Seharusnya mereka akan segera sampai. Jadi, kamu cepatlah ke stasiun.""Oke," jawab Amel dengan enggan.Keluarga pamannya ini tinggal di pedesaan, Amel tidak memiliki hubungan yang dekat dengan mereka. Dia hanya bertemu dengan mereka saat pulang kampung bersama orang tuanya.Meskipun tidak terlalu dekat dengan mereka, Amel sama sekali tidak memiliki kesan yang baik terhadap keluarga ini. Setiap kali dia dan orang tuanya pulang kampung, bibinya akan dengan serakah mengambil semua hadiah yang mereka bawa.
Amel sangat khawatir kalau mereka akan tinggal di rumahnya. Dia takut dengan apa yang akan terjadi ke depannya."Amel, bagaimana kalau keluarga pamanmu tinggal di tempatmu saja? Rumah kami nggak bisa menampung banyak orang. Kamu dan Dimas tinggal di tempat yang besar dan luas, jadi biarkan mereka tinggal di rumahmu," saran Gibran. Setelah mendengar itu, Amel tiba-tiba merasa sangat tidak berdaya."Ayah, bukannya Ayah tahu kalau rumah kami cuma punya satu tempat tidur dan nggak ada tempat tidur lain di kamar tamu? Sudah terlambat untuk membelinya sekarang. Bagaimana kalau suruh Paman dan yang lainnya menginap di hotel saja?" tolak Amel dengan cepat. Dia tidak ingin seluruh keluarga pamannya tinggal di rumahnya."Amel, bagaimana kalau kamu dan Dimas sementara tidur di lantai saja? Ayah tahu kamu nggak menyukai Bibi dan sepupumu, tapi bagaimanapun juga, mereka adalah kerabat kita. Nggak pantas kalau menyuruh mereka menginap di luar," bujuk Gibran dengan sungguh-sungguh. Sebagai seorang pr
Sekitar lima menit kemudian, Amel akhirnya melihat keluarga pamannya itu."Paman, Bibi!" panggil Amel. Dia menyembunyikan ketidakpuasannya dengan baik dan melambai kepada mereka dengan antusias."Amel!" sahut Erna yang juga menanggapi dengan senang. Mereka bertiga berjalan mendekati Amel."Paman, Bibi, kalian pasti sudah kelelahan selama perjalanan," kata Amel dengan sopan seraya mengambil barang-barang dari tangan mereka."Nggak apa-apa, nggak terlalu capek. Amel, ini pasti Dimas, ya?" tanya Ilyas Santoso sambil menatap Dimas."Halo, Paman Ilyas dan Bibi Erna. Perkenalkan aku Dimas, suaminya Amel," sapa Dimas dengan sopan."Anak ini dilihat sekilas sepertinya cukup baik dan jujur," sambung Erna sambil menatap Dimas dengan mata cerah. Wanita itu tampak sangat menyukai Dimas, tetapi sayang sekali Dimas bukan menantunya."Amel, kamu sangat beruntung," sahut sepupu Amel yang bernama Yeri Santoso dengan nada yang aneh. Begitu mendengar perkataan Yeri, Amel tiba-tiba mendapat firasat buruk.
"Bibi, aku lulusan S3. Saat ini, aku bekerja sebagai manajer departemen teknik di sebuah lokasi konstruksi. Keluargaku menjalankan bisnis kecil-kecilan dan aku punya satu saudara laki-laki," jawab Dimas."Kamu punya gelar pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang cukup bagus. Kalau kamu mau bekerja keras, kamu pasti bisa mengerjakan proyekmu sendiri," sambung Ilyas yang merasa cukup puas dengan Dimas."Lebih bagus lagi dia adalah penduduk sini," kata Erna dengan sengaja.Kriteria Dimas relatif bagus untuk masyarakat pedesaan seperti mereka."Amel, aku dengar dari Kakek dan Nenek kalau kamu membuka toko makanan penutup. Bagaimana bisnisnya? Nggak merugi, 'kan?" tanya Erna yang memutar topik pembicaraan ke arah Amel."Bibi, toko makanan penutupku mendapat untung yang cukup besar. Aku berencana membuka cabang sebentar lagi."Erna menunjukkan kilatan ketidakpuasan di matanya. Sebagai seorang yang lebih tua, wanita ini sepertinya tidak ingin mereka menjalani kehidupan yang baik."Apa gunany